"Saya beri peringatan terhadap anda, jika anda melawan kami, kami tak akan segan segan untuk menghukum anda dan orang orang disekitar anda," ujar keras komandan pasukan kepadaku.
"Saya pribumi disini! Anda lah yang seharusnya menerima hukuman karena sudah menggangu kami! Saya tidak akan pernah berhenti melawan orang orang seperti anda," balasku dengan mengacungkan telunjuk kepadanya.
Seketika komandan itu mengacungkan senjata apinya kepadaku, aku tak gentar melihat senjata yang sudah siap ditembakkan tapi orang-orang terdekatku tak ingin melihat perjuanganku berhenti sampai disini, mereka langsung menarikku untuk kembali ke tempat kami pulang.
Hari ini telah dilaksanakannya rapat perundingan perihal bagaimana rencana kami untuk kedepannya walaupun kami diancam oleh para kompeni tapi kami tetap melaksanakan apa yang harusnya kami laksanakan, hanya dengan hal ancaman sepele seperti kemarin rasa perjuangan kami tak akan pudar. Berikutnya aku dan kawan seperjuanganku akan melaksanakan pidato lagi secara terang terangan, hal ini membuktikan kita tidak takut sama sekali dengan ancaman yang diberikan pihak kompeni kepada kami.
Diselang aku melakukan kegiatan ini, aku menyempatkan waktu untuk mengajar di sekolah yang di dirikan oleh Persatuan Muslim Indonesia (PERMI), aku juga memimpin kursus putri dan normal kursus di Bukit Tinggi.
Tahun 1932 adalah tahun yang cukup mencekam bagiku, saat itu setelah aku berpidato di semarang mengenai antikolonialisme dan para wanita kembali, tentara kompeni tak segan segan mendatangiku dan membawaku secara paksa bersama Rasima Ismail. Karena diriku yang melakukan pidato dan tidak memedulikan ancaman yang telah diberikan oleh komando kompeni waktu itu, kali ini aku terkena hukuman Speechdelit , Speechdelit adalah hukuman yang ditujukan pada orang orang yang berbicara menjelek-jelekkan atau mendesak pemerintahan belanda di depan umum. Aku adalah wanita pejuang pertama yang terkena hukuman ini.
 2 tahun telah berlalu, aku telah keluar dan melanjutkan pendidikanku di Islamic College pimpinan KH Mochtar Jahja dan Dr Kusuma Atmaja, Melanjutkan pendidikanku di sini memanglah pilihan terbaik, aku mendapatkan ilmu yang sangat berguna untukku di masa depan.
Sembari melanjutkan pendidikan aku bertemu dengan kawan kawan seperjuanganku sebelumnya dan juga mencari orang orang baru yang berani untuk melawan para kompeni, setahun setelah aku keluar dari penjara aku menjadi pemimpin di majalah raya. Hanya dengan majalah aku bisa menyebar luaskan hal yang seharusnya kami sebar tanpa harus berpidato.
Aku tetap berjuang dengan caraku untuk memperjuangkan negri ini dan kalangan wanita, majalah yang aku terbitkan selalu disisipkan hal-hal yang radikal hal-hal yang menyangkut antikolonialisme. Tentu saja pihak kompeni sangat tidak menyukai apa yang kubuat ini mereka langsung menggerakkan para Polisi Rahasia Belanda atau PID untuk terus mempersempit ruang gerakku.
Jika hanya hal itu aku sudah wajar tetapi ada suatu hal yang membuatku sungguh kecewa, kala itu aku yang sudah cukup terdesak membutuhkan bantuan dan juga solusi kepada tokoh tokoh PERMI.
Aku berdiri menghadap kepada tokoh tokoh PERMI dan berkata, "Apa yang sebaiknya kita lakukan? Pergerakanku sekarang sudah sangat sulit bahkan jika aku mengalami kesalahan kecil aku bisa bisa mengalami hal yang pernah aku alami sebelumnya."