Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (23) Pembajak yang Dibajak

19 Desember 2020   07:07 Diperbarui: 23 Desember 2020   02:59 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (22) Rencana Pembajakan

*****

Di Gori, Sungai Kura bercabang dua. Jalur utamanya disebut Mktvari membentang ke barat sampai ke hulunya di wilayah Otoman sana. Cabangnya yang menuju utara disebut Liakhvi. Liakhvi, sebagaimana kantong-kantong peradaban manusia yang biasanya berpusat di tepi laut, danau, atau sungai, juga melintasi beberapa kota kecil; Tskhinvali, Tamarasheni, Didi Gupta, Java, hingga Litsi yang berada paling dekat dengan hulu sungainya di perbatasan Osetia. Sebelah utara Benteng Gori, Liakhvi bercabang lagi, tapi lebih kecil, orang menyebutnya Gorekhi.

Tiga ekor kuda berlari kencang, melewati Benteng Gori yang megah, hitam, dalam keremangan malam yang hanya diterangi sinar bulan yang temaram. Dua ekor kuda di antaranya ditunggangi dua orang. Kuda-kuda itu menyeberangi jembatan di atas Sungai Gorekhi yang sempit, hanya bisa dilewati sebuah kereta kuda. Setelah menyebrangi sungai, kuda paling depan yang ditunggangi satu orang berhenti, lalu melipir ke pinggir jalan tanah yang sepi dan gelap. Bulan menghilang terhalang pepohonan. Dua ekor kuda di belakangnya ikut berhenti, empat penunggangnya turun.

“Tambatkan kuda di sana…” kata penunggang kuda yang paling depan kepada teman-temannya.

Setelah kuda-kuda ditambatkan cukup jauh dari jalan, lima orang lelaki yang masih berusia belia itu berkumpul.

“Kau yakin rombongannya akan lewat sini? Bukan lewat jalur satunya lagi?” tanya seseorang.

“Manalah kutahu. Infonya dari si Devo ya lewat sini…” kata penunggang kuda pertama yang tak lain dari si Gisa.

“Tapi ini kan bukan jalur utama ke Tskhinvali…” kata temannya, Davit Meskhi alias si Dada. Ia benar, ada dua jalur ke Tskhinvali dari Gori, jalur barat Sungai Liakhvi atau jalur timur. Jalur utama yang ramai waktu itu adalah jalur barat, dari Benteng Gori ke selatan dulu, menyeberangi Sungai Liakhvi, lalu menyusuri sungai ke utara. Jalur itu lebih ramai, karena banyak kota kecil yang dilewati, Variani dan Shindisi, cocok untuk persinggahan. Sementara jalur timur, sangat sepi, melewati perbukitan dan hutan, jauh sebelum mencapai Tkviavi. Orang menyebutnya sebagai jalur setan. Bukan karena banyaknya kisah mistis, tapi karena banyaknya begal dan rampok. Bahkan konon, jalur ini yang pakai ya para rampok itu sendiri, kalau mau melarikan diri. Para saudagar, jelas menghindari jalur ini. Meski bukan berarti jalur barat juga sepi dari begal.

“Iya tau…” kata Gisa lagi. “Menurut si Devo, info dari bapaknya, ini jalur yang sengaja diambil untuk mengelabui kawanan perampok…”

Dada garuk-garuk kepala, “Mengelabui perampok dengan melewati jalur perampok? Mengelabui perampok dengan menggunakan kereta saudagar? Aneh…” gumamnya. Tapi ia tak mau bertanya lagi. Toh, ia cuma ikut-ikutan saja, sebagai rasa solidaritas buat temannya, si Gisa itu, yang bapaknya dituduh sebagai komplotan rampok.

“Terus kita ngapain?” tanya anak lain, Tamaz Baratashvili alias si Tata.

“Tugas kita memantau jalan, jangan sampai rombongan keburu lewat dan anak-anak lain belum bersiap…” jawab Gisa.

“Kalau rombongannya keburu lewat gimana?”

“Ya kita tunggu anak-anak lain, nggak mungkin kita sergap..” jawab Gisa. “Udah diem aja, tunggu perintah aja, nggak usah banyak nanya…” jawab Gisa. Ia sendiri sebetulnya tidak tahu apa persisnya yang akan mereka lakukan nanti.

“Polisi Gori sudah punya senjata api belum sih?” tanya si Tata lagi.

“Ada, bekas tentara Tsar yang dipake perang lawan Ottoman. Kalau yang dipakai tentara Tsar sekarang lebih bagus lagi, katanya bisa lima peluru sekali ngisi…” jawab anak yang lain, Nikoloz Dadiani alias si Niko.

“Kok kamu tau?” si Tata meliriknya sambil merapatkan mantelnya.

“Aku kan pengen jadi polisi gara-gara pengen punya senjata gituan…” jawab Niko.

“Terus ngapain sekarang ikutan? Kita kan mau bebasin perampok dari polisi!” kata si Tata lagi.

Gisa mendelik, ia tersinggung. “Siapa yang perampok? Bapakku bukan perampok. Kalau yang lainnya nggak tau!”

“Nah itu! Kita nggak bebasin perampok, tapi bebasin bapaknya si Gisa…” si Niko seolah dapet alesan.

“Tapi kan tetep ngelawan polisi, kalau kamu ketangkep, bye-bye tuh cita-cita..” kata si Tata lagi.

Niko diam, bener juga omongan si Tata, pikirnya. “Gis…” Niko mencolek Gisa.

Gisa mendelik, “Apa, kau mau pulang? Pulang aja sana!”

Niko ciut.

Tak lama, terdengar derap kaki kuda. Anak-anak itu diam tak bersuara sambil mengawasi jembatan. Kereta kuda yang berisi tiga orang penumpang itu berhenti di pinggir jalan di depan Gisa cs. Sebuah lampu minyak diangkat seorang penumpang, sehingga wajahnya terlihat meski samar.

“Itu si Peta…” bisik Niko pada Gisa. Gisa bangkit lalu mendekati kereta yang memang ditumpangi oleh Peta, Soso, dan Yuri itu. Segera saja formasi berubah. Peta ditemani Tata mengawasi jembatan, mereka ditinggali seekor kuda. Sisanya, termasuk Gisa ikut dengan rombongan kereta ke utara, menuju sebuah tempat yang sudah direncanakan.

*****

Tengah malam masih beberapa jam lagi. Di sebuah celah yang sempit di antara dua bukit sebelah utara jembatan Sungai Gorekhi yang jalannya menurun cukup curam, Sembilan pemuda tanggung bersiaga dengan alat-alatnya masing-masing. Dua batang pohon di kiri kanan jalan yang tak telalu besar sudah digerogoti kapak bagian bawahnya dan ditahan dengan dua tali yang saling bersilangan. Beberapa anak memegangi tali itu, ada yang bertugas menahan agar dua pohon itu tak tumbang duluan, dan ada yang bersiap menarik untuk menumbangkan pohon itu pada saatnya nanti. Rencananya pohon itu akan ditumbangkan untuk mengejutkan rombongan kereta pembawa ‘terduga’ rampok, yang di dalamnya termasuk bapaknya si Gisa dan satunya lagi Si Tua Ninika.

Jika rombongan itu berhasil dikagetkan, tugas Yuri dan si Goro yang berbadan kekar adalah memegangi sebuah kait besi dengan tali besar, mengaitkannya di roda kereta paling depan kiri dan kanannya, lalu mengikatnya di batang pohon untuk menahan lajunya. Soso dan Gisa bertugas untuk membebaskan dua target utama, bapaknya si Gisa dan Si Tua Ninika. Sisa pasukan lainnya? Harusnya, tugas mereka adalah menyerang rombongan polisi itu dengan senjata biologis. Tapi pasokan senjata itu belum juga tiba. Entah apa jadinya kalau rombongan itu keburu datang, sementara amunisi belum tersedia. Tak mungkin lah mereka menyerang langsung, jelas bakalan kalah oleh pasukan polisi yang terlatih itu. Para polisi itu, selain membawa pedang, ada juga yang sudah membawa senjata api. Memang hanya jenis Berdan lungsuran Perang Rusia-Ottoman yang hanya bisa menembakkan satu peluru, bukan jenis Mosin-Nagant yang berisi lima peluru. Tapi tetap saja itu membuat nyali anak-anak itu ciut.

Dalam ketegangan yang merambat di tengah dingin yang menusuk tulang, lamat-lamat terdengar derap kaki kuda dari arah selatan. Anak-anak itu merinding, jantung mereka berdegup keras. Sebagian merutuki dirinya sendiri, kenapa harus melibatkan diri dalam urusan itu, urusan yang tak ada kaitannya langsung dengan mereka, selain soal solidaritas pertemanan. Ternyata yang datang bukan kereta kuda, tapi dua ekor kuda dengan masing-masing satu orang penunggang.

Lega lah hati anak-anak itu. Yang datang tak lain teman-teman mereka, Devo dan si Gigi. Mereka membawa empat buntelan kain besar yang ditumpangkan di atas kudanya masing-masing.

“Amunisi datang, bantu mereka, bagikan segera!” kata Soso begitu yakin yang datang bukanlah target, melainkan kawan mereka. Buntelan itu diturunkan, dua dibawa ke sebelah kanan jalan, dan dua lagi ke kiri. Kuda-kuda disingkirkan jauh dari jalan supaya tak berisik.

Amunisi? Ya jangan mengharapkan amunisi yang dibawa si Devo itu adalah persenjataan kelas berat. Berat saat membawanya iya. Saat dibagi-bagikan, isinya beragam. Bukan senjata tajam, dan jelas bukan juga senjata api.

“Bajigur… ini sarang semut api?” seorang anak yang mencoba mengambil amunisi pembagian Devo mish-misuh sambil mengebas-ngebaskan tangannya yang mendadak digerayangi puluhan hewan kecil, dan beberapa ada yang menggigitnya.

“Tutup dulu pakai kain, biar nggak pada kabur!” kata Devo.

“Kok bawa beginian sih Dev?” tanya anak itu yang meski sudah mengembalikan ‘amunisi’ itu ke wadahnya, beberapa ekor semut masih berkeliaran di tangannya, dan sisa gigitannya masih terasa gatal dan panas.

“Nggak usah banyak protes!” kata Devo, “Itu senjata paling ampuh yang bisa kudapatkan!”

Suasana sunyi lagi. Hanya bisik-bisik kecil di antara anak-anak yang saling berdekatan. “Pegel nih, kapan lewatnya rombongan itu?” tanya anak yang kebagian tugas menahan pohon yang akan ditumbangkan nanti.

“Sabar, bentar lagi kali…” jawab teman yang di dekatnya, yang bertugas menarik pohon yang berada di seberang jalan. “Enaknya sambil bakar jagung nih…” gumamnya.

Tapi anak-anak itu langsung terdiam begitu mendengar derap kaki seekor kuda lainnya. Penumpangnya dua orang, dan segera dikenali, Peta dan si Tata yang bertugas mengawasi jembatan tadi. “Siap-siap, rombongannya sudah berangkat, tiga kereta di depan, dan satu di belakangnya agak jauh…” lapor si Peta pada Soso dan kawan-kawan.

“Target ada di kereta yang mana?” tanya Soso.

Peta menggeleng, “Ya nggak tau lah, kan tugasku cuma ngawasin jembatan. Kalau kutunggui dulu kan malah keburu ketahuan…” jawabnya.

“Ya sudah, ayo siap-siap semua!” kata Soso. “Gigi, Jaba, kalian berdua bawa amunisi, jangan ikut menyerang rombongan kereta yang depan. Tunggu kereta paling belakang. Serang mereka begitu mendekat. Jangan sampai mereka keburu memberi bantuan!” kata Soso lagi. Anak-anak itu kembali bersiaga ke tempatnya dengan tugasnya masing-masing. Semua menunggu dengan tegang.

Lewat tengah malam, saat udara dingin makin terasa menusuk dan salju tipis turun bagai serpihan-serpihan kapas kecil, lamat-lamat terdengar derap kaki kuda. Bukan satu atau dua, banyak. Soso memberi kode pada anak-anak yang bertugas menumbangkan pohon untuk bersiap. Tak lama, sumber suara itu makin jelas, dalam keremangan cahaya bulan, sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda melesat cepat, di belakangnya ada dua kereta yang serupa. Cukup jelas terlihat karena jalanan menurun. Setelah melewati punggung bukit, kecepatan kereta berkurang. Jalanan menurun dan tentu saja licin karena salju, meski tipis.

Tepat ketika kusir kereta paling depan berusaha untuk mengurangi laju lebih lambat lagi karena jalan sedikit berbelok dan menukik, sepasang kuda penariknya dikagetkan oleh sebuah pohon tumbang dan melintang tepat di depannya. Kuda-kuda meringkik, mengangkat sepasang kaki depannya, sementara dua pasang roda kereta masih bergulir ke depan, lalu menabrak kuda penarik. Saat yang bersamaan, sebatang pohon kembali tumbang. Seekor kuda kena sabetan dahan dan bergerak liar. Kereta oleng. Kusir dan seorang yang duduk di sebelahnya melompat keluar, tepat sebelum kereta itu terguling. Malang bagi si penumpang itu, ia melompat ke arah kuda yang terhuyung-huyung menahan tarikan kereta. Tubuhnya terpeleset, dan tertimpa kuda yang menyusul kereta, terguling ke sisi kanan.

Melihat kereta di depannya terguling, kusir kereta yang berada persis di belakangnya berusaha menghentikan laju. Tapi apa daya, keretanya tergelincir. Sepasang kuda penariknya berhasil menghindari kereta yang terguling, tapi arah kereta berbelok ke kanan dan badan keretanya menghantam kereta yang terguling. Begitu juga dengan kereta ketiga yang berada di belakangnya.

Orang-orang di dalam kereta berhamburan keluar. Di saat itulah benda-benda beterbangan dari kiri dan kanan jalan. Ada yang terkena timpukan benda keras. Ada pula yang terkena lemparan benda lunak. Tapi yang terkena lemparan benda lunak itu kemudian menjerit-jerit sambil berjingkrak-jingkrak. Mendadak saja tubuhnya digerayangi hewan-hewan kecil yang menggigit dan meninggalkan rasa panas.

Melihat situasi yang menguntungkan itu, Soso sudah hampir meneriakkan perintah untuk segera melakukan aksi lanjutan; merebut target dan melarikannya dengan segera. Tapi tiba-tiba dari arah jalan yang berlawanan, belasan kuda melesat melompati dua batang pohon yang melintang di tengah jalan itu. Para penunggangnya menghunus pedang yang teracung ke udara. Dengan gerakan yang terampil dan sangat cepat, mereka menyerang para penumpang kereta dengan pedang mereka. Beberapa penumpang kereta yang masih kaget dan tadi bergulat dengan senjata biologis yang dilemparkan pasukan Soso, segera melakukan perlawanan. Ada yang menggunakan pedang, ada pula yang mengambil senjata api yang disimpan di dalam kereta yang terguling. Sebuah letusan senjata api terdengar menggema. Suaranya memantul pada bukit-bukit yang sunyi. Seorang penunggang kuda terlempar dari atas kudanya dan jatuh menimpa tanah tanpa bergerak lagi. Tapi si penembak juga nasibnya tak lebih baik, sebilah pedang tertancap di dada kanannya.

Pasukan Soso kebingungan, sekaligus juga ketakutan melihat adegan yang tersaji di hadapan mereka. Para ‘penyerbu’ itu benar-benar mengejutkan. Yuri melirik pada Soso, “Apa yang harus kita lakukan?” bisiknya.

Soso menyuruh mereka tetap diam. Di jalanan, beberapa orang penumpang kereta sudah tergeletak, ada yang sudah tidak bergerak sama sekali. Sisanya masih mencoba melakukan perlawanan pada musuh yang tak diduganya itu. Tak, lama, sebuah kereta kuda datang. Terdengar suara tembakan beberapa kali. Beberapa orang penyerbu mengeluarkan orang-orang dari dalam kereta yang terguling. Saat dikeluarkan tangan orang-orang itu terikat ke belakang. Dengan cepat, orang-orang itu dibebaskan ikatannya dan dinaikkan ke atas kuda. Ada empat orang yang dinaikkan ke atas kuda itu. Mereka lalu dibawa lari ke arah utara, arah datangnya para penyerbu itu.

“Bapakku….” tiba-tiba si Gisa yang tadi bersembunyi tak jauh dari Soso melompat keluar dan berlari menuju jalan. Yuri yang berada di dekatnya tak berhasil menarik tangannya. Gisa berlari mengejar seorang lelaki yang tadi dinaikkan ke atas kuda.

Kemunculan Gisa mengalihkan tiga orang penyerbu yang masih berduel dengan tiga orang penumpang kereta tersisa. Kesempatan itu digunakan para penyerbu untuk melompat ke atas kudanya masing-masing dan melarikan diri. Saat itulah salah satu penumpang kereta berlari ke arah Gisa dan menabraknya dari belakang. Gisa tersungkur. Lelaki itu menahannya. Sebuah tembakan terdengar lagi bersamaan dengan kedatangan kereta terakhir yang menyusul. Empat penumpangnya, dua membawa senjata api melompat turun dan memeriksa keadaan.

Soso tak punya pilihan, ia dan Yuri memutuskan untuk menyuruh teman-temannya mundur.

*****

BERSAMBUNG: (24) Libur yang Berakhir Cepat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun