Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (23) Pembajak yang Dibajak

19 Desember 2020   07:07 Diperbarui: 23 Desember 2020   02:59 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gisa mendelik, ia tersinggung. “Siapa yang perampok? Bapakku bukan perampok. Kalau yang lainnya nggak tau!”

“Nah itu! Kita nggak bebasin perampok, tapi bebasin bapaknya si Gisa…” si Niko seolah dapet alesan.

“Tapi kan tetep ngelawan polisi, kalau kamu ketangkep, bye-bye tuh cita-cita..” kata si Tata lagi.

Niko diam, bener juga omongan si Tata, pikirnya. “Gis…” Niko mencolek Gisa.

Gisa mendelik, “Apa, kau mau pulang? Pulang aja sana!”

Niko ciut.

Tak lama, terdengar derap kaki kuda. Anak-anak itu diam tak bersuara sambil mengawasi jembatan. Kereta kuda yang berisi tiga orang penumpang itu berhenti di pinggir jalan di depan Gisa cs. Sebuah lampu minyak diangkat seorang penumpang, sehingga wajahnya terlihat meski samar.

“Itu si Peta…” bisik Niko pada Gisa. Gisa bangkit lalu mendekati kereta yang memang ditumpangi oleh Peta, Soso, dan Yuri itu. Segera saja formasi berubah. Peta ditemani Tata mengawasi jembatan, mereka ditinggali seekor kuda. Sisanya, termasuk Gisa ikut dengan rombongan kereta ke utara, menuju sebuah tempat yang sudah direncanakan.

*****

Tengah malam masih beberapa jam lagi. Di sebuah celah yang sempit di antara dua bukit sebelah utara jembatan Sungai Gorekhi yang jalannya menurun cukup curam, Sembilan pemuda tanggung bersiaga dengan alat-alatnya masing-masing. Dua batang pohon di kiri kanan jalan yang tak telalu besar sudah digerogoti kapak bagian bawahnya dan ditahan dengan dua tali yang saling bersilangan. Beberapa anak memegangi tali itu, ada yang bertugas menahan agar dua pohon itu tak tumbang duluan, dan ada yang bersiap menarik untuk menumbangkan pohon itu pada saatnya nanti. Rencananya pohon itu akan ditumbangkan untuk mengejutkan rombongan kereta pembawa ‘terduga’ rampok, yang di dalamnya termasuk bapaknya si Gisa dan satunya lagi Si Tua Ninika.

Jika rombongan itu berhasil dikagetkan, tugas Yuri dan si Goro yang berbadan kekar adalah memegangi sebuah kait besi dengan tali besar, mengaitkannya di roda kereta paling depan kiri dan kanannya, lalu mengikatnya di batang pohon untuk menahan lajunya. Soso dan Gisa bertugas untuk membebaskan dua target utama, bapaknya si Gisa dan Si Tua Ninika. Sisa pasukan lainnya? Harusnya, tugas mereka adalah menyerang rombongan polisi itu dengan senjata biologis. Tapi pasokan senjata itu belum juga tiba. Entah apa jadinya kalau rombongan itu keburu datang, sementara amunisi belum tersedia. Tak mungkin lah mereka menyerang langsung, jelas bakalan kalah oleh pasukan polisi yang terlatih itu. Para polisi itu, selain membawa pedang, ada juga yang sudah membawa senjata api. Memang hanya jenis Berdan lungsuran Perang Rusia-Ottoman yang hanya bisa menembakkan satu peluru, bukan jenis Mosin-Nagant yang berisi lima peluru. Tapi tetap saja itu membuat nyali anak-anak itu ciut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun