Mohon tunggu...
Alifito Rachmaya
Alifito Rachmaya Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - XII MIPA 2 | SMAN 1 Padalarang

Alifito Rachmaya XII MIPA 2 SMAN 1 PADALARANG

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Seliguri, Bunga Para Pribumi

21 November 2021   11:09 Diperbarui: 21 November 2021   11:28 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selasa, 02 November 1965

Duka juga rintisan air mata sedang menyelimuti NKRI, dimana kala itu sang merah putih telah kehilangan salah satu tauladan dan pendobrak kemerdekaan. Aku adalah Rasuna Said, pejuang wanita yang berasal dari Desa Panyinggahan , Maninjau, Agam, Sumatera Barat. Aku adalah salah satu wanita yang memiliki tekad kuat dalam menaikan derajat kalangan wanita juga kemerdekaan Indonesia hanya saja perjuanganku dicukupkan oleh tuhan, aku terpanggil dengan hasil yang membuatku sangat bangga. Yang dimana perjuanganku dimulai ketika aku terlahir dengan sang merah putih yang sedang diujung tombaknya.

Rabu, 14 September 1910

Berdiri seorang Lelaki yang sedang dihadapi rasa kegelisahan yang tak pernah ia alami sebelumnya, sudah cukup lama ia terus menerus memegang tangan dan mengusap kepala seseorang wanita yang sedang berjuang kesakitan, mulutnya berkomat-kamit membacakan doa kesalamatan bagi istri dan anaknya yang akan segera lahir. Melihat wajah sang istri yang sedang berjuang membuat lelaki itu menangis, sungguh rasa tidak tega dan khawatir sudah sangat menghantuinya.

Tangisan bayi terdengar jelas memenuhi ruangan persalinan, bayi yang telah lahir dan telah dibaluti kain, digendong oleh wanita yang ditemani lelaki itu.

"Uda... Bayi kita perempuan uda, ia sungguh manis," ucap si wanita sembari menitiskan air mata melihat putri kecilnya, "Kita beri nama dia siapa uda?"

Lelaki itu tersenyum lega melihat istri dan anaknya, "Rangkayo Rasuna... bagaimana cantik bukan?" balasnya sembari menatap mata kekasihnya.

"Rangkayo Rasuna Said," dibalasnya sembari tersenyum manis, "Diambil dari nama Uda, Muhammad Said, agar besar nanti Rasuna bisa jadi orang yang berjuang dan bertanggung jawab sepertimu da." 

Air mata kembali mengalir dimata Said, ia mencium kening istrinya dengan penuh rasa bangga karena memilikinya, ia berharap semoga Rasuna benar benar bisa menjadi orang yang diharapkan oleh ibunya.

12 tahun berlalu...

Waktu telah cukup lama berlalu di kediaman Muhammad Said, Aku sebagai putri dari pemilik kediaman ini segera bergegas membantu Apak-ku sekaligus para pekerja untuk berdagang, pagi pagi di hari libur aku selalu menolong Apakku menyiapkan segala yang ia butuhkan untuk berdagang, tak lupa aku membantu juga Amak-ku untuk membersihkan rumah dan halamannya. Keluargaku memiliki hidup yang lebih dari cukup bahkan aku bisa bersekolah lebih dari sekolah dasar, walaupun hari hariku cukup melelahkan dengan belajar tetapi membantu orang tua sudah menjadi kewajiban anak bukan?   

Apak = Ayah

Amak = Ibu

 Hari ini aku dan Apakku berkeliling desa, menikmati hari sembari bersilahturahmi dengan orang orang sekitar, tanganku selalu bergandengan dengan Apak, cukup kalian tau bahwa pada zaman ini para penjajah masih berkeliaran dimana mana, ya walaupun mereka hanya berpatroli kesana kemari tetapi tidak ada yang tahu apa yang akan mereka lakukan. Sebenarnya aku cukup merasa aman karena Apak mempunyai nama yang di pandang oleh para penjajah di desa ini. 

"Rasuna, kelak orang orang yang menjajah kita ini akan kembali ke negrinya dan negri kita ini akan merdeka." Ucap Apak ditengah perjalanan.

"Apak, apakah para pribumi akan bisa bersekolah semua?" balasku menatap Apak.

"Apak yakin jika masih ada tokoh tokoh juga masyarakat negri ini yang menginginkan kemerdekaan, semua hal yang dilakukan oleh para penjajah di negri kita ini, bisa kita lakukan kelak nanti," Balas Apak tersenyum, ia mengusap ngusap kepalaku dengan lembut.

"Maksud Apak, kita bisa menjajah negri orang lain juga?" balas ku dengan polosnya.

Apak tertawa mendengar jawabanku, aku yang melihatnya hanya kebingungan, aku berpikir apakah aku salah dalam perkataanku tapi sepertinya tidak.

Apak melihatku kembali dan berkata "Kamu sangat cerdik Rasuna, kamu pintar sekali dalam mencari makna yang salah dalam perkataan Apak,tapi bukan begitu maksudnya biar Apak jelaskan nanti, sekarang kita kembali ke rumah sudah cukup lama kita berjalan jalan."

Aku mengangguk dan mengikuti perintah Apak, tetapi rasa penasaranku lebih tinggi jadi aku meminta penjelasannya sembari berjalan pulang.

Aku kembali sekolah hari ini, aku bergegas pergi lebih pagi dari biasanya rasa semangat belajar sudah berkobar dalam diriku, aku berjalan sembari melihat sekelilingku yang tidak sengaja aku melihat beberapa wanita pribumi yang tidak sekolah dan beberapa darinya diperlakukan tidak layak bahkan beberapa di antaranya ada lelaki dari pribumi yang melakukan kepada wanita itu, rasa sedih akan keadaan ini makin melunjak dalam benakku, sungguh aku ingin sekali para wanita dilakukan sederajat dengan lelaki aku ingin para wanita bisa hidup layak dan diperlakukan layaknya manusia, mereka semua wanita yang mengalami seperti ini membutuhkan kebebasan. Penjajahan ini sangat lah menyiksa bagi kami para pribumi. Perasaan akan keadilan mulai tumbuh kembali dalam jiwa dan ragaku, aku lebih cepat bergegas ke sekolah untuk menuntut ilmu agar setidaknya aku bisa membagi ilmu kepada orang orang yang tidak beruntung kelak nanti.

Semangatku tak pernah pudar sedikitpun, aku terus mencari ilmu dimanapun dan kapanpun, bahkan saat di sekolah aku sampai mendapatkan kesempatan mengajarkan adik kelas layaknya guru, ya sebenarnya walaupun aku masih kurang pengalaman dalam mengajar tetapi setidaknya aku sudah di akui oleh guru kalau aku bisa mengajarkan orang lain, dengan hal ini mungkin satu langkah bagiku untuk bisa membantu orang orang yang tidak beruntung.

Setelah beberapa hari dari aku mengajar adik kelas, aku mencoba untuk mengajarkan orang orang yang tidak beruntung, pertama aku mencoba untuk berteman dengan mereka terlebih dahulu, pertama kali memanglah cukup sulit tetapi seiring dengannya waktu mereka mulai membukakan dirinya kepadaku, bahkan disekolahpun aku bertemu dengan seorang wanita yang bernama Rahmah El Yunusiyyah yaitu wanita pendiri sekolahku ini, ia merupakan salah satu tokoh yang aku kagumi, sepertinya ia memiliki pemikiran yang sama denganku ingin menaikan pendidikan masyarakat Indonesia. Jika kalian ingin tau dia adalah salah satu tokoh gerakan Thawalib, yaitu gerakan reformis islam di Sumatera Barat.

Tak terasa aku sudah selesai sekolah Di Diniyah School, berselang cukup lama dari kelulusanku Apak langsung memberitahuku bahwa ia akan mengirimkanku ke pesantren Ar Rasyidiyah untuk lebih mendalami ilmu pengetahuan serta agama. 

Bukan hal yang mudah jika kalian jauh dari orang tua kalian untuk pertama kalinya, tetapi dengan hal ini aku bisa mandiri, mengetahui lebih banyak pengetahuan dan bisa melanjutkan hal yang aku tekadkan dalam diriku.  

Kini aku telah lulus sekolah dan sudah cukup banyak mendapatkan ilmu pengetahuan, selama aku sekolah hingga saat ini masih belum banyak perubahan yang terjadi pada negri ini. Aku sekarang membantu mengajar di almamaterku sebagai tanda terima kasih sekaligus mengabdi kepada negri, bukan hanya itu dengan aku mengajar disini aku bisa melaksanakan apa yang sudah ditekadkan dalam diriku. 

Ilmu ku ini banyak sekali di dapatkan dari ayahanda HAMKA, H Abdul Karim Amrullah. Apa yang telah di ajarkan oleh beliau kepadaku, aku selalu menyampaikannya kembali kepada murid muridku.

Di tahun 1930, saat usia ku yang menginjak 20 tahun aku mulai berpikir bahwa negriku ini tidak cukup hanya di ajarkan hal hal yang dasar seperti ini, dilihat dari pandanganku bahwa Indonesia mebutuhkan ilmu politik, Indonesia sering dibodohi oleh para penjajah dan masyarakat kalangan atas. Tak lama dari itu aku mencoba membuat proporsal kepada pihak sekolah untuk mengadakan studi atau mata pelajaran politik di sekolah.

"Kenapa tuan dan nyonya menolak akan diadakannya studi politik di sekolah?" ucapku setelah mendengar bahwa apa yang telah aku ajukan ditolak mentah mentah.

"Murid di sekolah ini sudah cukup hanya dengan belajar seperti biasanya, jika kita menambahkan studi politik, bisa saja sekolah kita semakin di awasi oleh para penjajah," Balas pihak sekolah mengenai pertanyaanku.

Amarahku mulai naik, aku berkata "Tapi jika kita terus seperti ini, para pribumi akan terus di bodohi oleh para kompeni." 

Pihak dari sekolah hanya diam, tak menjawab apapun dari perkataanku, melihat mereka yang tunduk akan para kompeni membuatku memutuskan untuk berhenti mengajar dan mencoba untuk mencari jalan lain.

Tak lama dari aku berhenti mengajar, aku pergi mendatangi ayahanda HAMKA untuk memperoleh ilmu mengenai pentingnya pembahuruan pemikiran islam dan kebebasan berpikir, setiap hari aku selalu sedih melihat beberapa pribumi yang memiliki nama dan wewenang yang hanya bisa tunduk kepada kompeni. Aku yang tengah duduk termenung memikirkan itu, mendengarkan suara radio mengenai kalangan wanita, diriku segera menghampiri radio dan mengeraskan suara radio untuk memahami lebih lanjut apa yang sedang dibicarakan pembawanya. Suara orang yang menyampaikan pesan dari radio berkata bahwa kali ini angka penceraian meningkat drastis di daerah minang, hal ini terjadi akibat poligami di mana mana. 

"Malang kali nasib wanita diluar sana, dimasa penjajahan seperti ini ada saja orang orang membuat permasalahan," aku menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala "Ini sudah termasuk pelecehan terhadap kaum wanita, hingga kapan wanita akan di perlakukan seperti ini? Sungguh ini sangat memilukan," ujarku yang sembari melihat bekas cincin di jari kananku.

Keesokannya, perbincangan masyarakat dipenuhi oleh masalah poligami yang ternyata banyak dari orang disekitarku yang mengalami hal tersebut, apakah hati wanita dapat dipermainkan dengan mudahnya seperti itu? Apakah wanita bukanlah manusia yang seharusnya diperlakukan selayaknya? Ini sudah cukup untuk para wanita diperlakukan seperti ini. Kian aku memikirkannya kian aku merasa lebih emosional.

Aku bergabung di sarekat rakyat dan menjadi sekretaris cabang dan juga bergabung dengan Persatuan Muslim Indonesia sebagai anggota. Hal Ini adalah langkah berikutnya bagi diriku untuk melawan kompeni, hari esok adalah hari pertamaku memulai pidato di depan kalangan umum, perasaan tegang dan tidak percaya diri mendatangiku tetapi adanya orang orang yang mendukungku dan adanya tujuan yang belum tercapai membuat perasaan itu perlahan pudar dan menghilang. Aku mematangkan bahan bahan pidato yang akan aku sampaikan untuk besok dan aku mencoba berlatih di depan cermin.

Tiba juga saatnya, langkah pertamaku terasa berat tetapi dengan tekad yang kuat aku berhasil menaiki podium dan bersiap untuk berpidato.

"Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh, selamat siang dan selamat sejahtera para saudara dan saudari setumpah darahku," awalan dariku menyapa para masyarakat yang datang untuk mendengarkan pidato dariku, "Wahai para saudara dan saudariku, di tahun tahun ini kita khususnya daerah minang sering terjadinya perkawinan cerai yang sangat berakibat buruk bagi para kaum wanita, apakah kalian sadar? Apakah kalian tahu mengenai permasalahan yang tengah terjadi di kita ini? Apakah kalian akan diam saja? Apakah para wanita akan menerima hal ini dengan wajar? Apakah kalian ingin terus diperlakukan dengan tidak semestinya? Saya Rangkayo Rasuna Said menentang dengan keras budaya kawin cerai yang terjadi di kita ini, saya menganggap ini seperti pelecehan bagi kaum wanita, wanita seharusnya diperlakukan seperti selayaknya yang ada di dalam Al-Qur'an dan diperlakukan selayaknya seperti manusia. Para kompeni baik para pribumi yang senang hati melakukan budaya ini sungguh sangat tidak memiliki hati, sangat sangat tidak memedulikan para kami kaum wanita. Saya sendiri merasakan apa terjadi ini, saya yang menikah di usia 19 tahun dan beberapa lama kemudian saya merasakannya. Kalian seharusnya melakukan apa yang semestinya dilakukan kepada kaum wanita, kami kaum wanita ingin diperlakukan layaknya manusia, kami ingin merasakannya kebebasan, kami ingin terbebas dari jeratan peraturan yang berlaku!" suaraku kian menaik, setiap titik koma dari pidatoku dibalas oleh para wanita pribumi, sorak keras terdengar memenuhi tempat kami berdiri.

Pidato pertamaku berjalan dengan lancar, akhirnya para wanita mulai tersadar apa yang tengah terjadi kepada mereka, rasa syukur ku panjatkan kepada Allah semoga di pidato berikutnya aku dapat membuat para masyarakat negriku ini semakin tersadar betapa buruknya akan penjajahan.

Sayangnya setelah aku berpidato beberapa kali para kompeni mulai mengawasi pergerakanku, aku memang sering berpidato tentang antikolonialisme dan mereka membuat pergerakanku mulai dipersempit. 

Aku berpidato kembali di suatu tempat, kini semakin banyak masyarakat yang datang, antusias masyarakat membuatku membara dan bersemangat untuk berpidato. Seperti biasa aku menyinggung pemerintahan juga para penjajah, ditengah tengah keadaaan yang semakin bersorak terdengar suara yang memecahkan keramaian.

"DAAR!" Tembakan senjata api terlontarkan ke arah langit.

Masyarakat yang ada langsung menundukkan badan juga kepalanya, segerombolan tentara kompeni datang dengan satu komandannya yang masih mengacungkan senjata api ke langit, mereka mulai bergerak menghampiriku dan membubarkan masyarakat. Kala itu orang orang segera berlari kembali ke tempat tinggalnya dan aku dipaksa untuk turun dan berhenti berpidato.

"Saya beri peringatan terhadap anda, jika anda melawan kami, kami tak akan segan segan untuk menghukum anda dan orang orang disekitar anda," ujar keras komandan pasukan kepadaku.

"Saya pribumi disini! Anda lah yang seharusnya menerima hukuman karena sudah menggangu kami! Saya tidak akan pernah berhenti melawan orang orang seperti anda," balasku dengan mengacungkan telunjuk kepadanya.

Seketika komandan itu mengacungkan senjata apinya kepadaku, aku tak gentar melihat senjata yang sudah siap ditembakkan tapi orang-orang terdekatku tak ingin melihat perjuanganku berhenti sampai disini, mereka langsung menarikku untuk kembali ke tempat kami pulang.

Hari ini telah dilaksanakannya rapat perundingan perihal bagaimana rencana kami untuk kedepannya walaupun kami diancam oleh para kompeni tapi kami tetap melaksanakan apa yang harusnya kami laksanakan, hanya dengan hal ancaman sepele seperti kemarin rasa perjuangan kami tak akan pudar. Berikutnya aku dan kawan seperjuanganku akan melaksanakan pidato lagi secara terang terangan, hal ini membuktikan kita tidak takut sama sekali dengan ancaman yang diberikan pihak kompeni kepada kami.

Diselang aku melakukan kegiatan ini, aku menyempatkan waktu untuk mengajar di sekolah yang di dirikan oleh Persatuan Muslim Indonesia (PERMI), aku juga memimpin kursus putri dan normal kursus di Bukit Tinggi.

Tahun 1932 adalah tahun yang cukup mencekam bagiku, saat itu setelah aku berpidato di semarang mengenai antikolonialisme dan para wanita kembali, tentara kompeni tak segan segan mendatangiku dan membawaku secara paksa bersama Rasima Ismail. Karena diriku yang melakukan pidato dan tidak memedulikan ancaman yang telah diberikan oleh komando kompeni waktu itu, kali ini aku terkena hukuman Speechdelit , Speechdelit adalah hukuman yang ditujukan pada orang orang yang berbicara menjelek-jelekkan atau mendesak pemerintahan belanda di depan umum. Aku adalah wanita pejuang pertama yang terkena hukuman ini.

 2 tahun telah berlalu, aku telah keluar dan melanjutkan pendidikanku di Islamic College pimpinan KH Mochtar Jahja dan Dr Kusuma Atmaja, Melanjutkan pendidikanku di sini memanglah pilihan terbaik, aku mendapatkan ilmu yang sangat berguna untukku di masa depan.

Sembari melanjutkan pendidikan aku bertemu dengan kawan kawan seperjuanganku sebelumnya dan juga mencari orang orang baru yang berani untuk melawan para kompeni, setahun setelah aku keluar dari penjara aku menjadi pemimpin di majalah raya. Hanya dengan majalah aku bisa menyebar luaskan hal yang seharusnya kami sebar tanpa harus berpidato.

Aku tetap berjuang dengan caraku untuk memperjuangkan negri ini dan kalangan wanita, majalah yang aku terbitkan selalu disisipkan hal-hal yang radikal hal-hal yang menyangkut antikolonialisme. Tentu saja pihak kompeni sangat tidak menyukai apa yang kubuat ini mereka langsung menggerakkan para Polisi Rahasia Belanda atau PID untuk terus mempersempit ruang gerakku.

Jika hanya hal itu aku sudah wajar tetapi ada suatu hal yang membuatku sungguh kecewa, kala itu aku yang sudah cukup terdesak membutuhkan bantuan dan juga solusi kepada tokoh tokoh PERMI.

Aku berdiri menghadap kepada tokoh tokoh PERMI dan berkata, "Apa yang sebaiknya kita lakukan? Pergerakanku sekarang sudah sangat sulit bahkan jika aku mengalami kesalahan kecil aku bisa bisa mengalami hal yang pernah aku alami sebelumnya."

"Mungkin ini memanglah sulit tapi sebaiknya kamu cukupkan perjuanganmu Rasuna," balas salah satu tokoh dihadapanku.

"Hah apa maksudnya? Jangan bilang setelah semua yang kubuat dan setelah semua yang ku kerjakan, akan dilepas begitu saja? Tentu saja tidak bukan?"

"Tapi kami tidak bisa membantumu lebih jauh, jika kami membantu dirimu ntah apa yang akan terjadi kepada kami."

"Saya kira kalian yang hadir disini akan berdiri dan melawan para kompeni, apa yang sudah terjadi kepada kalian? Bagaimana dengan kemerdekaan negri kita ini? Sepertinya kalian memang sudah menerima sepenuhnya dengan negri kita yang akan menjadi bawahan negri asing," Balasku dengan tegas.

Aku sangat kecewa dengan mereka, ku kira mereka akan membantuku untuk melawan para kompeni tapi mereka hanya terdiam tidak memberikan solusi sama sekali. Aku memutuskan untuk pergi dan pindah untuk kedua kalinya.

Medan, Sumatera Barat 1937

Kali ini aku menjalani kehidupan yang lebih normal dari biasanya, kali ini aku lebih berhati hati karena aku cukup sulit untuk bergerak dengan sedikitnya orang orang yang masih bersamaku, aku dan juga kawan kawanku mendirikan perguruan tinggi khusus wanita. Aku dan kawan kawan belum memulai kembali pergerakan karena kami ingin para kompeni melepaskan pandangan mereka kepada kami terlebih dahulu.

Langit pagi menghiasi pandanganku, aku duduk menikmati secangkir teh sembari membaca buku ringan, kali ini aku mendapatkan sebuah buku yang menarik perhatianku yaitu macam macam bunga nusantara. Aku buka setiap halaman dan kulihat bermacam macam warna yang menghiasi buku itu, bunga nan indah memanjakan mataku, ada satu bunga yang membuatku terpikir sebuah nama.

Aku mendapatkan sebuah ide untuk melanjutkan perjuanganku dan juga kawan kawanku, aku menjelaskan kepada mereka bahwa kita akan menyebarkan gagasan antikolonialisme dengan majalah lagi tapi secara diam diam. Kawan kawanku memberikan balasan yang sangat antusias yang membuatku makin berantusias , seketika aku memikirkan anak anak dimasa depan yang merasakan kemerdekaan, betapa bebasnya dan betapa senangnya mereka, sebuah senyum seketika terukir di senyumku.

Kawan kawanku segera mencari koneksi untuk menyebar luaskan majalah yang akan kita buat, aku juga tak hanya diam, aku memikirkan konsep dan bahan bahan yang akan aku terapkan di majalah, nama majalah yang akan kita buat adalah Menara Poetri. Aku segera menerapkan apa yang sudah kusiapkan ke dalam majalah dan mengakhiri tulisan dengan sebuah nama yang kubuat.

"Seliguri," ucapku sembari menuliskan nama bunga yang kulihat kala itu.

Majalah Menara Poetri kian ramai diperbincangkan oleh masyarakat, ada rasa senang dan rasa khawatir karena kudengar para kompeni sudah mulai mencari siapa tokoh di balik nama Seliguri ini. Para kompeni mulai bergerak karena majalah yang ku buat benar benar mempengaruhi para pribumi bahkan sebuah koran di Surabaya yang bernama Penyebar Semangat sampai menulis perihal majalah Menara Poetri ini. 

Berhari hari aku bersama kawan kawanku terus mengeluarkan majalah majalah baru dan terus menyebar luaskannya, tetapi kian lama kami kehabisan pemasukan untuk melanjutkan majalah Menara Poetri ini, aku mencari akar permasalahan kenapa bisa seperti ini ternyata banyak sekali orang orang yang hanya membaca tanpa membayar tagihannya setelah ku dalami ternyata hanya 10% orang yang membayar tagihan dari kian banyaknya majalah yang kami keluarkan. Usaha kami tidak sepenuhnya berhasil kembali.

Kegiatanku terasa sangat sepi, kini aku hanya mengajar murid muridku setiap harinya dan di hari libur aku selalu menghabiskan waktu dengan membaca buku yang ditemani secangkir the hangat yang nikmat. Seketika terlintas di benakku sesosok pria dan wanita yang sangat kucintai, ya dia adalah Apakku dan juga Amakku. Sudah lama bagiku tak kembali kesana, Aku berencana akan pulang ke kampung halaman karena sudah cukup lama bagiku untuk meninggalkan tempat yang menyimpan jutaan kenangan semasa kecil, ingin sekali aku melepaskan beban pikiran di tanah kelahiranku.

Perjalananku cukup lama untuk sampai ke rumah, saat ini cahaya mentari sudah kian berubah menjadi oranye, aku terus melangkah hingga akhirnya aku tiba di depan pintu masuk tempat dimana aku dilahirkan, diriku tersenyum melihat kondisi tempatku yang tak terlalu banyak berubah masih menjadi tempat yang cukup damai. Aku memasuki desa sembari menggendong tas yang cukup berat dan menggenggam tangan kecil yang manis, ya aku menggenggam anakku yang masih balita, orang orang memandangiku dan beberapa darinya ada yang mengenalku dan menyapa diriku, aku membalas sapaan mereka sembari tersenyum aku melihat para wanita disini sudah kian membaik tidak diperlakukan seperti dahulu, diantara mereka ada orang orang yang pernah aku ajarkan ilmu ilmu yang aku dapatkan semasa kecil.

"Hei Rasuna, Bagaimana kabarmu?"

"Rasuna aku senang sekali bertemu denganmu."

"Aku senang melihatmu sehat sehat saja."

"Dik Rasuna terimakasih sudah membantu anak kami sewaktu kecil, kini ia sedang merantau mencari ilmu seperti dirimu."

"Rasuna..."

Banyak sekali orang orang yang menyapa dan banyak juga dari mereka yang membagi cerita mereka kepadaku, aku dengan senang hatinya mendengarkan dan memberikan tanggapanku kepada mereka, apalagi aku sangat senang ketika diriku menjadi inspirasi bagi orang lain untuk menjadi lebih baik.

Ternyata Allah selalu memberikanku jalan untuk terus berjuang untuk negriku, kali ini aku ikut serta untuk mendirikan organisasi pemuda Nippon Raya di Padang tapi sayangnya jepang membubarkan apa yang telah kami dirikan. Setelah cukup lama dari pembubaran Nippon Raya, aku bersama Khatib Sulaiman ikut memperjuangkan dibentuknya barisan Pembela Tanah Air (PETA).

Setelah terbentuknya PETA, kian banyak perubahan yang terjadi Indonesia dan aku tidak lupa untuk terus memperjuangkan derajat wanita dan kemerdekaan negriku.

Beberapa lama kemudian tepat di hari ini tanggal 17 Agustus 1945 adalah hari yang sangat masyarakat Indonesia dambakan, dimana hari yang sangat istimewa yang diberikan Allah kepada kami. Kami telah merdeka, kami telah bebas dari para penjajah akhirnya kami bisa merasakan bagaimana rasa layaknya diperlakukan seperti manusia, hari ini para pribumi bersorak keras meekspresikan kebahagiaan mereka dan rasa syukur kami. Sekarang kami tidak takut akan adanya senjata api yang di arahkan kepada kami, kami tidak takut untuk mengibarkan sang merah putih dan kami tidak akan takut lagi untuk menyanyikan lagu kebangsaan kami. Disinilah hari dimana negri yang penuh dengan budaya berkembang.

Semenjak kemerdekaan kini aku aktif dalam Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia yang mewakili Sumatera Barat, suatu kehormatan dan suatu kebanggan aku bisa berada disini tapi tak hanya itu aku pun diangkat sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat.

Pada tanggal 5 juli 1959 aku menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, setelah dekrit presiden dikeluarkan. Aku berusaha keras dan berusaha sebaik mungkin untuk membangun Indonesia menjadi lebih baik.

Sayangnya waktu terasa begitu cepat, kini tanggal yang istimewa telah diberikan oleh tuhan kepadaku, 02 November 1965. Aku merasa terhormat tubuhku dimakamkan disamping para pejuang kemerdekaan Indonesia, yaitu di taman makam Pahlawan Kalibata, harapanku semoga walaupun aku telah tiada tetapi perjuanganku terus memberikan manfaat kepada penerus negri ini dan terus bisa menjadi inspirasi bagi mereka.

9 tahun semenjak kemantian beliau, tepatnya pada tanggal 13 desember 1974, belaiu pun diangkat menjadi pahlawan nasional berdasarkan keputusan presiden R.I no.084/TK/Tahun 1974. Namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan protocol di kawasan kuningan Jakarta selatan serta di daerah Padang, Sumatera Barat. Hal ini pasti kian membuat beliau bangga dengan apa yang telah ia lakukan. Beliau meninggal seorang putri yaitu Auda Zaschkya Duski dan 6 Cucu di antaranya Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh Ibrahim, Moh Yusuf, Rommel Abdillah, dan Natasha Quratul'ain

34e50ff6072ebeabd1b1034d6096c8d1-6199cae606310e3623244172.jpg
34e50ff6072ebeabd1b1034d6096c8d1-6199cae606310e3623244172.jpg
~END~

Penulis :

 Alifito Rachmaya (XII MIPA 2)

SMAN 1 PADALARANG 2021/2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun