Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (41) Kopi dan Tembakau

6 Januari 2021   11:07 Diperbarui: 7 Januari 2021   12:13 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP by Alip Yog Kunandar

"Beri dia yang murni, biar dia merasakan nikmatnya kepahitan!" kata Lado pada Gege. Gege mengangguk dan meninggalkan mereka.

"Tumben ke sini So, nggak ke tempatnya orang Yahudi itu?" tanya Lado.

Soso tersenyum, "Yaa pengen nyari buku yang lain lah, yang nggak ada di sana..." jawab Soso.

"Aku tidak mengerti, kenapa orang sepertimu berniat menjadi pendeta..." kata Silva pada Soso. "Sayang sekali kalau pemahamananmu tentang berbagai hal itu harus kau simpan dan digantikan khotbah-khotbah tentang Tuhan."

Soso hanya mesem.

"Sudahlah, sudah banyak orang yang mengurusi Tuhan..." kata si Silva lagi, "Seminari itu, setiap tahunnya melahirkan setidaknya seratusan calon pelayan Tuhan. Belum lagi mereka yang sudah keluar. Belum lagi para pelayan yang tidak melewati jalur itu, yang ada di kampung-kampung, di mana-mana. Masak semua orang pintar di Georgia ini disuruh jadi pelayan Tuhan semua, sementara sisanya yang bodoh menjadi petani penggarap dan buruh pabrik. Apa jadinya negeri ini nanti?"

Kata-kata si Silva itu sangat menohok dan sedikit kasar, tapi benar.

"Kau lihat kan So, apa yang dilakukan bangsawan-bangsawan Georgia sekarang? Sebagian kabur karena kenyamanannya dirampas sambil berpikir bagaimana caranya merebut kembali apa yang mereka pikir sebagai hak mereka. Sisanya tunduk pada Rusia untuk menyelamatkan sisa-sisa kenikmatan, daripada hilang semuanya, karena mereka melihat taka da celah. Dua-duanya sama. Egois. Hanya memikirkan diri mereka dan keluarganya sendiri. Adakah diantara mereka yang berpikir tentang kita, rakyat? Nggak ada. Kalaupun ada, hanya berpikir dan tak bergerak karena merasa tak berdaya...." lanjut Silva sambil menghisap dalam-dalam cangklongnya dan menghembuskan asapnya tinggi-tinggi.

Setelah menyeruput minuman hitam pekat di mejanya, ia melanjutkan ceramahnya. "Lalu, kita, anak-anak dari golongan rakyat biasa yang punya kemampuan berpikir, dipaksa untuk berhenti berpikir. Sebagian dirangkul gereja yang tak lebih dari perpanjangan tangan Tsar. Tujuannya, seolah untuk mengagungkan Tuhan, menyelamatkan moralnya. Tapi sesungguhnya hanya bertujuan agar mereka tidak lagi berpikir tentang nasib kampung halamannya sendiri," Silva mengisap cangklongnya lagi dengan nikmat.

"Sebagian lagi dimasukkan ke sekolah-sekolah administrasi. Mungkin terlihat menggiurkan. Nanti, setelah selesai, mereka tak perlu menjadi buruh, tapi bekerja di bank, kantor-kantor pemerintahan. Untuk apa? Untuk menjadi pelayan mereka. Orang-orang berbadan kuat, disuruh menjadi polisi. Tujuannya? Untuk menjaga kepentingan mereka. Yang lainnya, yang kira-kira tak akan bisa diajak bekerjasama, diberi mainan, gulat lah, apa lah, agar sibuk menghabiskan tenaganya untuk dirinya sendiri, tapi juga menjadi tontonan buat mereka. Sebagian kecil menjadi seniman, bukan untuk seni seutuhnya, tapi untuk menjadi penghibur mereka. Dan sisanya, menjadi buruh pabrik dan buruh tani. Budak-budak modern. Merasa bebas tapi tidak!"

Gege datang membawakan cangkir berisi cairan hitam, kopi. Jenis candu lain yang didatangkan dari luar selain tembakau, untuk melengkapi candu lokal, anggur dan minuman-minuman memabukkan lainnya yang makin melimpah di Georgia, khususnya Tiflis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun