Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta dalam Lautan Banjir (Bab 1)

6 Maret 2016   20:03 Diperbarui: 22 April 2016   15:18 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Jakarta Lautan Banjir"] 

PROLOG 

Kristi menatap bayangan wajah yang terpantul dari dalam cermin. Rasa tak percaya menghampirinya. "Ah, cantik nian gadis di dalam cermin ini. Apakah itu aku?" ujar Kristi dengan lirih. Tak bosan-bosannya ia menatap bayangan di cermin sambil mencubit lengannya sendiri. Aw, sakit ternyata!

Juru rias pengantin yang sejak tadi memperhatikan tingkah Kristi hanya tersenyum simpul. "Yang di dalam cermin itu Mbak Kristi, lho. Cantik, kan? Ya, iyalah, Mbak. Yang namanya pengantin itu pasti akan terlihat cantik di hari pernikahannya."

"Benarkah?"

Kristi jadi malu saat mendengar penjelasan sang juru rias. Dan ia masih belum percaya kalau hari ini adalah hari pernikahannya. Hari yang selama dua tahun ini sangat ia nanti-nantikan, tepatnya sejak ia mengenal Girianto, laki-laki yang bakal menjadi suaminya itu.

***

1. Jakarta Lautan Banjir

 

Pertengahan Februari 1993.

Saat ini Jakarta tengah dilanda banjir bandang. Hujan yang terus-menerus mengguyur ibukota, ditambah dengan kiriman dari Bogor, membuat Jakarta bagaikan lautan banjir. Beruntung, rumah Kristi terletak agak tinggi, sehingga air hanya membanjiri halaman depan rumahnya dan tidak sampai ke dalam. Tapi bagaimana dengan nasib beberapa tetangganya yang rumahnya berada di bawah? Tentunya banjir telah menerjang rumah mereka. Ya, termasuk rumahnya Indah, sahabat Kristi sejak kecil.

"Nduk, coba kamu tengok rumah Indah dan rumah Pak Arman yang berada di Asrama Brimob bawah," ujar Bapak pada suatu sore yang mendung. Hujan deras baru saja berhenti. Kristi yang tengah asyik menyimak berita tentang banjir Jakarta di televisi hanya melirik Sang Bapak dengan malas.

"Ya, pastinya lagi banjir lah, Pak. Wong hujan terus-menerus turun dari pagi tadi, kok," jawab Kristi sambil matanya tak lepas dari kotak ajaib bernama televisi itu.

"Justru itu Bapak nyuruh kamu ke sana. Kalo nggak banjir, ngapain juga Bapak harus capek-capek begini?"

Nah, lho! Kristi mulai mencium aroma kemarahan dari nada suara Bapak. Tanpa perintah lagi, segera dibalikkannya badan menghadap Sang Bapak. "Trus, Kristi kudu ngapain di sana, Pak?"

"Nih, Ibu udah masak makan malam untuk mereka. Kamu kasihkan ke sana ya, Nduk?" Tiba-tiba saja Ibu telah muncul di ruang depan dengan menenteng dua buah rantang empat susun yang lumayan besar.

"Ingat, lho, Nduk, rantang-rantang ini harus tepat sasaran!" Demikian titah Bapak yang hanya membuat kening Kristi tambah berkerut saja.

"Rantang-rantang ini untuk Indah dan Pak Arman, kan?" tanya Kristi sekadar memastikan. Kemudian lanjutnya, "Ngomong-ngomong, Pak Arman itu siapa, sih, Pak? Rasanya Kristi baru mendengar namanya disebut Bapak."

Kristi yang sangat hapal tabiat bapaknya yang suka sekali menceritakan tentang teman-temannya, tentunya heran mendengar nama Pak Arman disebut Sang Bapak sore itu. Apalagi ketika tahu kalau ternyata beliau tinggal di Asrama Brimob bawah, hei, tambah bikin penasaran saja.

"Eh, masa kamu nggak kenal ama Pak Arman?" Bapak memandang Kristi, heran. Sedangkan Kristi hanya menggeleng lemah.

"Hm... Pak Arman itu kan teman Bapak waktu baru masuk polisi," Bapak memulai ceritanya. Kristi dan Ibu menyimak di sebelah Bapak. "Dulu, setelah ikut pendidikan Bintara, dia itu ditugaskan ke Kupang. Baru kemaren Bapak ketemu lagi, setelah sekian lamanya terpisah. Dan yang mengagetkan itu, ternyata rumahnya kini tak jauh dari rumah kita. Cuma beda asrama aja." Bapak tampak berapi-api saat menceritakan perihal Pak Arman itu. Kristi dan Ibu yang menyimak dari tadi hanya saling berpandangan saja dan tersenyum simpul. Karena bagaimanapun mereka telah paham sekali dengan tabiat Sang Bapak.

"Yo wis toh, cerita Pak Arman sampe di sini dulu. Kalo dilanjut terus kapan kelarnya? Yang ada nanti Kristi malah nggak jadi lagi nganter rantangnya," ujar Bapak menyudahi ceritanya dan memandang ke arah istri dan anak gadisnya. Kristi yang dipandangi begitu oleh bapaknya hanya nyengir kuda. Segera diraihnya rantang-rantang itu dan beranjak meninggalkan orangtuanya.

Tapi baru saja Kristi sampai di pintu depan...

"Eh, ya, Nduk. Pak Arman itu punya anak bujang polisi juga, lho. Semoga aja kamu berjodoh dengannya, ya?"

Kristi mendadak kaget. "Eh, maksud Bapak apa?" gumamnya sambil geleng-geleng kepala dan bergegas meninggalkan rumah menuju Asrama Brimob bawah.

***

Pasca acara bagi rantang itu, rumah Pak Suwondo alias rumah orangtua Kristi acap kali kedatangan seorang polisi muda bernama Girianto.

"Kamu mau apalagi kemari?" Ketus Kristi menyambut kehadiran Girianto malam ini. Soalnya, pemuda itu memiliki begitu banyak alasan untuk bisa datang ke rumahnya. Mulai dari mengembalikan rantang Ibu, menyampaikan pesan Pak Arman kepada Bapak, balas mengirimkan rantang, dan entah apalagi.

"Aduh, jutek amat, Neng. Ntar keliatan tua, lho!" Girianto mencoba mencairkan suasana dengan berkelakar. Tapi sayang, Kristi bukanlah tipikal gadis yang mudah luluh hati didekati oleh pemuda ganteng berpangkat bintara itu. Buktinya, ia tetap bergeming walaupun Girianto mulai melancarkan rayuan mautnya.

"Hei, senyum, dong? Masa aku main ke sini dikasih asem, sih?"

"Udah ngerayunya?" ucap Kristi seraya berdiri.

"Lho, lho, kamu mau ke mana?" Girianto terlihat panik melihat Kristi yang menguap dan bersiap masuk ke dalam rumah.

"Aku ngantuk. Pengen tidur."

"Tapi, aku kan baru datang...."

"Bodo!"

Saat Kristi hendak melangkah ke dalam rumah, tiba-tiba saja Bapak sudah keluar dan berdiri di dekat pintu depan. "Nduk, ndak baik, lho, menolak pemuda sebaik Nak Girianto. Apalagi sekarang malam minggu. Kalo emang kalian mau jalan, sana gih Bapak izinkeun. Tapi ingat, jam 10 udah harus balik, ya?"

Kristi pun heran. Padahal biasanya Sang Bapak terkenal galak kalau melihat anak gadisnya itu didekati oleh laki-laki. Tapi ini kok...?

"Eh, iya, Om. Saya memang bermaksud ngajak Kristi nonton. Boleh, ya, Om?" Mendapat dukungan dari Pak Wondo - bapaknya Kristi, Girianto pun tak menyia-nyiakan kesempatan yang ada.

"Oh, yo, monggo. Pokoknya jam 10 udah harus sampe di rumah," kata Bapak lagi, sekadar mengingatkan.

"Siap, Komandan!" Girianto pun bangkit dari tempat duduknya dan memberi hormat ala militer kepada lelaki paruh baya yang berdiri di hadapannya itu. 

Kini, tinggal Kristi yang merana pasrah menerima nasib.

***

"Harusnya lu tuh bersyukur, Ti," ucap Indah, saat Kristi bermain ke rumahnya sekalian bercerita tentang Girianto yang rajin main ke rumah Kristi. Beruntung, Jakarta cerah dalam sepekan ini. Sehingga Indah bisa bernapas lega terhadap ancaman banjir yang kerap menghantui rumahnya.

"Maksudnya lu bersyukur, apa, nih, Ndah?" Kristi balik bertanya kepada Indah. Ditatapnya mata sahabat kecilnya itu. Teh manis hangat yang terhidang di atas meja dan seyogyanya hendak diseruput, urung dilakukannya.

"Yaelah.... Masa mesti gue jelasin juga? Lu itu 'pinpinbo' banget, sih?"

Saat mendengar kata "pinpinbo" keluar dari mulut Indah, spontan Kristi melempar sebuah bantal kursi ke arah sahabatnya itu. Untung Indah segera tanggap. Sehingga bantal tersebut hanya mengenai sandaran kursi tempat Indah duduk.

"Ih, gitu aja ngambek!" Indah menggerutu sendiri seraya memangku bantal hasil lemparan Kristi tadi.

"Tarik lagi nggak tuh kata-kata!" ancam Kristi. Matanya sampai melotot menatap Indah.

"Ih, takut!" Indah pura-pura bergidik.

Kristi makin memelototkan matanya.

"Iya, iya. Gue tarik lagi kata-kata 'pinpinbo' yang gue sebut tadi. Udah? Puas lu?"

Kristi tersenyum. Segera, diambilnya cangkir berisi teh manis di atas meja yang sebelumnya urung diminum. Kemudian matanya kembali menatap Indah. "Nah, lu bisa jelasin sekarang ke gue, ada apa dengan Girianto? Kenapa dia rajin banget ke rumah gue?"

"Mas Giri!" Indah meralat omongan Kristi. "Sopan dikitlah ama yang lebih tua."

"Udah, deh. Jangan buang waktu. Gue ke sini kan cuma pengen tau soal Girianto. Apa motif dia saban hari ke rumah gue? Bikin gue kesal aja."

"Oke, oke, kalo lu pengen tau." Indah diam sejenak sambil mengatur napas. Kemudian lanjutnya, "Itu... itu karena Mas Giri suka ama lu. Dan itu udah lama banget. Tepatnya, saat kita masih pake seragam putih-biru."

Kristi terbelalak. "SMP, maksud lu?"

"Yup!"

"Kok bisa?" Kristi makin kaget.

Indah hanya merentangkan kedua tangannya menanggapi pertanyaan Kristi.

***

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun