Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (15) Lado Ketskhoveli

11 Desember 2020   08:08 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:49 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Iya, tenang aja, kayak nggak kenal aku aja!” kata Lado.

Soso pun meninggalkannya untuk kembali ke sekolah.

*****

Soso bener-bener tak sabar ingin ketemu dengan Lado lagi. Baginya, Lado adalah teman yang mengasyikkan dalam satu hal; keingintahuannya pada banyak hal, termasuk ilmu pengetahuan. Sesuatu yang tak dia temukan pada teman-teman mainnya yang lain. Soso ingat, waktu si Lado masih di Gori, ia pernah meminjaminya terjemahan Origin of Species yang ditulis oleh Charles Darwin. Soso membaca buku itu semalaman, sampai-sampai ditegur oleh Mak Keke karena sampai subuh lampu di kamarnya masih menyala. Soso sangat serius membaca buku itu, sampai-sampai, saking seriusnya, dia mulai mempertanyakan keberadaan Tuhan.

Suatu ketika, Soso dan teman-temannya yang miskin, salah satunya Grisha Glurjidze alias si Gisa baringan di taman kota Gori yang sebetulnya nggak terlalu indah. Mereka tak bisa menonton pertunjukan gulat gara-gara nggak punya duit. Gisa dengan semangat membanding-bandingkan orang miskin dan orang kaya, dan menurutnya Tuhan tidak adil karena menciptakan perbedaan itu. Soso menjawabnya dengan enteng, “Tuhan bukannya tidak adil, dia bahkan tidak benar-benar ada. Kita telah tertipu. Jika Tuhan ada, pastinya dia akan membuat dunia lebih adil. Buktinya, makhluk-makhluk sendirilah yang harus berusaha agar tetap bisa hidup!”

“Gila kamu ya, bisa-bisanya kamu ngomong begitu!” kata si Gisa yang juga sama-sama satu sekolah dengan Soso itu.

“Ntar aku pinjemin bukunya, biar kamu ngerti. Tapi baca baik-baik ya!” kata Soso. Dan ia bener-bener meminjamkan buku Darwin pinjaman dari Lado itu kepada Gisa. Celakanya, kalau Soso ‘insaf’ lagi dan kembali belajar dengan serius di sekolahnya, termasuk masih rajin ke gereja dan jadi anggota paduan suaranya, si Gisa malah beneran termakan buku itu. Ia sempet mogok sekolah, sebelum akhirnya balik lagi karena diancam akan diusir oleh orangtuanya.

*****

Seperti janjinya kemarin, Soso dan Lado bertemu kembali di toko buku Pak Yedid. Tapi mereka tak berlama-lama di sana, benar-benar hanya sebagai tempat janjian. Lado lalu membawa Soso ke sebuah tempat di timur Sungai Kura untuk bertemu dengan teman-temannya. Lado sengaja membawa Soso mengambil jalur memutar menghindari seminari, takutnya ada pengawas atau guru-guru yang masih mengenalinya sambil membawa salah satu siswa.

Masih dengan seragam putihnya, Soso dibawa ke sebuah bangunan rumah yang ramai, banyak anak muda yang semuanya bercakap-cakap dengan bahasa Georgia.

“Tempat apaan ini, Do?” tanya Soso yang merasa nyeleneh sendiri dengan pakaiannya itu, kayak biksu masuk kelab malam, terlalu mencolok. Dan ia beneran diperhatikan banyak orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun