Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (15) Lado Ketskhoveli

11 Desember 2020   08:08 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:49 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (14) Dalam Tembok Derita

*****

Teman-teman Soso merasakan perubahan pada anak itu sejak mendapatkan hukuman. Soso menjadi lebih pendiam, dan sering mangkir kalau diajak jalan pas istirahat. Tapi ia tetap bergaul dengan teman-temannya itu. Masih bersama saat jam makan, ngobrol kalau berada di kamar, dan yang paling disukai teman-temannya adalah Soso rajin bantuin teman-temannya mengerjakan PR. Bukan karena Soso lebih tua atau lebih senior, tapi karena otak Soso memang paling encer diantara mereka. Di kelas A pun, Soso sudah terkenal kepandaiannya, dan diakui sendiri oleh Romo Subutov.

Soal jam istirahat tadi, teman-teman Soso mungkin juga menyadari kalau usia Soso yang lebih tua membuatnya tak selalu ingin bersenang-senang. Atau mungkin juga karena ia sudah bosan berkeliling Tiflis. Jadi anak-anak itu sering ngelayap tanpa ditemani Soso. Soso sendiri, sudah terbenam kembali dalam kesenangannya akan bacaan. Nyaris tiap hari ia mampir ke toko buku Pak Yedid. Ia tahu diri di sana, nggak cuma numpang baca buku gratis. Setidaknya, kalau Soso ke situ, Pak Yedid punya waktu untuk beristirahat, dan mempercayakan Soso untuk menjaga toko bukunya. Soso juga tak segan untuk beres-beres dan bersih-bersih toko.

Ia sudah menamatkan dua novel Tolstoy, War and Peace dan Anna Karenina. Menarik baginya, tapi tidak meninggalkan kesan mendalam. Ketika ia mulai membaca My Confession dalam versi aslinya yang berbahasa Rusia, Ispoved, keningnya mulai berkerut. Ia seakan menemukan sosok Tolstoy yang berbeda. Anna Karenina, sarat dengan kritik dan potret sosial masa Tsar Alexander II, meski disajikan dalam kisah yang rumit. Tapi dalam My Confession, Soso menemukan Tolstoy sebagai dirinya sendiri, yang merenungi hidupnya, termasuk menyoal keyakinan, mempertanyakan keberadaan Tuhan, dan soal kematian.

Tolstoy memulai kisahnya dengan cerita dari timur, dimana seorang pria dikejar hewan buas yang kelaparan. Pria itu masuk ke dalam sumur untuk menyelamatkan diri. Ia berpegangan pada sebatang pohon yang terus digerogoti dua ekor tikus. Sementara di dasar sumur, ada seekor naga yang menunggu kejatuhannya. Di pohon itu ada sarang lebah yang meneteskan madu dan pria itu pun menjilatinya.

Tolstoy menyebut ada empat kemungkinan dalam situasi ini. Pertama, pria itu bisa bersikap masa bodoh dan mengabaikan kenyataan bahwa sebetulnya ia sulit untuk selamat, dengan berpikir bahwa ia bisa bertahan dengan madu sambil berharap hewan yang mengejarnya pergi. Kedua, Tolstoy menyebutnya sebagai epicureanisme, sadar bahwa hidup itu fana, sehingga pria itu dapat menikmati sisa waktu yang dimilikinya. Ketiga, jika lelaki itu rasional, menurut Tolstoy, yang paling mudah adalah bunuh diri, terjun ke bawah dan disantap sang naga atau naik diterkam hewan buas itu. Menurut Tolstoy, jika kematian sudah sangat jelas, ngapain harus menunggu untuk menderita lebih lama? Meski Tolstoy sendiri mengakui, bahwa ia terlalu pengecut untuk mengambil pilihan paling logis itu. Dan keempat, berusaha untuk bertahan hidup, meski itu tak masuk akal dan hanya memperpanjang penderitaan.

Tolstoy tampak terpengaruh dengan pemikiran filsuf Jerman, Arthur Schopenhauer dalam karyanya The World as Will and Representation.[1] Filsuf Jerman itu banyak sekali disebut dan ungkapannya banyak yang dikutip Tolstoy.

Soso sendiri masih berpikir tentang pilihan kematian itu. Ia membanding-bandingkan satu pilihan dengan pilihan lainnya dari keempat pilihan itu. Semuanya tampak masuk akal sekaligus semuanya juga tak masuk akal. “Ah sialan, kenapa semua filsuf pekerjaannya hanya membuat orang pusing ya?” bathin Soso sambil menyimpan buku itu di meja. Ada seseorang yang masuk ke dalam toko, sementara Pak Yedid sedang keluar, jadi ia harus melayaninya.

Pengunjung yang masih muda itu langsung berkeliling melihat-lihat buku yang ada. Tapi mungkin karena tak menemukannya, barulah ia menghampiri Soso. “Punya Das Kapital atau mungkin terjemahannya?” tanya pemuda itu.

Kening Soso berkerut, “Penulisnya?”

“Karl Marx…”

Soso kayak pernah mendengarnya, tapi belum pernah melihat bukunya di tempatnya Pak Yedid itu. Ia beringsut untuk mencari tahu, sementara pemuda itu memperhatikannya.

“Soso, Joseph Djugashvili!” kata pemuda itu.

Soso melirik dan memandangnya, samar ia mengenali pemuda itu, “Kaukah itu Lado?”

Pemuda itu tersenyum lebar, “Iya, aku, Ladoslav Ketshkoveli, Lado…” katanya sambil menghambur ke arah Soso. Mereka pun berpelukan sambil menepuk pundak masing-masing.

“Kau sekolah di Seminari ini?” tanya pemuda yang dikenal Soso dengan nama Lado itu.

Soso mengangguk, “Kamu, ngapain di sini?”

*****

Ladoslav Ketshkoveli alias si Lado adalah teman Soso di Gori. Bapaknya, Gregori Ketshoveli adalah seorang pendeta dan juga guru di sekolah Soso. Lado juga sekolah di tempat yang sama. Tapi karena Lado lebih tua setahun darinya, dan Soso telat dua tahun masuk sekolahnya, maka kelas mereka jauh, beda tiga tahun. Urusan sekolah, Lado sangat senior. Makanya, sudah hampir empat tahun Soso tak melihat Lado di Gori.

“Bisa juga kau sekolah di sini!” kata si Lado, saat mereka melanjutkan obrolan di depan toko buku Pak Yedid. Untungnya Pak Yedid sudah kembali, jadi Soso bisa ngobrol dengan teman lamanya itu.

Soso nyengir, yaah ia tau, Lado emang pinter dari dulu, sudah gitu keluarganya juga mendukung, bapaknya pendeta, pinter, banyak duit juga karena konon masih keturunan bangsawan, jadi nggak harus pontang-panting kayak dia. “Kamu dulu bukannya sekolah di situ juga?" tanya Soso. Ia ingat, empat tahun yang lalu Lado menemuinya, pamitan, katanya mau sekolah seminari di Tiflis, dan sejak itulah ia tak pernah bertemu lagi, dan tak pernah lagi mendengar kabarnya.

“Kamu nggak tau kalau aku dikeluarkan?” tanya Lado.

“Dikeluarin, kenapa emangnya, berantem?” tanya Soso, teringat akan kejadian yang dialaminya sendiri.

Lado menggeleng. “Kita dulu demo, gara-gara harus selalu ngomong Rusia, padahal banyak diantara kita yang masih belum lancar. Terus, kalau ada anak yang ngomong pake bahasa lain, Georgia misalnya, dihajar nggak karu-karuan kayak orang bikin dosa besar di hadapan Tuhan…”

Soso mulai tertarik mendengarkan cerita Lado, “Terus?”

“Ya kita demo biar ada keringanan, setidaknya kalau di luar acara resmi seperti di kelas, di kapel, atau di mana aja, terutama kalau lagi di kamar, boleh lah kita ngomong pake bahasa lain, nggak harus Rusia terus…” lanjut Lado.

“Diterima usulnya?” tanya Soso.

“Boro-boro. Rektor, Pak Serafim malah memaki-maki kita dan mengatakan kalau bahasa Georgia adalah bahasa anjing, tidak layak digunakan di lingkungan suci!” jawab Lado. “Temenku yang ditunjuk jadi pemimpin demo, Silibistro Jibladze, alias si Silva, naik darah. Dia nggak bisa ngontol emosi. Dia menyerang rektor dan memukulinya. Rusuh deh…” lanjut Lado.

“Kamu ikutan demo?” tanya Soso.

“Aku ikut merancangnya, demo dulu, kalau nggak diterima rencananya akan ada mogok belajar. Tapi keburu rusuh…” jawabnya.

“Terus?” tanya Soso.

 “Ya gitu, polisi masuk, kami ditahan, dan habis itu semua yang terlibat dikeluarin dari sekolah…” jawab Lado.

 “Emang ada berapa orang?” tanya Soso.

 “85 orang yang dikeluarin, nyaris seangkatan!” jawab Lado sambil tertawa, “Yang tertinggal cuma mereka yang bukan orang Georgia atau yang punya kerabat orang penting!”

 Samar-samar Soso pernah mendengar cerita itu, termasuk dari ancaman-ancaman yang sering dilontarkan oleh para pengawas kalau ada siswa yang melanggar. Tapi ia nggak menyangka kalau salah satu biang keroknya adalah si Lado, teman sekampungnya itu.

 “Terus kamu ke mana? Kok nggak keliatan di Gori?” tanya Soso lagi.

 “Tahun berikutnya aku dikirim bapakku ke Kiev, disuruh nyoba masuk Seminari Kiev. Aku ikut ujian masuk di sana, dan keterima. Tapi itu juga nggak lama…” kata Lado, “Aku ketahuan kalau aku salah satu biang kerok kejadian di Tiflis. Tau sendiri lah, Tiflis, Kiev, dan Baku kan satu jaringan, pasti info apapun nyampe. Aku dikeluarin dari sana, malah pake ditahan polisi segala…”

“Kenapa bawa-bawa polisi lagi?” tanya Soso.

Lado tertawa, “Aku kan ikut gebukin Pak Serafim. Rupanya lima orang yang ikut mukulin dia masuk daftar hitam semua….”

“Terus, sekarang ngapain di Tiflis?” tanya Soso. Ia sebetulnya sudah merasa waktunya kembali ke sekolah karena sudah terlalu lama di situ, dan ia melihat beberapa orang siswa seminari sudah berjalan pulang.

“Udah waktunya kamu kembali ke sekolah tuh, sana balik, ntar dihajar pengawas lagi!” kata Lado yang tampaknya paham kegelisahan Soso. “Tenang aja, kita ketemu lagi besok di sini ya, akan kuajak kamu ketemu dengan teman-temanku!” kata Lado lagi.

“Janji ya…” kata Soso.

“Iya, tenang aja, kayak nggak kenal aku aja!” kata Lado.

Soso pun meninggalkannya untuk kembali ke sekolah.

*****

Soso bener-bener tak sabar ingin ketemu dengan Lado lagi. Baginya, Lado adalah teman yang mengasyikkan dalam satu hal; keingintahuannya pada banyak hal, termasuk ilmu pengetahuan. Sesuatu yang tak dia temukan pada teman-teman mainnya yang lain. Soso ingat, waktu si Lado masih di Gori, ia pernah meminjaminya terjemahan Origin of Species yang ditulis oleh Charles Darwin. Soso membaca buku itu semalaman, sampai-sampai ditegur oleh Mak Keke karena sampai subuh lampu di kamarnya masih menyala. Soso sangat serius membaca buku itu, sampai-sampai, saking seriusnya, dia mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan.

Suatu ketika, Soso dan teman-temannya yang miskin, salah satunya Grisha Glurjidze alias si Gisa baringan di taman kota Gori yang sebetulnya nggak terlalu indah. Mereka tak bisa menonton pertunjukan gulat gara-gara nggak punya duit. Gisa dengan semangat membanding-bandingkan orang miskin dan orang kaya, dan menurutnya Tuhan tidak adil karena menciptakan perbedaan itu. Soso menjawabnya dengan enteng, “Tuhan bukannya tidak adil, dia bahkan tidak benar-benar ada. Kita telah tertipu. Jika Tuhan ada, pastinya dia akan membuat dunia lebih adil. Buktinya, makhluk-makhluk sendirilah yang harus berusaha agar tetap bisa hidup!”

“Gila kamu ya, bisa-bisanya kamu ngomong begitu!” kata si Gisa yang juga sama-sama satu sekolah dengan Soso itu.

“Ntar aku pinjemin bukunya, biar kamu ngerti. Tapi baca baik-baik ya!” kata Soso. Dan ia bener-bener meminjamkan buku Darwin pinjaman dari Lado itu kepada Gisa. Celakanya, kalau Soso ‘insaf’ lagi dan kembali belajar dengan serius di sekolahnya, termasuk masih rajin ke gereja dan jadi anggota paduan suaranya, si Gisa malah beneran termakan buku itu. Ia sempet mogok sekolah, sebelum akhirnya balik lagi karena diancam akan diusir oleh orangtuanya.

*****

Seperti janjinya kemarin, Soso dan Lado bertemu kembali di toko buku Pak Yedid. Tapi mereka tak berlama-lama di sana, benar-benar hanya sebagai tempat janjian. Lado lalu membawa Soso ke sebuah tempat di timur Sungai Kura untuk bertemu dengan teman-temannya. Lado sengaja membawa Soso mengambil jalur memutar menghindari seminari, takutnya ada pengawas atau guru-guru yang masih mengenalinya sambil membawa salah satu siswa.

Masih dengan seragam putihnya, Soso dibawa ke sebuah bangunan rumah yang ramai, banyak anak muda yang semuanya bercakap-cakap dengan bahasa Georgia.

“Tempat apaan ini, Do?” tanya Soso yang merasa nyeleneh sendiri dengan pakaiannya itu, kayak biksu masuk kelab malam, terlalu mencolok. Dan ia beneran diperhatikan banyak orang.

“Ini markas kita,” jawab Lado, “Mesame Dasi…[2]” lanjutnya. 

Di tempat itu, Soso diperkenalkan oleh Lado pada seorang pemuda sepantaran mereka yang bermata hitam. “Kau mungkin nggak tau So, ini adalah orang paling terkenal di kalangan guru dan pengawas di Seminari Tiflis, Silibistro Jibladze alias Silva, siswa yang menghajar rektor itu…” kata Lado tentang temannya itu.

Silva hanya mesam-mesem, sementara Soso terlihat kagum, kagum karena keberanian dan kenekatannya, juga karena nasionalisme Georgia-nya. “Sebagai orang Georgia, aku muak bangsa dan bahasaku sendiri direndahkan, di sini, di Tiflis, pusat Georgia sendiri…” kata Silva. “Karena itu, makanya kita dirikan Mesame Dasi ini untuk memperjuangkan nasib orang-orang Georgia yang tertindas di kampung halamannya sendiri, dan menjadi budak para kapitalis Rusia…” lanjutnya.

“Ini LSM?” tanya Soso polos.

Silva tertawa, “LSM? Nggak lah, bukan. LSM itu terlalu remeh, kesannya hanya mencari keuntungan dari selisih uang bantuan dengan program yang dibuatnya…” jawabnya. “Kita lebih serius dari itu, kita bikin partai!”

Soso melongo, “Partai, emang mau ikutan pemilu?”

Silva dan Lado tertawa. “Kita bukan bikin partai untuk sekadar ikutan pemilu. Kita bikin partai untuk basis perjuangan, membebaskan orang Georgia dari penindasan Rusia. Setidaknya, kita mulai dengan memberikan pendampingan pada para buruh yang kerja di pabrik-pabrik orang Rusia agar mereka tahu hak-haknya, jadi nggak terus-terusan diperas dan diperbudak…” kata si Silva lagi. “Kau mungkin sudah dibutakan oleh beasiswa dari gereja Rusia, jadi tak bisa melihat penderitaan orang kecil, buruh….” katanya lagi.

Kalimat terakhir itu bikin Soso rada-rada sebel.

“Kalian pernah jadi buruh atau pekerja?” tanya Soso.

Silva menggeleng, “Kita datang dari kelompok terpelajar yang peduli dengan nasib buruh!”

Soso tersenyum dalam hatinya, “Belajar belum, sudah dikeluarin, terus katanya berjuang demi kaum buruh padahal mereka belum pernah merasakan jadi buruh….” Mereka nggak tau kalau orang yang disebutnya ‘dibutakan oleh beasiswa gereja Rusia’ itu justru yang sudah pernah merasakan langsung pahit-getirnya jadi buruh. Soso nggak mau menceritakan soal itu pada mereka, biarin aja, pikirnya. Tapi, Soso mengakui bahwa apa yang mereka ‘perjuangkan’ cukup menarik, karena ia justru mengalaminya sendiri.

Tak lama, Soso diperkenalkan pada pentolan ‘partai’ lain yang juga seumuran dengan mereka, seorang pemuda tampan berjanggut hitam, Noe Zhordania. Pada Soso, Nunu, panggilannya, menceritakan soal Kvali, suratkabar lokal yang mereka ambil alih pengelolaannya untuk menyebarkan pesan-pesan perjuangan partai. Soso melongo, serius juga rupanya mereka, pake punya koran segala. “Partai tanpa media itu nggak afdol, kayak gereja tanpa lonceng, atau masjid tanpa toa.. orang bisa tau dari bangunan atau namanya, tapi nggak tau apakah ada kegiatan di dalamnya atau tidak!” katanya.

Jujur saja, Soso tertarik dengan apa yang dilakukan anak-anak yang masih sepantarannya itu. Bukan hanya tertarik, tapi juga iri, di saat yang lain sudah tahu apa yang diperjuangkannya dalam hidup, ia malah baru memulai. Kayak ABG yang baru puber, sementara teman sebayanya sudah punya bini!

*****

BERSAMBUNG: (16) Soselo, Si Penyair Amatir

Catatan:

[1] Terbit pertama kali tahun 1818 di Jerman.

[2] Secara harfiah berarti ‘Kelompok Ketiga’

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun