Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (15) Lado Ketskhoveli

11 Desember 2020   08:08 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:49 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ini markas kita,” jawab Lado, “Mesame Dasi…[2]” lanjutnya. 

Di tempat itu, Soso diperkenalkan oleh Lado pada seorang pemuda sepantaran mereka yang bermata hitam. “Kau mungkin nggak tau So, ini adalah orang paling terkenal di kalangan guru dan pengawas di Seminari Tiflis, Silibistro Jibladze alias Silva, siswa yang menghajar rektor itu…” kata Lado tentang temannya itu.

Silva hanya mesam-mesem, sementara Soso terlihat kagum, kagum karena keberanian dan kenekatannya, juga karena nasionalisme Georgia-nya. “Sebagai orang Georgia, aku muak bangsa dan bahasaku sendiri direndahkan, di sini, di Tiflis, pusat Georgia sendiri…” kata Silva. “Karena itu, makanya kita dirikan Mesame Dasi ini untuk memperjuangkan nasib orang-orang Georgia yang tertindas di kampung halamannya sendiri, dan menjadi budak para kapitalis Rusia…” lanjutnya.

“Ini LSM?” tanya Soso polos.

Silva tertawa, “LSM? Nggak lah, bukan. LSM itu terlalu remeh, kesannya hanya mencari keuntungan dari selisih uang bantuan dengan program yang dibuatnya…” jawabnya. “Kita lebih serius dari itu, kita bikin partai!”

Soso melongo, “Partai, emang mau ikutan pemilu?”

Silva dan Lado tertawa. “Kita bukan bikin partai untuk sekadar ikutan pemilu. Kita bikin partai untuk basis perjuangan, membebaskan orang Georgia dari penindasan Rusia. Setidaknya, kita mulai dengan memberikan pendampingan pada para buruh yang kerja di pabrik-pabrik orang Rusia agar mereka tahu hak-haknya, jadi nggak terus-terusan diperas dan diperbudak…” kata si Silva lagi. “Kau mungkin sudah dibutakan oleh beasiswa dari gereja Rusia, jadi tak bisa melihat penderitaan orang kecil, buruh….” katanya lagi.

Kalimat terakhir itu bikin Soso rada-rada sebel.

“Kalian pernah jadi buruh atau pekerja?” tanya Soso.

Silva menggeleng, “Kita datang dari kelompok terpelajar yang peduli dengan nasib buruh!”

Soso tersenyum dalam hatinya, “Belajar belum, sudah dikeluarin, terus katanya berjuang demi kaum buruh padahal mereka belum pernah merasakan jadi buruh….” Mereka nggak tau kalau orang yang disebutnya ‘dibutakan oleh beasiswa gereja Rusia’ itu justru yang sudah pernah merasakan langsung pahit-getirnya jadi buruh. Soso nggak mau menceritakan soal itu pada mereka, biarin aja, pikirnya. Tapi, Soso mengakui bahwa apa yang mereka ‘perjuangkan’ cukup menarik, karena ia justru mengalaminya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun