Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (17) Buku di Bawah Kasur

13 Desember 2020   08:08 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:52 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (16) Soselo, Si Penyair Amatir

*****

Musim dingin di Tiflis, seperti kebanyakan kota-kota lain di Georgia, jarang dihinggapi salju tebal. Pengalaman Soso tahun lalu, salju tebal baru turun di Tiflis bulan April. Itupun tak tebal-tebal amat. Kereta-kereta kuda masih bisa hilir mudik dengan lancar. Unta-unta pembawa barang juga tak berhenti bekerja. Hanya para penuntunnya saja yang kebanyakan orang Tatar mengenakan pakaian yang lebih tebal.

Januari 1895, sebagian besar warga Tiflis yang jumlahnya hampir berimbang antara orang Rusia, Georgia, dan Armenia, ditambah sisanya orang Yahudi, Persia, Tartar, dan kelompok minoritas lainnya, bersiap menyambut Natal. Soso tidak menyadari kalau di belahan bumi lainnya, para penganut Kristen lain sudah merayakan kelahiran Yesus itu pada tanggal 25 Desember. Sebetulnya, para pengikut Gereja Orthodoks Rusia juga merayakan Natal tanggal 25 Desember, tapi karena mereka menggunakan kalender Julian[1] sementara yang lain menggunakan kalender Gregorian[2] jatuhnya menjadi tanggal 7 Januari pada kalender Gregorian. 

Hal itu kadang membingungkan bagi orang Georgia yang juga menggunakan kalender Gregorian dalam keseharian, sementara urusan keagamaan, sejak pengaruh Gereja Orthodoks Rusia menguat, kalender Julian juga dipakai. Barangkali orang Armenia dan Azerbaijan lebih pusing lagi, karena selain dua kalender itu, sebagian dari mereka juga menggunakan kalender Hijriah. Di kalangan para pekerja, sudah umum goyonan soal penanggalan itu.

"Bayar dong utangmu!"

"Ya, kan aku janji akan kubayar tanggal satu..."

"Tanggal satu apa? Ini sudah tanggal satu..."

"Tanggal satu Julian... dua minggu lagi.."

"Kau minjemnya tanggal satu Hijriah, udah lewat dua hari tuh!"

Tapi karena sudah biasa, semuanya lancar-lancar saja. Toh bagi Georgia saat itu, keruwetan seperti itu bukan saja soal penanggalan. Soal duit juga sama. Mata uang Georgia zaman Kerajaan Kartli-Kakheti yang dipengaruhi sistem Persia --makanya pecahan kecilnya disebut Abazi, Dinar, dan lain-lain---bercampur dengan mata uang baru yang diterapkan oleh Kekaisaran Rusia, Kopeck-Rubel dan sebutan untuk pecahan lain yang lebih kecil, Denga dan Polushka. Tapi semuanya masih berlaku, nggak perlu harus menukarkannya dulu di Money Changer, dan nggak ada juga orang yang rajin memperbandingkan kurs Georgia dengan kurs Rusia. Patokan umumnya paling satu Rubel sama dengan lima Abazi. Sisanya? Atur aja, asal sepakat, beres.

Natal yang tinggal beberapa hari lagi adalah Natal kedua Soso di Tiflis. Tahun lalu, ia merayakan Natal di rumah Pak Sese dan Mak Imel. Sederhana. Layaknya Natal bagi keluarga orang Georgia kelas menengah ke bawah. Soso membantu Pak Sese membuat Chichilaki[3] yang terbuat dari batang dan ranting pohon kenari, dan dihiasi dengan buah-buahan seadanya, apel, anggur, jeruk, delima, dan buah ara, yang dibeli Mak Imel di pasar. "Nggak nyambung Pak De... ibarat semangka berdaun sirih..." kata Soso sambil mengamati kreasinya itu. 

"Nggak apa-apa, jarang juga ada tamu ke sini. Nanti juga paling buahnya kau makan..." jawab Pak Sese. "Percuma juga bagus-bagus, kan ntar pas epifani[4] juga kan dibakar..." lanjutnya. 

Bener juga sih, rangkaian perayaan Natal di rumah Pak Sese sepi. Nggak kayak di kampungnya dulu. Di Gori, biasanya Soso dan teman-temannya suka nyolong churchkela[5] yang sebetulnya itu buat Tovlis Papa[6] agar mendapatkan hadiah sebagai gantinya. "Biarin aja, kalau Tovlis Papa beneran datang, masak ia marah-marah karena jatahnya diambil. Toh nantinya anak-anak itu tetap akan dapat hadiah dari orangtuanya sendiri..." kata Soso yang tak pernah percaya soal kisah bapak tua berjanggut dan menunggangi kereta rusa itu. Mungkin karena bacaannya, atau mungkin juga karena ia pernah membuat churchkela tapi nggak dapet hadiah apa-apa gara-gara Mak Keke lagi nggak punya duit sama sekali.

Itu saja yang Soso rindukan dari Natal di kampungnya. Selebihnya ia hanya kangen pada Mak Keke. Apalagi, Natal tahun ini, ia takkan pulang juga. Di seminari, acaranya benar-benar padat, ia juga kebagian jadi anggota paduan suara. Selain itu, setelah semua rangkaian perayaan Natal selesai, ia akan segera mengikuti ujian semester pertamanya. Barulah setelah itu ada libur selama dua minggu.

Anak-anak lain sudah pada ribut soal liburan. Soso sendiri masih bimbang, apakah ia akan pulang liburan pendek itu, atau nanti menunggu liburan panjang. Mau pulang juga nggak punya duit. Ada sih duit pemberian Mak Keke dan Bonia yang masih lumayan utuh. Tapi ia nggak yakin, kalau ia pulang, apakah ia akan punya ongkos lagi buat balik ke Tiflis. Pengennya sih, kalau pulang, ia mau nyoba naik kereta. Jalur kereta sudah dibangun di Georgia sejak 1865, dan kereta penumpang mulai beroperasi tahun 1872, beberapa tahun sebelum Soso lahir. Soso sendiri sudah sering melihat kereta, karena stasiun kereta di Gori bersebelahan dengan sekolahannya. Tapi ia belum pernah naik. Waktu ke Tiflis dianter Mak Keke malah pake kereta kuda, bukan kereta api.

Teman-temannya yang berasal dari Gori, Seva dan Peta, sudah jelas akan mudik naik kereta dan mengajaknya barengan. Soso belum mengiyakan. "Nanti aja lah, kalau sudah selesai ujian, baru kupikirkan..." jawab Soso, tanpa menyebutkan alasannya.

*****

Beberapa hari sebelum perayaan Natal. Soso mampir ke tempatnya Pak Yedid seperti biasa. Tapi yang nggak biasa adalah sambutan Pak Yedid yang mendadak begitu sumringah dengan senyum yang tersungging di balik kumis dan jenggot lebatnya.

"Cieee... ada penyair mampir nih..." katanya.

"Apaan sih Pak?" tanya Soso.

Pak Yedid menyodorkan sebuah majalah, Iveria edisi baru. Ia langsung teringat sesuatu. Jangan-jangan puisinya dimuat. Tapi darimana Pak Yedid tau kalau itu puisinya, kan ia pake nama samaran.

"Kamu pake nama Soselo kan?"

"Kok Bapak tau?"

"Udah feeling..." jawab Pak Yedid.

 Soso membuka-buka halaman majalah itu, dan beneran menemukan puisinya yang tempo hari dikirimkan langsung ke sana. Ia tersenyum bangga.

"Bener kan..." kata Pak Yedid.

"Darimana Bapak bisa tahu?" tanya Soso sambil mengingat-ingat apakah ia pernah bercerita soal puisi itu pada Pak Yedid.

"Ada deh..." jawab Pak Yedid. "Traktir dulu, baru kuberitahu darimana aku tahu kalau itu puisimu..." kata Pak Yedid lagi.

 "Lah traktir pake apa Pak, honornya aja belum ada. Kalaupun ada nggak tau berapa dan belum diterima juga..." kata Soso.

 "Ya sudah, janji ya traktir es serbat kalau honormu dah diterima!"

Soso mengangguk, "Iya, saya janji. Tapi ceritakan dulu kenapa Bapak bisa tahu..." kata Soso.

 Pak Yedid lalu bercerita, kalau seorang loper yang biasa mengantarkan majalah dan koran ke tempatnya, seorang Georgia, mampir ke kantor Iveria untuk mengambil majalah dan mengedarkannya seperti biasa. Di sana, katanya, Pangeran Ilia Chavchavadze bercerita tentang siswa seminari yang dididik secara Rusia, tapi masih punya kecintaan pada sastra, sastra Georgia pula. Si loper itu membaca puisi dan ia juga menyukainya, lalu berjanji pada Pangeran Ilia akan mengantarkan satu edisi kepada penulisnya langsung. Tapi Pangeran Ilia melarangnya, karena anak itu berada di seminari, dan itu bisa jadi masalah. "Si loper bercerita padaku, dan ketika kulihat nama penulisnya, meski kau samarkan sedikit, aku yakin, itu pasti kamu!"

"Terus?" tanya Soso.

"Kuceritakan sama dia kalau aku mengenal penulis puisi itu. Jadi dia menitipkannya satu eksemplar majalah ini untukmu..." jawab Pak Yedid. "Dia juga titip pesan, katanya kau di suruh ke sana lagi untuk mengambil honormu. Pangeran Ilia juga ingin kamu membawakannya puisi yang lain..."

Soso tersenyum sumringah. "Makasih Pak... nanti saya traktir kalau honornya sudah saya ambil!" katanya.

"Honor apaan So?" sebuah suara muncul dari belakang Soso. Si Lado.

"Puisinya dimuat Iveria..." Pak Yedid yang tampaknya sudah mengenal Lado yang menjawab.

"Wiih keren dong, mana kulihat..." Lado mengambil majalah dari tangan Soso yang halamannya masih terbuka. "Boleh juga temanku ini, selain calon pendeta, calon sastrawan juga rupanya!" Lado menepuk-nepuk pundak Soso sambil tersenyum. "Kau buatlah satu, temanya soal apalah, pekerja, buruh, atau apa. Nanti kuminta si Nunu mrenerbitkannya di Kvali..." kata Lado.

"Wah, boleh juga tuh..." kata Soso. "Nantilah kubuat kalau ada ide..."

Lado mengajaknya ngobrol di luar. Tadinya Soso pengen nyari bacaan, tapi nggak enak juga menolak ajakan si Lado.

"Kudengar kau pernah kerja di pabrik?" tanya Lado.

"Siapa yang cerita?" tanya Soso.

"Teman Yahudimu itu yang bilang.." jawab Lado sambil melirik ke dalam toko buku. "Dia bercerita soal kekagumannya padamu, datang ke Tiflis dengan bahasa Rusia yang payah, bekerja di pabrik sepatu, belajar bahasa, sampai diterima di seminari itu..." lanjutnya.

Soso sebetulnya malah menceritakannya pada Lado. Tapi karena anak itu sudah tahu, nggak ada gunanya ditutup-tutupi. "Yaah kau tahu lah, aku kan bukan anak orang kaya..." jawab Soso.

"Aku nggak mau bahas soal itu. Nggak ada salahnya juga kau kerja di pabrik, setidaknya dengan itu kau bisa merasakan bagaimana penderitaannya kan?" tanya Lado.

Soso mengangguk.

"Aku juga tahu kau sangat mencintai Georgia, tanah air kita. Puisimu tadi membuktikannya..." kata Lado lagi.

Soso diam sejenak, "Terus?"

"Bergabunglah denganku dan kawan-kawan yang lain..." kata Lado.

"Partai itu?" tanya Soso.

"Selain partai, aku juga mengorganisir gerakan buruh pribumi..." jawab si Lado. "Partai itu gerakan intelektualnya, makanya terus didukung oleh penerbitan. Tapi pemikiran tanpa tindakan kan percuma. Nah, aku yang memimpin gerakannya.."

"Tapi aku masih anak sekolah, belum saatnya begitu-begini..." jawab Soso.

"Nggak apa-apa So..." kata si Lado. "Sekolahmu ya terusin aja. Aku juga nggak mau dijewer sama Mak Keke kalau sampai kamu nggak selesai sekolah gara-gara ikutan aku. Maksudku, kau datanglah sekali-kali ke tempatku, nyumbang saran, ngasih gagasan, sharing pengalaman. Atau apa lah yang bisa kau lakukan..."

Soso diam.

"Atau gini deh..." kata si Lado lagi. "Aku tahu kau pinter, cepet menangkap gagasan orang. Nih ada buku, kau baca, terus nanti kau sampaikan apa isi buku ini pada teman-temanku!" ia menyodorkan sebuah buku. Kapital. Dengan huruf Rusia.

"Aku sudah pernah baca dikit, pusing..." kata Soso.

"Kau baca sekali lagi lah, aku yakin kamu pasti ngerti nanti... memang agak susah, terjemahan Rusianya payah. Cuma susah juga kalau cari aslinya, kita juga nggak bisa bahasa Jerman..." kata Lado lagi.

"Terus?" tanya Soso.

"Kabari aku kalau kau sudah selesai membaca dan memahami isinya. Nanti kita buka diskusi. Anggap saja bedah buku..."

"Ada honornya nggak?" tanya Soso sambil nyengir.

"Ah, kapitalis juga otakmu rupanya..." kata Lado.

Soso tertawa.

"Ya sudah, nantilah kucarikan honor buatmu. Tapi janji ya, kalau sudah selesai dan faham, kabari aku!" kata Lado lagi. "Satu lagi, puisimu, ditunggu. Itu pasti ada honornya, kumintakan langsung dari si Nunu kalau sampai nggak ada honornya!"

"Iya-iya.. tapi santai ya, nggak buru-buru. Kau tau, sudah mau Natal. Kegiatan di seminari padat banget..." kata Soso.

"Iya Romo, santai aja..." kata Lado, setengah meledek. "Udah ya, aku ada urusan dulu. Kau simpan bukunya baik-baik, mahal itu. Teman Yahudimu itu pelit kali kalau sama aku..." katanya lagi sambil meninggalkan Soso.

Giliran Soso yang pusing. Mau bawa buku itu ke kamar, atau menyimpannya di tempat Pak Yedid?

*****

Soso terpaksa membawa buku itu ke asrama dan disembunyikan di bawah kasurnya. Niatnya sih ia akan membawa buku itu besok ke kamarnya yang di rumah Pak Sese dan Mak Imel itu. Meski sudah meninggalkan rumah Pak Sese dan Mak Imel, kamar itu masih menjadi miliknya. Pak Sese dan Mak Imel ingin Soso sering-sering pulang ke situ. Soso sering ke kamarnya, tapi tak pernah bertemu mereka. Susah juga karena waktunya nggak pernah nyambung. Jam istirahat Soso nggak sama dengan jam istirahat kerja Pak Sese dan Mak Imel. Lagipula, soal kamar itu, kata Mak Imel, nggak ada yang ngisi selain Soso dan bapaknya dulu. Niatnya juga dulu mau dibikin buat gudang. Jadilah Soso masih memegang kuncinya, karena sebagian barangnya juga masih disimpan di situ.

Deg-degan juga Soso membawa buku itu ke asrama. Ia takut mendapatkan hukuman lagi. Bukan soal 'Tembok Derita' itu, tapi ia mendengar kabar soal beasiswa tahun depan. Mereka yang berprestasi, memiliki catatan bersih, bisa mengajukan beasiswa penuh. Soso sangat berharap mendapatkan beasiswa itu. Kalau masih dengan beasiswa sekarang yang masih harus membayar, ia nggak yakin masih bisa bertahan. Nggak mungkin Mak Keke terus-terusan meminta bantuan pada Romo Chark dan lainnya.

Sebetulnya ia ragu bisa mendapatkan beasiswa itu. Penyebabnya apa lagi kalau bukan soal 'catatan bersih.' Lah, ia sendiri sudah pernah dihukum. Dan siapapun yang masuk 'Tembok Derita' sudah bisa dipastikan catatannya tercoreng, karena jelas-jelas sudah divonis melakukan pelanggaran yang lumayan berat.

Tapi walikelasnya, Romo Subutov membesarkan hatinya. "Jangan pikirkan soal itu So. Bagus juga kejadiannya masih pas kamu baru-baru masuk sini, jadi biasanya masih bisa ditolelir selama tidak mengulanginya. Dan kau kan nggak pernah bikin masalah lagi. Jadi mungkin itu nanti bisa jadi pertimbangan..." kata Pak Subutov. "Lagipula, guru-guru dan pengawas sudah tahu kronologi kejadiannya. Cuma nggak mungkin kamu nggak ikutan dihukum, karena itu bisa jadi preseden buruk.." lanjut lelaki asal kota Irkutz di dataran Siberia itu.

"Sudah, kau konsentrasi aja belajar. Setelah rangkaian Natal selesai nanti, bersiap untuk ujian..." lanjut Romo Subutov. "Nantilah kubantu kau melobi rektor kalau pas pengajuan beasiswa. Ingat, jangan bikin masalah lagi. Saya kasih tau aja, menjelang ujian, razia kamar bakalan makin sering. Kalau ada apa-apa aku males bantu lho ya, aku sudah males urusan sama Inspektur Germogen atau Romo Dmitri. Kata mereka aku terlalu lembek, terlalu sering memberi dispensasi pada siswa!"

Waduh... razia kamar? Cilaka dua belas... "Kenapa pula kusimpan buku itu di bawah kasur..." rutuk Soso dengan jantung yang berdebar-debar. Mana waktu kembali ke kamar masih lama lagi.. kalau razia itu dilakukan sekarang, habis lah dia.

*****

BERSAMBUNG: (18) Razia Kamar

Catatan:

[1] Kalender hasil revisi dari Kalender Roma yang disusun oleh Julis Caesar sekira tahun 46 SM, dipakai di banyak tempat selama kurang lebih 1.600 tahun, dan masih digunakan di kalangan Gereja Ortodoks Timur

[2] Kalender hasil modifikasi dari Kalender Julian yang diperkenalkan oleh Paus Gregorius XIII pada Oktober 1582, dan kemudian digunakan secara luas di dunia dan menjadi standar penanggalan internasional. Penghitungan Kalender Georgian umumnya lebih cepat sekitar dua minggu dari Kalender Julian.

[3] Pohon Natal

[4] Hari raya untuk memperingati turunnya wahyu Tuhan yang berinkarnasi sebagai Yesus Kristus. Dilangsungkan tanggal 6 Januari kalender Gregorian, atau tanggal 19 Januari jika memakai kalender Julian.

[5] Kue berbentuk seperti sosis yang terbuat dari kenari, anggur, dan buah-buahan lain.

[6] Santa Klaus

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun