Mohon tunggu...
Alifito Rachmaya
Alifito Rachmaya Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - XII MIPA 2 | SMAN 1 Padalarang

Alifito Rachmaya XII MIPA 2 SMAN 1 PADALARANG

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Seliguri, Bunga Para Pribumi

21 November 2021   11:09 Diperbarui: 21 November 2021   11:28 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak lama dari aku berhenti mengajar, aku pergi mendatangi ayahanda HAMKA untuk memperoleh ilmu mengenai pentingnya pembahuruan pemikiran islam dan kebebasan berpikir, setiap hari aku selalu sedih melihat beberapa pribumi yang memiliki nama dan wewenang yang hanya bisa tunduk kepada kompeni. Aku yang tengah duduk termenung memikirkan itu, mendengarkan suara radio mengenai kalangan wanita, diriku segera menghampiri radio dan mengeraskan suara radio untuk memahami lebih lanjut apa yang sedang dibicarakan pembawanya. Suara orang yang menyampaikan pesan dari radio berkata bahwa kali ini angka penceraian meningkat drastis di daerah minang, hal ini terjadi akibat poligami di mana mana. 

"Malang kali nasib wanita diluar sana, dimasa penjajahan seperti ini ada saja orang orang membuat permasalahan," aku menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala "Ini sudah termasuk pelecehan terhadap kaum wanita, hingga kapan wanita akan di perlakukan seperti ini? Sungguh ini sangat memilukan," ujarku yang sembari melihat bekas cincin di jari kananku.

Keesokannya, perbincangan masyarakat dipenuhi oleh masalah poligami yang ternyata banyak dari orang disekitarku yang mengalami hal tersebut, apakah hati wanita dapat dipermainkan dengan mudahnya seperti itu? Apakah wanita bukanlah manusia yang seharusnya diperlakukan selayaknya? Ini sudah cukup untuk para wanita diperlakukan seperti ini. Kian aku memikirkannya kian aku merasa lebih emosional.

Aku bergabung di sarekat rakyat dan menjadi sekretaris cabang dan juga bergabung dengan Persatuan Muslim Indonesia sebagai anggota. Hal Ini adalah langkah berikutnya bagi diriku untuk melawan kompeni, hari esok adalah hari pertamaku memulai pidato di depan kalangan umum, perasaan tegang dan tidak percaya diri mendatangiku tetapi adanya orang orang yang mendukungku dan adanya tujuan yang belum tercapai membuat perasaan itu perlahan pudar dan menghilang. Aku mematangkan bahan bahan pidato yang akan aku sampaikan untuk besok dan aku mencoba berlatih di depan cermin.

Tiba juga saatnya, langkah pertamaku terasa berat tetapi dengan tekad yang kuat aku berhasil menaiki podium dan bersiap untuk berpidato.

"Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh, selamat siang dan selamat sejahtera para saudara dan saudari setumpah darahku," awalan dariku menyapa para masyarakat yang datang untuk mendengarkan pidato dariku, "Wahai para saudara dan saudariku, di tahun tahun ini kita khususnya daerah minang sering terjadinya perkawinan cerai yang sangat berakibat buruk bagi para kaum wanita, apakah kalian sadar? Apakah kalian tahu mengenai permasalahan yang tengah terjadi di kita ini? Apakah kalian akan diam saja? Apakah para wanita akan menerima hal ini dengan wajar? Apakah kalian ingin terus diperlakukan dengan tidak semestinya? Saya Rangkayo Rasuna Said menentang dengan keras budaya kawin cerai yang terjadi di kita ini, saya menganggap ini seperti pelecehan bagi kaum wanita, wanita seharusnya diperlakukan seperti selayaknya yang ada di dalam Al-Qur'an dan diperlakukan selayaknya seperti manusia. Para kompeni baik para pribumi yang senang hati melakukan budaya ini sungguh sangat tidak memiliki hati, sangat sangat tidak memedulikan para kami kaum wanita. Saya sendiri merasakan apa terjadi ini, saya yang menikah di usia 19 tahun dan beberapa lama kemudian saya merasakannya. Kalian seharusnya melakukan apa yang semestinya dilakukan kepada kaum wanita, kami kaum wanita ingin diperlakukan layaknya manusia, kami ingin merasakannya kebebasan, kami ingin terbebas dari jeratan peraturan yang berlaku!" suaraku kian menaik, setiap titik koma dari pidatoku dibalas oleh para wanita pribumi, sorak keras terdengar memenuhi tempat kami berdiri.

Pidato pertamaku berjalan dengan lancar, akhirnya para wanita mulai tersadar apa yang tengah terjadi kepada mereka, rasa syukur ku panjatkan kepada Allah semoga di pidato berikutnya aku dapat membuat para masyarakat negriku ini semakin tersadar betapa buruknya akan penjajahan.

Sayangnya setelah aku berpidato beberapa kali para kompeni mulai mengawasi pergerakanku, aku memang sering berpidato tentang antikolonialisme dan mereka membuat pergerakanku mulai dipersempit. 

Aku berpidato kembali di suatu tempat, kini semakin banyak masyarakat yang datang, antusias masyarakat membuatku membara dan bersemangat untuk berpidato. Seperti biasa aku menyinggung pemerintahan juga para penjajah, ditengah tengah keadaaan yang semakin bersorak terdengar suara yang memecahkan keramaian.

"DAAR!" Tembakan senjata api terlontarkan ke arah langit.

Masyarakat yang ada langsung menundukkan badan juga kepalanya, segerombolan tentara kompeni datang dengan satu komandannya yang masih mengacungkan senjata api ke langit, mereka mulai bergerak menghampiriku dan membubarkan masyarakat. Kala itu orang orang segera berlari kembali ke tempat tinggalnya dan aku dipaksa untuk turun dan berhenti berpidato.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun