Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (12) Ciee... Calon Pendeta!

8 Desember 2020   08:08 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:46 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode Awal: (1) Soso

Episode Sebelumnya: (11) Kabar dari Kampung

*****

Agustus 1894, Tiflis memasuki musim panas. Seorang anak lelaki yang sebentar lagi memasuki usianya yang ke-16 menyusuri sebuah lorong panjang sebuah gedung megah dan besar di tengah kota Tiflis. Seorang lelaki setengah baya berjubah hitam mengantarkannya ke sebuah kamar yang berada di pojokan lantai empat gedung itu. "Ini kamarmu. Pilih sendiri tempat tidurmu!" kata lelaki itu dalam bahasa Rusia  . Anak lelaki itu melangkah masuk ke dalam kamar sambil memeluk buntelan barang-barangnya. Beberapa pasang mata menatapnya.

"Soso!"

Anak lelaki itu kaget mendengar suara yang memanggil nama kecilnya. Ia melirik. Dan di deretan tempat tidur bertingkat sebelah barat, ia menemukan dua sosok yang dikenalnya. "Peta, Seva... kok kalian ada di sini?"

Dua anak itu cengengesan, "Memangnya kamu aja yang bisa sekolah di sini!" kata Peter Kapanadze alias si Peta. "Kita juga bisa lah... ya kan Sev?" lanjutnya sambil melirik sebelahnya, Josef Iremasvili alias si Seva.

Anak lelaki itu, Joseph Vissarionovich Djugashvili alias si Soso bener-bener tak menyangka akan bertemu dengan dua teman mainnya di Gori itu. Selain teman main, mereka juga satu sekolahan dengan Soso, meski dari segi usia, mereka berbeda dua atau tiga tahunan. "Romo Chark nggak cerita kalau kalian juga akan sekolah di sini!" kata Soso.

"Simpen dulu buntelanmu itu, malu-maluin, kayak anak hilang!" kata si Seva, "Tuh, kasur yang itu kayaknya masih kosong. Kita deketan aja biar asyik..." lanjutnya.

Soso menaruh buntelannya di salah satu ranjang tingkat yang memenuhi ruangan itu. Ada sepuluh rajang tingkat di dalam ruangan itu, artinya kamar itu akan dihuni oleh dua puluh orang. Ia memilih untuk mengambil kasur yang di atas, sejajar dengan ranjang yang ditempati oleh Seva dan Peta. Setelah menaruh barangnya, Soso turun lagi dan bergabung dengan dua sahabat lamanya itu.

"Apa kabar di kampung?" tanya Soso.

"Yaah, begitu deh, seperti biasa..." jawab Seva. "Geng Sotoy makin merajalela, mereka dapat tambahan dua anggota. Bonia pacaran sama anak Rusia, si Romanov. Yuri sudah jadi pegulat amatir, ngikutin bapaknya..."

"Si Bonia kenapa?" tanya Soso mendengar nama Bonia disebut-sebut.

"Pacaran sama si Romanov..." jawab Seva enteng, soalnya dia nggak tahu apa-apa soal hubungan Soso dengan anak Pak Koba dan adiknya si Yuri itu.

"Nggak pacaran sih, tapi si Romanov sering main ke rumahnya. Dia kan pegulat juga, temennya si Yuri..." timpal Peta. "Si Yuri-nya udah jarang lagi main sama kita, sibuk latihan.." lanjutnya.

Soso diam. Ia teringat surat Bonia yang dititipkan lewat Romo Chark tempo hari, dan ia juga sudah membalasnya dengan jawaban seadanya. Tapi ia segera menepiskan bayangannya itu. "Aku suka sama anak itu, tapi aku nggak punya hubungan apa-apa dengannya..."

"Kau sendiri, ngapain aja di sini selama ini?" tanya Seva.

"Yaa gitu deh, nyari duit buat tambah-tambah bayar sekolah..." jawab Soso. "Kalian dapet beasiswa juga?" Soso balik bertanya.

Seva dan Peta menggelengkan kepalanya bersamaan.

Sedang asyik mengobrol, seorang anak lelaki menghampiri mereka, "Hai.. boleh gabung?" tanyanya dengan bahasa Georgia, nadanya sopan.

Seva dan Peta melirik Soso, seolah Soso kembali ditunjuk menjadi pimpinan mereka. Soso mengangguk. Anak itu duduk di sebelah Soso. "Namaku Philip Makharadze, biasa dipanggil Pepa..." katanya. Soso, Peta, dan Deva menyebutkan namanya masing-masing.

"Kamu darimana?" tanya Soso.

"Telavi..." jawabnya. "Kalian?"

"Kita dari Gori..." jawab Seva.

"Boleh tidur dekat-dekat sini?" tanya Pepa lagi.

Soso mengangguk, "Nih di bawahku aja, kosong..."

Anak itu tampak senang, lalu pamitan mengambil barangnya, lalu menaruhnya di ranjang yang ada di bawah Soso.

*****

Hari pertama soso di Seminari Tiflis itu hanya diisi dengan ngobrol dan perkenalan dengan teman-teman barunya, terutama yang berada dalam satu kamar. Barulah keesokan harinya, pagi-pagi, anak-anak baru itu dikumpulkan di lapangan yang berada di tengah-tengah bangunan berbentuk segitiga itu. 

Ketika melihatnya dari luar dulu, Soso mengira bangunan itu berlantai tiga, ternyata ada empat lantai. Lantai atas berisi kamar-kamar untuk enam ratus siswa yang bersekolah di situ. Tiga laintai lainnya adalah ruang kelas, kapel, ruang makan, perpustakaan, dan lain-lain, sedangkan bagian depan merupakan ruang administrasi termasuk ruangan guru dan kepala sekolah.

Upacara pagi itu dimulai dengan pengenalan guru-guru dan pengawas asrama, jumlahnya ada 23 orang, termasuk rektor yang bernama Archimandrite Serafim, kepala pengawas yang dipanggil Inspektur Germogen, dan guru serta pengawas lainnya. Nggak semuanya bisa langsung diingat oleh Soso.

Beres sambutan dan perkenalan guru dan pengawas, Inspektur Germogen membacakan jadwal tetap harian yang dibacakan dalam bahasa Rusia:

"Jam tujuh pagi ada lonceng yang menandakan kalian harus bangun, mandi, dan mengenakan seragam yang nantinya akan dibagikan. Jam setengah delapan ibadah bersama di kapel. Jam delapan sarapan. Jam setengah sembilan mulai pelajaran di kelas. Jam tiga makan siang. Dari jam tiga sampai jam lima, kalian istirahat, dan diperkenankan keluar sekolah, tetapi harus sudah berada di dalam kelas lagi jam lima. Kelas sampai jam tujuh, dilanjutkan ibadah malam dan makan malam. Setelah makan, kelas dimulai lagi sampai jam setengah sepuluh. Setengah sepuluh ibadah penutup dan setelah itu kembali ke ruangan masing-masing. Jam sepuluh lampu-lampu akan dimatikan, dan kalian harus beristirahat!"  

"Hari Minggu, tidak ada kelas, jadwal hampir sama, tapi jam kelas digantikan dengan kebaktian," lanjut Pak Germogen.

Seorang pengawas lainnya, melanjutkan pembacaan 'undang-undang' asrama, kali ini mulai serem, urusan disiplin dan penegakan disiplin: "Bahasa Rusia adalah bahasa resmi di lingkungan sekolah. Dilarang menggunakan bahasa lain, baik di dalam ruang kelas, ruang ibadah, ruang makan, dan seluruh lingkungan sekolah, termasuk di dalam kamar masing-masing. Jika ketahuan menggunakan bahasa lain, akan diberi sanksi berupa peringatan, catatan, hukuman, hingga pengurangan nilai perilaku. Bersikap sopan terhadap sesama siswa, dan hormat kepada guru, pengawas, dan rektor. Pelanggaran untuk ini sama seperti jenis pelanggaran lainnya. Dilarang membaca buku-buku yang tidak disediakan oleh sekolah. Terakhir, pelanggaran berat jenis apapun diancam dengan hukuman penghentian beasiswa bagi mereka yang menerimanya, dan tidak menutup kemungkinan dikeluarkan dari sekolah!"

Bagi Soso, aturan-aturan itu tidak terlalu memberatkan. Satu-satunya yang membuatnya gelisah adalah soal buku bacaan. Tapi itupun segera ditepisnya, "Aku bisa membacanya di tempat Pak Yedid saat istirahat..." bathinnya.

Soal bahasa, ia menganggapnya itu bagus, agar bahasa Rusianya makin lancar. Tapi rasanya aneh juga ketika ia kembali ke kamar, bertemu dengan teman-teman sekamarnya yang semuanya berasal dari berbagai kota di Georgia, tapi harus menggunakan bahasa Rusia. Apalagi dengan dua temannya, Seva dan Peta, ditambah lagi dengan si Pepa yang sudah menjadi teman dekatnya.

Hari kedua itu, setelah upacara, Soso dan anak-anak baru yang berjumlah seratusan orang itu langsung masuk ke dalam kelas yang sudah ditentukan. Soso, Seva, dan si Pepa satu kelas, sementara Peta berbeda kelas. Di dalam kelas, seorang guru yang menjadi walikelasnya, Andrey Subutov, mengulangi apa yang sudah disampaikan sebelumnya dengan penambahan. Ia juga membertahu soal pelajaran-pelajaran yang akan diajarkan untuk anak-anak tahun pertama; Bahasa dan Sastra Rusia, Sejarah, Matematika, dan tentu saja plajaran agama, yakni Nyanyian Gereja dan paling banyak jamnya adalah Studi Alkitab.

Setelah itu, 35 orang siswa disuruh maju satu-satu untuk menceritakan tentang dirinya sendiri, tentu saja dengan bahasa Rusia. Ternyata, banyak juga yang bahasa Rusia-nya belepotan. Tapi yang jelas, hampir semua adalah anak-anak orang kaya, kalau tidak orang penting. Entah itu pengusaha, pejabat lokal, anak pendeta, polisi, dan sebagainya. Si Peta, di Gori sana juga bukan orang sembarangan, bapaknya Giorgi Kapanadze adalah pengusaha. Si Pepa, teman barunya itu, bapaknya ternyata pendeta di Telavi. Lah dia? Mana namanya sudah dipanggil lagi...

"Ceritakan siapa kamu, dan latar belakang keluargamu!" kata Pak Subutov.

Soso berdehem dulu, "Saya Joseph Vissarionovich Djugashvili, biasa dipanggil Soso..." katanya. "Saya dari Gori. Umur saya 16 tahun..."

Pas menyebutkan umurnya, ada anak yang teriak "Woooo.... Bangkotan!"

Soso mendelik ke arahnya.

Tapi baru mau melanjutkan, Pak Subutov sudah memotongnya, "Ya sudah nggak apa-apa. Tapi karena kamu paling senior di kelas ini, kamu saya angkat sebagai ketua kelas. Nanti saya jelaskan tugas sebagai ketua kelas. Sekarang lanjutkan dulu..." katanya.

"Saya kira cukup, Romo..." kata Soso dengan sopan.

"Orangtuamu siapa, terus pekerjaan orangtuamu apa?" tanya Pak Subutov.

Ah, itu dia. Tadinya Soso males cerita. "Bapak saya Visarion Djugasvili, ibu saya Ekaterina Geladze. Bapak saya... pengusaha sepatu di Gori..." kata Soso, setengah bener dan setengah enggak. Ya dulu bapaknya memang pernah punya usaha kecil-kecilan, punya anak buah segala. Tapi tau sendiri lah, bapaknya itu sudah kabur entah kemana sekarang.

Pas denger Soso menyebutkan itu, anak-anak sekelas menertawakannya, apalagi anak yang tadi meneriakinya 'bangkotan,' ketawanya paling keras dan terdengar melecehkan sekali. Mungkin hanya si Peta dan si Pepa aja kayaknya yang nggak ketawa.

"Nggak apa-apa bapakmu pengusaha sepatu. Penting itu, kalau nggak ada orang kayak bapaknya Soso, kita mau pake apa sekarang..." kata Pak Subutov menenangkan. "Oh ya, nanti, ketika pelajaran sudah dimulai, tak ada lagi keributan-keributan seperti ini. Semuanya harus tertib, kalau mau bicara, angkat tangan dulu supaya tidak berebutan..." lanjutnya. "Ada lagi yang mau diceritakan?" Pak Subutov melirik pada Soso.

Soso menggeleng. Pak Subutov pun mempersilakannya balik ke bangkunya.

*****

Jam makan siang yang kesorean itu, Soso kembali berkumpul dengan Peta, Seva, dan Pepa. Menunya? Ya begitu, nggak jauh dari makanan pabrik, roti, labio, dan beberapa jenis lauk lainnya. Hanya saja rasanya lebih baik ketimbang makanan di pabrik, tapi tentu saja tak seenak masakannya Mak Imel. Anak-anak lain tampak menggerutu dengan menu itu. Salah seorang anak, anak yang sekelas dengan Soso dan meneriakinya tadi, bahkan ditegur oleh seorang pengawas karena memaki dengan menggunakan bahasa Georgia. Kotor banget bahasanya, untung saja si pengawas nggak ngerti artinya, kalau ngerti, bisa dapet hukuman tambahan selain teguran itu.

"Istirahat kita mau kemana?" tanya Seva yang jadi sedikit pendiam, itu gara-gara bahasa Rusianya yang masih parah, jadi mungkin ia berusaha untuk tidak banyak omong ketimbang keceplosan pake bahasa Georgia dan disemprot pengawas.

"Kita jalan-jalan yuk ..." kata si Pepa.

Seva dan Peta setuju. "So, kau yang tunjukan tempat yang asyik di sini ya, kan kau sudah lama di sini," kata si Peta.

"Besok aja ya. Hari ini aku harus ke rumah keluarga angkatku, ambil barangku yang tertinggal..." jawab Soso. "Tapi kutunjukkan kalian jalan ke Yerevan Square, banyak yang bisa kalian lihat di sana..." kata Soso lagi.

"Yaah... kalau kita nyasar gimana?" tanya si Peta lagi.

"Ya kau tandai lah jalannya, atau kalau bingung, tanya sama orang-orang..." jawab Soso.

"Ya udah, aku beberapa kali ke Tiflis kok, lumayan hafal jalan..." kata si Pepa.

Dan jadilah, mereka berpisah. Seva, Peta, dan Pepa jalan-jalan, sementara Soso, tak seperti yang dikatakan pada temannya, ia sama sekali tidak berkunjung ke rumah Pak Sese dan Mak Imel --yang jelas-jelas jam segitu nggak ada di rumahnya karena masih pada kerja, justru ia malah menuju rumahnya Pak Dmytro, mantan guru bahasanya. Siapa lagi yang ditemuinya kalau bukan Irena.

"Cieee... calon pendeta!" ledek cewek manis itu begitu menemuinya.

Soso hanya nyengir.

*****

BERSAMBUNG: (13) Sel di Asrama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun