Episode Awal: (1) Soso
Episode Sebelumnya: (40) Ghazonva
*****
Malam itu yang kebagian jatah rembes adalah si Niko dan Armas. Tapi si Niko tak mengambil jatahnya, ia batuk-batuk terus, dan ini beneran, bukan bagian dari tugas jaga seperti saat Mister Black Spot belum jadi kepala pengawas. Akhirnya hanya si Armas yang memutuskan untuk keluar. Itu juga nggak jadi, karena dua orang pengawas masih terlihat di pojok. Sampai akhirnya tak ada yang jadi keluar.
Soso sendiri sangat ingin ke tempatnya Gege Imedashvili, melanjutkan obrolannya tadi siang yang menarik. Terutama soal phalanstery dan obschina itu. Selama ini, ia hanya membaca dan mempelajari tentang gagasan-gagasan besar yang mengawang-awang, tetapi tak begitu jelas apa solusinya bagi permasalahan-permasalahan yang dibahas. Kemiskinan, penindasan, sistem kekuasaan, hingga sistem ekonomi, hanya dilihat dalam tataran filosofis. Sangat jauh dari solusi praktis yang bisa diterapkan.
Karena malam itu ia nggak bisa keluar, jam istirahat keesokan harinya, tanpa menunda-nunda, Soso langsung ke tempatnya Gege. Tapi di sana, dia malah ketemu dengan rombongan si Lado. Dua orang yang bersamanya sudah dia kenal, Silva Jibladze dan Noe Zhordania.
"Eeeeh Romo Joseph... mari sini bergabung..." kata Lado yang melihatnya sambil melambaikan tangan kepada Soso. Soso terpaksa bergabung dengan mereka. Saat itu Gege melintas. "Tuan Narodnik, tolong beri secangkir kopi untuk temanku ini!" kata Lado kepada Gege.
"Pekat atau manis?" tanya Gege.
Lado melirik Soso. "Mau yang mana?" tanyanya.
"Aku belum pernah minum kopi..." jawab Soso, jujur.
"Beri dia yang murni, biar dia merasakan nikmatnya kepahitan!" kata Lado pada Gege. Gege mengangguk dan meninggalkan mereka.
"Tumben ke sini So, nggak ke tempatnya orang Yahudi itu?" tanya Lado.
Soso tersenyum, "Yaa pengen nyari buku yang lain lah, yang nggak ada di sana..." jawab Soso.
"Aku tidak mengerti, kenapa orang sepertimu berniat menjadi pendeta..." kata Silva pada Soso. "Sayang sekali kalau pemahamananmu tentang berbagai hal itu harus kau simpan dan digantikan khotbah-khotbah tentang Tuhan."
Soso hanya mesem.
"Sudahlah, sudah banyak orang yang mengurusi Tuhan..." kata si Silva lagi, "Seminari itu, setiap tahunnya melahirkan setidaknya seratusan calon pelayan Tuhan. Belum lagi mereka yang sudah keluar. Belum lagi para pelayan yang tidak melewati jalur itu, yang ada di kampung-kampung, di mana-mana. Masak semua orang pintar di Georgia ini disuruh jadi pelayan Tuhan semua, sementara sisanya yang bodoh menjadi petani penggarap dan buruh pabrik. Apa jadinya negeri ini nanti?"
Kata-kata si Silva itu sangat menohok dan sedikit kasar, tapi benar.
"Kau lihat kan So, apa yang dilakukan bangsawan-bangsawan Georgia sekarang? Sebagian kabur karena kenyamanannya dirampas sambil berpikir bagaimana caranya merebut kembali apa yang mereka pikir sebagai hak mereka. Sisanya tunduk pada Rusia untuk menyelamatkan sisa-sisa kenikmatan, daripada hilang semuanya, karena mereka melihat taka da celah. Dua-duanya sama. Egois. Hanya memikirkan diri mereka dan keluarganya sendiri. Adakah diantara mereka yang berpikir tentang kita, rakyat? Nggak ada. Kalaupun ada, hanya berpikir dan tak bergerak karena merasa tak berdaya...." lanjut Silva sambil menghisap dalam-dalam cangklongnya dan menghembuskan asapnya tinggi-tinggi.
Setelah menyeruput minuman hitam pekat di mejanya, ia melanjutkan ceramahnya. "Lalu, kita, anak-anak dari golongan rakyat biasa yang punya kemampuan berpikir, dipaksa untuk berhenti berpikir. Sebagian dirangkul gereja yang tak lebih dari perpanjangan tangan Tsar. Tujuannya, seolah untuk mengagungkan Tuhan, menyelamatkan moralnya. Tapi sesungguhnya hanya bertujuan agar mereka tidak lagi berpikir tentang nasib kampung halamannya sendiri," Silva mengisap cangklongnya lagi dengan nikmat.
"Sebagian lagi dimasukkan ke sekolah-sekolah administrasi. Mungkin terlihat menggiurkan. Nanti, setelah selesai, mereka tak perlu menjadi buruh, tapi bekerja di bank, kantor-kantor pemerintahan. Untuk apa? Untuk menjadi pelayan mereka. Orang-orang berbadan kuat, disuruh menjadi polisi. Tujuannya? Untuk menjaga kepentingan mereka. Yang lainnya, yang kira-kira tak akan bisa diajak bekerjasama, diberi mainan, gulat lah, apa lah, agar sibuk menghabiskan tenaganya untuk dirinya sendiri, tapi juga menjadi tontonan buat mereka. Sebagian kecil menjadi seniman, bukan untuk seni seutuhnya, tapi untuk menjadi penghibur mereka. Dan sisanya, menjadi buruh pabrik dan buruh tani. Budak-budak modern. Merasa bebas tapi tidak!"
Gege datang membawakan cangkir berisi cairan hitam, kopi. Jenis candu lain yang didatangkan dari luar selain tembakau, untuk melengkapi candu lokal, anggur dan minuman-minuman memabukkan lainnya yang makin melimpah di Georgia, khususnya Tiflis.
"Minum dulu kopimu," kata si Lado, "Biar kau tahu nikmat dunia, tak hanya memikirkan kenikmatan surga yang masih jauh!" lanjutnya sambil tertawa.
Soso mengangkat cangkirnya. Hidungnya menangkap aroma yang berbeda. Ia tak bisa menjelaskan, tapi aroma itu begitu menggoda. Ia menyeruputnya. Pahit. Apanya yang bisa dinikmati dari minuman itu selain aromanya?
"Berikan cangklongmu!" kata si Lado pada Silva. Silva menyerahkannya, lalu Lado memberikannya pada Soso. "Nih, cobain pasangannya! Minum kopinya, lalu isap..."
Soso mengikuti saran si Lado, menyeruput kopinya, lalu mengisap cangklong. Dulu waktu masih kecil, ia pernah mencobanya bersama teman-temannya. Rasanya aneh, membuat tenggorokannya gatal dan batuk kering. Tapi kali ini terasa berbeda. Ia tidak bisa menjelaskannya, tapi bisa merasakan perbedaannya.
"Gimana?" tanya si Lado.
Soso nyengir, "Lumayan..." jawabnya.
Lado, Silva, bahkan si Noe yang biasanya jaim dan sok wibawa, kini tertawa.
"Itulah kenapa seminari melarangnya!" kata si Silva lagi sambil tertawa, "Mereka sengaja membuat kalian buta tentang kenikmatan dunia!"
Soso hanya tersenyum. Anak-anak itu, ketiganya, pernah menjadi bagian dari Seminari Tiflis, meski kemudian dikeluarkan, seperti cerita si Lado dulu. Jadi pastilah mereka tahu betul seluk-beluk asrama. Soso menyeruput lagi kopinya dan mengisap lagi cangklong. Ia mulai bisa menikmatinya. Tapi si Silva keburu mengambil alih cangklongnya lagi.
"Kau beli sendiri cangklongnya, banyak di Bazaar Persia, murah-murah..." kata si Silva, "Tapi tembakaunya masih mahal."
"Aku baca puisimu di Iveria..." kali ini Noe yang ngomong pada Soso. "Yang judulnya Pagi itu terlalu menjilat. Tapi yang terakhir, apa itu judulnya, Ninika? Itu aku suka. Kalau kau tak keberatan, akan kumuat di Kvali...."
"Si Tua Ninika?" tanya Soso.
"Ya itulah!" kata Nunu. "Boleh ya?"
Soso mengangguk.
"Atau kau mau buat yang lain, tapi yang seperti itu, yang membuat orang berpikir tentang nasibnya..." kata Nunu lagi.
"Itu aja dulu," jawab Soso, "Aku belum sempat membuatnya lagi..."
"Ya sudah..."
"Aku ingin bergabung dengan Kvali..." kata Soso pada Nunu, "Aku ingin belajar menuliskan gagasan-gagasanku..."
Tanpa disangka, Nunu malah tertawa terbahak-bahak, "Apa yang mau kau tulis? Gagasanmu? Gagasan yang mana? Gagasan tentang Tuhan?"
Soso diam. Ia agak tersinggung.
"Tuan Soselo atau Romo Joseph, Kvali bukan tempat orang putus asa yang menuangkan keluh-kesahnya dalam puisi-puisi semata. Okelah, puisi itu bisa membuat orang merenung. Tapi Kvali bukan Iveria tempat penyair-penyair utopis dan romantis membayangkan keindahan tanpa berjuang untuk mendapatkannya!" kata Nunu lagi. "Kvali juga bukan lembaran khotbah yang akan membuat pembacanya menyerahkan nasibnya kepada Tuhan. Kvali tak berurusan langsung dengan Tuhan. Kalaupun Tuhan ada, Kvali justru mengingatkan, sebelum bertemu dengan Tuhan, kau harus mengurusi hidupmu terlebih dahulu di dunia!"
"Mungkin kau bisa menyampaikan gagasan-gagasanmu dengan berkegiatan di partai dulu..." Lado menimpali. Ia tampaknya juga kesal dengan omongan Nunu yang terlihat merendahkan Soso. Bagaimanapun, Lado tahu kemampuan dan pemikiran Soso, hanya saja memang belum terasah karena terkungkung di tembok seminari.
"Kau pikirkanlah dulu itu So..." kata Silva pada Soso. "Aku mau balik sekarang..." lanjutnya sambil melirik Nunu dan Lado.
"Aku juga..." Nunu ikutan berdiri.
"Ya sudah, aku nyusul," kata Lado, "Kutemani Soso dulu, sambil nostalgia di kampung..."
Silva dan Noe Zhordania meninggalkan mereka.
"Jangan tersinggung dengan omongannya si Nunu..." kata Lado setelah dua temannya itu pergi. "Meski sudah berusaha bergaul, kadang-kadang ego dia sebagai turunan bangsawan masih muncul!"
Soso tersenyum kecut.
"Sebentar, kucarikan dulu tembakau..." kata si Lado lagi sambil meninggalkan Soso, masuk ke dalam bangunan, dan tak lama sudah keluar sambil mengisap tembakaunya. Rupanya dia juga punya cangklong sendiri.
Lado menyerahkan cangklongnya, Soso segera menerima dan mengisapnya. Lama kelamaan ia mulai menikmatinya.
"Ada banyak gagasan yang bisa kau sumbangkan di Mesame Dasi. Partai kita masih muda, tiga tahun aja belum. Masih meraba-raba. Mungkin tujuannya sudah mulai terbentuk, tapi arah gerakannya yang masih belum kuat..." kata si Lado lagi. Berdua mereka bergantian mengisap cangklong itu.
"Kalaupun kamu masih merasa berat bergabung dengan partai karena waktumu di seminari, setidaknya, kau bantu aku di gerakan buruh. Yang itu sudah mulai jalan. Kau ingat Mei lalu kan? Itu awal yang bagus untuk gerakan. Aku sudah mulai bisa mengkoordinir jaringan buruh se-Georgia, nggak cuma di Tiflis..." lanjut si Lado lagi.
"Nunu dan Silva juga aktif di situ?" tanya Soso.
Lado mengangguk.
"Apa nggak tumpang tindih?" tanya Soso lagi.
"Nah itu..." kata si Lado, "Kemarin itu masih banyak keluhan. Banyak yang bilang kalau gerakan itu tak lain dari upaya Mesame Dasi merekrut kader partai, bukan gerakan buruh murni. Para buruh itu masih keberatan kalau gerakan dikaitkan dengan politik. Mereka maunya gerakan buruh ya gerakan buruh, partai itu lain cerita..."
Soso menyeruput kopinya, lalu mengambil cangklong dari tangan Lado dan mengisapnya. "Posisi Kvali sendiri gimana?" tanyanya.
"Koran itu memang bagian dari partai, meski isinya ya penyadaran soal buruh..." jawab Lado.
"Kayaknya itu harus dipisah dulu deh..." kata Soso.
"Itu juga yang sedang kupikirkan..." kata si Lado. "So, aku punya tempat di pemukiman Jerman, dekat Gunung Suci. Mungkin sekali-kali kau bisa main ke sana..."
"Sebelah mananya Narikala?" tanya Soso. Ia sendiri rada-rada trauma menyebut benteng itu, karena ia jadi teringat pada kencan terakhirnya dengan Natasha di benteng yang berada di kawasan Gunung Suci itu.
"Di bawahnya lah, kau cari saja makam, terus nanti ada penggilingan, nah rumahnya ada di sebelah penggilingan itu.." jawab si Lado.
"Ya nanti lah.." kata Soso.
"Ayolah So, bantu aku..." kata si Lado. "Bukan untukku sendiri kok, tapi buat kebaikan negeri kita..."
"Si Silva dan si Nunu sering ke sana?" tanya Soso.
"Pernah, tapi jarang ke sana. Tenang aja, itu tempat tinggalku, bukan markas partai atau gerakan. Itu kan di tempat lain, yang kau kunjungi dulu waktu diskusi buku..."
"Terus ngapain kalau aku ke sana?" tanya Soso.
"Ya kita diskusi lah, tukar ide, gagasan, mungkin menyusun gerakan.. apa aja..." kata si Lado. "Yang jelas, di sana tembakau berlimpah. Kau bisa menikmatinya sepuasnya..."
"Kopi?" tanya Soso sambil tersenyum.
"Banyak. Di sana ada kedai minuman orang Jerman yang menyediakan kopi. Malah lebih enak dari kopi yang di sini!"
"Ya sudah. Kapan-kapan lah..." kata Soso.
"Besok ya, jam istirahatmu!" Lado memaksa.
Soso terpaksa mengangguk. Entah kenapa, susah banget baginya untuk menolak permintaan dari kawan sekampungnya itu.
*****
BERSAMBUNG: (42) Iblis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H