Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (38) Anak Tiri dari Bapak Kandung?

3 Januari 2021   07:35 Diperbarui: 4 Januari 2021   10:34 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
WPAP by Alip Yog Kunandar

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (37) Mak, Aku Mau Dikawinin?

*****

Perjalanan dari Tiflis ke Gori yang dulu terasa begitu lama, sekarang kok kayaknya sebentar banget bagi Soso. Mungkin karena hatinya berontak tak ingin segera tiba di kota kecil tempat kelahirannya itu. Tempat yang biasa ia rindukan, kini terasa menyeramkan. Ada tanggungjawab besar menanti di sana. Ada akhir perjalanan kesendiriannya yang segera berakhir. Ada masa depan yang semakin terasa makin tak pasti.

Sepanjang perjalanan yang sebetulnya lambat itu, Soso merenungi perjalanan hidupnya. Terasa begitu singkat. Masa kecilnya yang tak terlalu membahagiakan. Masa remaja yang dipenuhi petualangan bandel. Masa dewasa yang rasanya masih terlalu mentah. Ia belum benar-benar merasa dewasa.

Usianya baru saja lewat tujuhbelas tahun. Dan di usia itu ia harus mengakhiri kesendiriannya. Memang tidak terlalu muda untuk ukuran saat itu. Cukup. Banyak anak laki-laki lain di kampungnya yang menikah di usianya yang jauh lebih muda, limabelas tahun. Pak Beso yang menikahi Mak Keke saat usianya duapuluh tahun, sudah dianggap terlalu tua. Begitupun Mak Keke yang menikah di usia tujuhbelas tahun, dianggap terlalu terlambat bagi gadis-gadis di zamannya.

Kadang, saat seperti itu, gagasan-gagasan nihilisme yang baru dikenalnya --meski belum utuh---begitu menarik. Memutuskan untuk hidup bebas. Pernikahan menjadi sebuah konsep yang lucu; mengikatkan hidup yang --mungkin---masih panjang dengan seseorang yang lain, melahirkan anak-anak yang menjadi tanggungjawabnya, lalu menunggu saat kematian tiba.

Tapi apa benar nihilisme semenarik itu? Memandang norma sebagai penghalang kebebasan, meniadakan Tuhan yang dianggap tak ada, menafikan agama yang hanya menjadi beban, dan mengumbar nafsu laksana binatang, dan menjalani hidup tanpa tujuan. Que sera, sera [1]; what ever will be, will be bae lah...

Ya mungkin itu asyik. Tapi orang-orang yang dibesarkan oleh norma, disuapi nilai-nilai agama, takkan mudah mengabaikannya dan tiba-tiba menjadi begitu bebas. 

Arkady, tokoh dalam novel Otcy i deti adalah contoh bagaimanapun ia tertarik dengan nihilisme, mencoba menerapkannya, ia pada akhirnya juga menyerah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun