Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (23) Pembajak yang Dibajak

19 Desember 2020   07:07 Diperbarui: 23 Desember 2020   02:59 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam ketegangan yang merambat di tengah dingin yang menusuk tulang, lamat-lamat terdengar derap kaki kuda dari arah selatan. Anak-anak itu merinding, jantung mereka berdegup keras. Sebagian merutuki dirinya sendiri, kenapa harus melibatkan diri dalam urusan itu, urusan yang tak ada kaitannya langsung dengan mereka, selain soal solidaritas pertemanan. Ternyata yang datang bukan kereta kuda, tapi dua ekor kuda dengan masing-masing satu orang penunggang.

Lega lah hati anak-anak itu. Yang datang tak lain teman-teman mereka, Devo dan si Gigi. Mereka membawa empat buntelan kain besar yang ditumpangkan di atas kudanya masing-masing.

“Amunisi datang, bantu mereka, bagikan segera!” kata Soso begitu yakin yang datang bukanlah target, melainkan kawan mereka. Buntelan itu diturunkan, dua dibawa ke sebelah kanan jalan, dan dua lagi ke kiri. Kuda-kuda disingkirkan jauh dari jalan supaya tak berisik.

Amunisi? Ya jangan mengharapkan amunisi yang dibawa si Devo itu adalah persenjataan kelas berat. Berat saat membawanya iya. Saat dibagi-bagikan, isinya beragam. Bukan senjata tajam, dan jelas bukan juga senjata api.

“Bajigur… ini sarang semut api?” seorang anak yang mencoba mengambil amunisi pembagian Devo mish-misuh sambil mengebas-ngebaskan tangannya yang mendadak digerayangi puluhan hewan kecil, dan beberapa ada yang menggigitnya.

“Tutup dulu pakai kain, biar nggak pada kabur!” kata Devo.

“Kok bawa beginian sih Dev?” tanya anak itu yang meski sudah mengembalikan ‘amunisi’ itu ke wadahnya, beberapa ekor semut masih berkeliaran di tangannya, dan sisa gigitannya masih terasa gatal dan panas.

“Nggak usah banyak protes!” kata Devo, “Itu senjata paling ampuh yang bisa kudapatkan!”

Suasana sunyi lagi. Hanya bisik-bisik kecil di antara anak-anak yang saling berdekatan. “Pegel nih, kapan lewatnya rombongan itu?” tanya anak yang kebagian tugas menahan pohon yang akan ditumbangkan nanti.

“Sabar, bentar lagi kali…” jawab teman yang di dekatnya, yang bertugas menarik pohon yang berada di seberang jalan. “Enaknya sambil bakar jagung nih…” gumamnya.

Tapi anak-anak itu langsung terdiam begitu mendengar derap kaki seekor kuda lainnya. Penumpangnya dua orang, dan segera dikenali, Peta dan si Tata yang bertugas mengawasi jembatan tadi. “Siap-siap, rombongannya sudah berangkat, tiga kereta di depan, dan satu di belakangnya agak jauh…” lapor si Peta pada Soso dan kawan-kawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun