Semangatku tak pernah pudar sedikitpun, aku terus mencari ilmu dimanapun dan kapanpun, bahkan saat di sekolah aku sampai mendapatkan kesempatan mengajarkan adik kelas layaknya guru, ya sebenarnya walaupun aku masih kurang pengalaman dalam mengajar tetapi setidaknya aku sudah di akui oleh guru kalau aku bisa mengajarkan orang lain, dengan hal ini mungkin satu langkah bagiku untuk bisa membantu orang orang yang tidak beruntung.
Setelah beberapa hari dari aku mengajar adik kelas, aku mencoba untuk mengajarkan orang orang yang tidak beruntung, pertama aku mencoba untuk berteman dengan mereka terlebih dahulu, pertama kali memanglah cukup sulit tetapi seiring dengannya waktu mereka mulai membukakan dirinya kepadaku, bahkan disekolahpun aku bertemu dengan seorang wanita yang bernama Rahmah El Yunusiyyah yaitu wanita pendiri sekolahku ini, ia merupakan salah satu tokoh yang aku kagumi, sepertinya ia memiliki pemikiran yang sama denganku ingin menaikan pendidikan masyarakat Indonesia. Jika kalian ingin tau dia adalah salah satu tokoh gerakan Thawalib, yaitu gerakan reformis islam di Sumatera Barat.
Tak terasa aku sudah selesai sekolah Di Diniyah School, berselang cukup lama dari kelulusanku Apak langsung memberitahuku bahwa ia akan mengirimkanku ke pesantren Ar Rasyidiyah untuk lebih mendalami ilmu pengetahuan serta agama.Â
Bukan hal yang mudah jika kalian jauh dari orang tua kalian untuk pertama kalinya, tetapi dengan hal ini aku bisa mandiri, mengetahui lebih banyak pengetahuan dan bisa melanjutkan hal yang aku tekadkan dalam diriku. Â
Kini aku telah lulus sekolah dan sudah cukup banyak mendapatkan ilmu pengetahuan, selama aku sekolah hingga saat ini masih belum banyak perubahan yang terjadi pada negri ini. Aku sekarang membantu mengajar di almamaterku sebagai tanda terima kasih sekaligus mengabdi kepada negri, bukan hanya itu dengan aku mengajar disini aku bisa melaksanakan apa yang sudah ditekadkan dalam diriku.Â
Ilmu ku ini banyak sekali di dapatkan dari ayahanda HAMKA, H Abdul Karim Amrullah. Apa yang telah di ajarkan oleh beliau kepadaku, aku selalu menyampaikannya kembali kepada murid muridku.
Di tahun 1930, saat usia ku yang menginjak 20 tahun aku mulai berpikir bahwa negriku ini tidak cukup hanya di ajarkan hal hal yang dasar seperti ini, dilihat dari pandanganku bahwa Indonesia mebutuhkan ilmu politik, Indonesia sering dibodohi oleh para penjajah dan masyarakat kalangan atas. Tak lama dari itu aku mencoba membuat proporsal kepada pihak sekolah untuk mengadakan studi atau mata pelajaran politik di sekolah.
"Kenapa tuan dan nyonya menolak akan diadakannya studi politik di sekolah?" ucapku setelah mendengar bahwa apa yang telah aku ajukan ditolak mentah mentah.
"Murid di sekolah ini sudah cukup hanya dengan belajar seperti biasanya, jika kita menambahkan studi politik, bisa saja sekolah kita semakin di awasi oleh para penjajah," Balas pihak sekolah mengenai pertanyaanku.
Amarahku mulai naik, aku berkata "Tapi jika kita terus seperti ini, para pribumi akan terus di bodohi oleh para kompeni."Â
Pihak dari sekolah hanya diam, tak menjawab apapun dari perkataanku, melihat mereka yang tunduk akan para kompeni membuatku memutuskan untuk berhenti mengajar dan mencoba untuk mencari jalan lain.