"Hari Minggu, tidak ada kelas, jadwal hampir sama, tapi jam kelas digantikan dengan kebaktian," lanjut Pak Germogen.
Seorang pengawas lainnya, melanjutkan pembacaan 'undang-undang' asrama, kali ini mulai serem, urusan disiplin dan penegakan disiplin: "Bahasa Rusia adalah bahasa resmi di lingkungan sekolah. Dilarang menggunakan bahasa lain, baik di dalam ruang kelas, ruang ibadah, ruang makan, dan seluruh lingkungan sekolah, termasuk di dalam kamar masing-masing. Jika ketahuan menggunakan bahasa lain, akan diberi sanksi berupa peringatan, catatan, hukuman, hingga pengurangan nilai perilaku. Bersikap sopan terhadap sesama siswa, dan hormat kepada guru, pengawas, dan rektor. Pelanggaran untuk ini sama seperti jenis pelanggaran lainnya. Dilarang membaca buku-buku yang tidak disediakan oleh sekolah. Terakhir, pelanggaran berat jenis apapun diancam dengan hukuman penghentian beasiswa bagi mereka yang menerimanya, dan tidak menutup kemungkinan dikeluarkan dari sekolah!"
Bagi Soso, aturan-aturan itu tidak terlalu memberatkan. Satu-satunya yang membuatnya gelisah adalah soal buku bacaan. Tapi itupun segera ditepisnya, "Aku bisa membacanya di tempat Pak Yedid saat istirahat..." bathinnya.
Soal bahasa, ia menganggapnya itu bagus, agar bahasa Rusianya makin lancar. Tapi rasanya aneh juga ketika ia kembali ke kamar, bertemu dengan teman-teman sekamarnya yang semuanya berasal dari berbagai kota di Georgia, tapi harus menggunakan bahasa Rusia. Apalagi dengan dua temannya, Seva dan Peta, ditambah lagi dengan si Pepa yang sudah menjadi teman dekatnya.
Hari kedua itu, setelah upacara, Soso dan anak-anak baru yang berjumlah seratusan orang itu langsung masuk ke dalam kelas yang sudah ditentukan. Soso, Seva, dan si Pepa satu kelas, sementara Peta berbeda kelas. Di dalam kelas, seorang guru yang menjadi walikelasnya, Andrey Subutov, mengulangi apa yang sudah disampaikan sebelumnya dengan penambahan. Ia juga membertahu soal pelajaran-pelajaran yang akan diajarkan untuk anak-anak tahun pertama; Bahasa dan Sastra Rusia, Sejarah, Matematika, dan tentu saja plajaran agama, yakni Nyanyian Gereja dan paling banyak jamnya adalah Studi Alkitab.
Setelah itu, 35 orang siswa disuruh maju satu-satu untuk menceritakan tentang dirinya sendiri, tentu saja dengan bahasa Rusia. Ternyata, banyak juga yang bahasa Rusia-nya belepotan. Tapi yang jelas, hampir semua adalah anak-anak orang kaya, kalau tidak orang penting. Entah itu pengusaha, pejabat lokal, anak pendeta, polisi, dan sebagainya. Si Peta, di Gori sana juga bukan orang sembarangan, bapaknya Giorgi Kapanadze adalah pengusaha. Si Pepa, teman barunya itu, bapaknya ternyata pendeta di Telavi. Lah dia? Mana namanya sudah dipanggil lagi...
"Ceritakan siapa kamu, dan latar belakang keluargamu!" kata Pak Subutov.
Soso berdehem dulu, "Saya Joseph Vissarionovich Djugashvili, biasa dipanggil Soso..." katanya. "Saya dari Gori. Umur saya 16 tahun..."
Pas menyebutkan umurnya, ada anak yang teriak "Woooo.... Bangkotan!"
Soso mendelik ke arahnya.
Tapi baru mau melanjutkan, Pak Subutov sudah memotongnya, "Ya sudah nggak apa-apa. Tapi karena kamu paling senior di kelas ini, kamu saya angkat sebagai ketua kelas. Nanti saya jelaskan tugas sebagai ketua kelas. Sekarang lanjutkan dulu..." katanya.