Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (17) Buku di Bawah Kasur

13 Desember 2020   08:08 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:52 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi karena sudah biasa, semuanya lancar-lancar saja. Toh bagi Georgia saat itu, keruwetan seperti itu bukan saja soal penanggalan. Soal duit juga sama. Mata uang Georgia zaman Kerajaan Kartli-Kakheti yang dipengaruhi sistem Persia --makanya pecahan kecilnya disebut Abazi, Dinar, dan lain-lain---bercampur dengan mata uang baru yang diterapkan oleh Kekaisaran Rusia, Kopeck-Rubel dan sebutan untuk pecahan lain yang lebih kecil, Denga dan Polushka. Tapi semuanya masih berlaku, nggak perlu harus menukarkannya dulu di Money Changer, dan nggak ada juga orang yang rajin memperbandingkan kurs Georgia dengan kurs Rusia. Patokan umumnya paling satu Rubel sama dengan lima Abazi. Sisanya? Atur aja, asal sepakat, beres.

Natal yang tinggal beberapa hari lagi adalah Natal kedua Soso di Tiflis. Tahun lalu, ia merayakan Natal di rumah Pak Sese dan Mak Imel. Sederhana. Layaknya Natal bagi keluarga orang Georgia kelas menengah ke bawah. Soso membantu Pak Sese membuat Chichilaki[3] yang terbuat dari batang dan ranting pohon kenari, dan dihiasi dengan buah-buahan seadanya, apel, anggur, jeruk, delima, dan buah ara, yang dibeli Mak Imel di pasar. "Nggak nyambung Pak De... ibarat semangka berdaun sirih..." kata Soso sambil mengamati kreasinya itu. 

"Nggak apa-apa, jarang juga ada tamu ke sini. Nanti juga paling buahnya kau makan..." jawab Pak Sese. "Percuma juga bagus-bagus, kan ntar pas epifani[4] juga kan dibakar..." lanjutnya. 

Bener juga sih, rangkaian perayaan Natal di rumah Pak Sese sepi. Nggak kayak di kampungnya dulu. Di Gori, biasanya Soso dan teman-temannya suka nyolong churchkela[5] yang sebetulnya itu buat Tovlis Papa[6] agar mendapatkan hadiah sebagai gantinya. "Biarin aja, kalau Tovlis Papa beneran datang, masak ia marah-marah karena jatahnya diambil. Toh nantinya anak-anak itu tetap akan dapat hadiah dari orangtuanya sendiri..." kata Soso yang tak pernah percaya soal kisah bapak tua berjanggut dan menunggangi kereta rusa itu. Mungkin karena bacaannya, atau mungkin juga karena ia pernah membuat churchkela tapi nggak dapet hadiah apa-apa gara-gara Mak Keke lagi nggak punya duit sama sekali.

Itu saja yang Soso rindukan dari Natal di kampungnya. Selebihnya ia hanya kangen pada Mak Keke. Apalagi, Natal tahun ini, ia takkan pulang juga. Di seminari, acaranya benar-benar padat, ia juga kebagian jadi anggota paduan suara. Selain itu, setelah semua rangkaian perayaan Natal selesai, ia akan segera mengikuti ujian semester pertamanya. Barulah setelah itu ada libur selama dua minggu.

Anak-anak lain sudah pada ribut soal liburan. Soso sendiri masih bimbang, apakah ia akan pulang liburan pendek itu, atau nanti menunggu liburan panjang. Mau pulang juga nggak punya duit. Ada sih duit pemberian Mak Keke dan Bonia yang masih lumayan utuh. Tapi ia nggak yakin, kalau ia pulang, apakah ia akan punya ongkos lagi buat balik ke Tiflis. Pengennya sih, kalau pulang, ia mau nyoba naik kereta. Jalur kereta sudah dibangun di Georgia sejak 1865, dan kereta penumpang mulai beroperasi tahun 1872, beberapa tahun sebelum Soso lahir. Soso sendiri sudah sering melihat kereta, karena stasiun kereta di Gori bersebelahan dengan sekolahannya. Tapi ia belum pernah naik. Waktu ke Tiflis dianter Mak Keke malah pake kereta kuda, bukan kereta api.

Teman-temannya yang berasal dari Gori, Seva dan Peta, sudah jelas akan mudik naik kereta dan mengajaknya barengan. Soso belum mengiyakan. "Nanti aja lah, kalau sudah selesai ujian, baru kupikirkan..." jawab Soso, tanpa menyebutkan alasannya.

*****

Beberapa hari sebelum perayaan Natal. Soso mampir ke tempatnya Pak Yedid seperti biasa. Tapi yang nggak biasa adalah sambutan Pak Yedid yang mendadak begitu sumringah dengan senyum yang tersungging di balik kumis dan jenggot lebatnya.

"Cieee... ada penyair mampir nih..." katanya.

"Apaan sih Pak?" tanya Soso.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun