"Nduk, coba kamu tengok rumah Indah dan rumah Pak Arman yang berada di Asrama Brimob bawah," ujar Bapak pada suatu sore yang mendung. Hujan deras baru saja berhenti. Kristi yang tengah asyik menyimak berita tentang banjir Jakarta di televisi hanya melirik Sang Bapak dengan malas.
"Ya, pastinya lagi banjir lah, Pak. Wong hujan terus-menerus turun dari pagi tadi, kok," jawab Kristi sambil matanya tak lepas dari kotak ajaib bernama televisi itu.
"Justru itu Bapak nyuruh kamu ke sana. Kalo nggak banjir, ngapain juga Bapak harus capek-capek begini?"
Nah, lho! Kristi mulai mencium aroma kemarahan dari nada suara Bapak. Tanpa perintah lagi, segera dibalikkannya badan menghadap Sang Bapak. "Trus, Kristi kudu ngapain di sana, Pak?"
"Nih, Ibu udah masak makan malam untuk mereka. Kamu kasihkan ke sana ya, Nduk?" Tiba-tiba saja Ibu telah muncul di ruang depan dengan menenteng dua buah rantang empat susun yang lumayan besar.
"Ingat, lho, Nduk, rantang-rantang ini harus tepat sasaran!" Demikian titah Bapak yang hanya membuat kening Kristi tambah berkerut saja.
"Rantang-rantang ini untuk Indah dan Pak Arman, kan?" tanya Kristi sekadar memastikan. Kemudian lanjutnya, "Ngomong-ngomong, Pak Arman itu siapa, sih, Pak? Rasanya Kristi baru mendengar namanya disebut Bapak."
Kristi yang sangat hapal tabiat bapaknya yang suka sekali menceritakan tentang teman-temannya, tentunya heran mendengar nama Pak Arman disebut Sang Bapak sore itu. Apalagi ketika tahu kalau ternyata beliau tinggal di Asrama Brimob bawah, hei, tambah bikin penasaran saja.
"Eh, masa kamu nggak kenal ama Pak Arman?" Bapak memandang Kristi, heran. Sedangkan Kristi hanya menggeleng lemah.
"Hm... Pak Arman itu kan teman Bapak waktu baru masuk polisi," Bapak memulai ceritanya. Kristi dan Ibu menyimak di sebelah Bapak. "Dulu, setelah ikut pendidikan Bintara, dia itu ditugaskan ke Kupang. Baru kemaren Bapak ketemu lagi, setelah sekian lamanya terpisah. Dan yang mengagetkan itu, ternyata rumahnya kini tak jauh dari rumah kita. Cuma beda asrama aja." Bapak tampak berapi-api saat menceritakan perihal Pak Arman itu. Kristi dan Ibu yang menyimak dari tadi hanya saling berpandangan saja dan tersenyum simpul. Karena bagaimanapun mereka telah paham sekali dengan tabiat Sang Bapak.
"Yo wis toh, cerita Pak Arman sampe di sini dulu. Kalo dilanjut terus kapan kelarnya? Yang ada nanti Kristi malah nggak jadi lagi nganter rantangnya," ujar Bapak menyudahi ceritanya dan memandang ke arah istri dan anak gadisnya. Kristi yang dipandangi begitu oleh bapaknya hanya nyengir kuda. Segera diraihnya rantang-rantang itu dan beranjak meninggalkan orangtuanya.