"Si Tua Ninika?" tanya Soso.
"Ya itulah!" kata Nunu. "Boleh ya?"
Soso mengangguk.
"Atau kau mau buat yang lain, tapi yang seperti itu, yang membuat orang berpikir tentang nasibnya..." kata Nunu lagi.
"Itu aja dulu," jawab Soso, "Aku belum sempat membuatnya lagi..."
"Ya sudah..."
"Aku ingin bergabung dengan Kvali..." kata Soso pada Nunu, "Aku ingin belajar menuliskan gagasan-gagasanku..."
Tanpa disangka, Nunu malah tertawa terbahak-bahak, "Apa yang mau kau tulis? Gagasanmu? Gagasan yang mana? Gagasan tentang Tuhan?"
Soso diam. Ia agak tersinggung.
"Tuan Soselo atau Romo Joseph, Kvali bukan tempat orang putus asa yang menuangkan keluh-kesahnya dalam puisi-puisi semata. Okelah, puisi itu bisa membuat orang merenung. Tapi Kvali bukan Iveria tempat penyair-penyair utopis dan romantis membayangkan keindahan tanpa berjuang untuk mendapatkannya!" kata Nunu lagi. "Kvali juga bukan lembaran khotbah yang akan membuat pembacanya menyerahkan nasibnya kepada Tuhan. Kvali tak berurusan langsung dengan Tuhan. Kalaupun Tuhan ada, Kvali justru mengingatkan, sebelum bertemu dengan Tuhan, kau harus mengurusi hidupmu terlebih dahulu di dunia!"
"Mungkin kau bisa menyampaikan gagasan-gagasanmu dengan berkegiatan di partai dulu..." Lado menimpali. Ia tampaknya juga kesal dengan omongan Nunu yang terlihat merendahkan Soso. Bagaimanapun, Lado tahu kemampuan dan pemikiran Soso, hanya saja memang belum terasah karena terkungkung di tembok seminari.