Faras menggeleng pelan. Matanya agak bengkak. Menahan kantuk. Sepulang menjenguk Wati tadi pagi, ia belum istirahat. Makanpun sedikit.
“Iya Faras, istirahatlah dulu, Biar Uwak Mina yang jaga Ibumu” ujar Pak Kardi membujuk.
“Tak Apa Uwak Kardi. Faras sudah ijin tadi sama Bu Asri, besok tidak masuk sekolah, jadi bisa jaga Ibu!”
Pak Kardi dan Bu Mina memutuskan menemani Bu Nurjanah.
“Besok, biar Uwak saja yang menemani Ibumu. Faras nginap di rumah bersama Rida di rumah Uwak! Sebentar lagi ujian semester. Uwak janji menjaga Ibumu” ucap Bu Mina penuh sayang.
***
Sudah tiga hari Bu Nurjanah dirawat. Kondisinya belum sepenuhnya pulih. Kata dokter dia harus cuci darah rutin. Pak Kardi dan Bu Mina, sengaja tidak memberitahukan kepada Faras. Biayanya tentu mahal. Pak Kardi sudah memberitahukan kepada tetangga yang lain tentang kondisi Bu Nurjanah. Mereka sudah sepakat urunan mengumpulkan dana untuk menanggung biaya Rumah Sakit. Rupanya diam-diam Faras telah mengetahui penyakit ibunya, dia sangat sedih. Ia ingat betul dengan pesan almarhum Ayahnya, laki-laki pantang menangis. Jika kekurangan mintalah kepada Allah, begitulah pesan ayah sekaligus guru ngajinya.
Faras baru sadar, tentang kaleng yang ditemukannya beberapa hari lalu. Dengan berani, Faras mendatangi kantor Rumah Sakit. Sambil membawa kaleng berisi koin emas. Ia hendak membayar biaya perawatan Ibunya. Bu Mina masih setia menemani. Faras hanya memastikan koin emas itu ada gunanya.
“Mau ke mana Faras?”
Faras hanya diam, berjalan cepat sambil memeluk tasnya.
***