Mohon tunggu...
Lana Ancala
Lana Ancala Mohon Tunggu... Freelancer - Berjalan | Bercerita | Berbagi

Seorang pembual yang gemar menyulap derita menjadi cerita. Tadinya sih mau jadi playboy, tapi ternyata masih kurang ganteng dan tajir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senyuman yang Kembali

29 Februari 2020   15:33 Diperbarui: 29 Februari 2020   15:38 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wajah di balik cermin itu kembali datang membaik, menyeringai lebar namun tak seperti serigala, merintih pelan namun sama sekali tidak suka anak kucing yang mencari puting susu pemiliknya, melainkan lebih suka anjing letih. Lidahnya menjulur, nafasnya terengah, dan kedua bola vertikal sayup saat memandangku.

Tenanglah, penderitaanmu tak akan lama lagi, bisikku seraya mengelusnya. Elusan yang terhalang oleh lima milimeter kaca cermin, bibir yang semula menyeringai itu kini mengerucut, panjang kedepan, seperti memegang segunung kesal yang diminta rapat di ujung bibir.

Ku lepaskan jemari ku lalu melangkah mundur, wajah itu ikut mundur, bedanya jika aku tersenyum ia membalik merengut, tatapannya menambah sayup dan gerak nafasnya melambat.

Aku masih tersenyum sampai kakiku permukaan lembut, lalu merebahkan tubuh wajah itu berusaha untuk rebah juga namun entah kenapa wajah itu tak kunjung terpenjam, gelisah. Saat ku pulih ku lihat masih terjaga menanggung perihnya seorang diri.

***

"Kenapa tidak sarapan, hanya minum saja? ibu mengejutkan ku heran. aku meneguk segelas air putih dengan berhasil, membiarkan setangkup roti selai coklat, telur setengah matang bertabur serbuk merica, juga segelas susu beraroma vanila diam di tempat.

"Maaf, bu aku sudah telat."

"Kalau begitu dibungkus saja. Nanti jam istirahat jangan lupa makan" dan tanpa menunggu persetujuanku, ibu telah memasukan roti ke dalam kotak bekal ku.

Aku ingin protes namun detak jam di dinding menjadi pengingatku. Wajah itu muncul lagi saat langkahku melintasi cermin berbingkai jati yang tergantung di ruang tamu, tapi kali ini ia mencoba untuk tersenyum.

Hah. aku mendengus, cepat aku menuju halte sedikit mendorong ketika melompat ke dalam bus, Wajah itu masih mencoba untuk tersenyum saat memilas masih ku tatap ia yang memantul di kaca spion bus, aku menggeram.

****

"Din, ke kantin yuk", "Maaf, aku di kelas saja. Aku bawa bekal", tolakku pada ajaka Hanna saat bel istirahat berbunyi. "Tidak apa-apa, bawa saja bekalmu ke kantin. Mana biar ku ambilka", Tuka Hanna seraya buka tasku.

Aku tak bias mengelak, saat kotak bekal sudah berada ditangan

"Din, ke kantin yuk", "maaf, aku di kelas saja, aku bawa bekal", tolakku pada ajakan Hanna saat bel istirahat berbuny. "Tidak apa-apa, bawa saja bekalmu ke kantin, mana biar ku ambilkan" kata Hanna seraya buka tasku.

Aku tak bisa mengelak, saat kotak bekal sudah berada di tangan Hanna menggandeng tangan ku menuju kantin.

"Mau pesan apa, Din?" Tanya Hanna saat kami tiba di kantin.

"Air putih saja."

"Kenapa cuma air putih?"

"Kan aku sudah bawa bekal?" Aku balik bertanya.

"Senang, ya kenapa cuma air putih? Kenapa bukan es the? atau sirup?"

"Bukankah air putih paling baik untuk kesehatan? Tidak membiasakan diri minujm yang manis-manis, lama-lama bias kena kencing manis".

****

Ia hanya menyantap separuh roti selai coklat saat jam istirahatnya tadi, ketika Hanna memergokinya yang tengah menyimpan sisa roti dalam kotak bekalnya ia mengatakan kalua roti itu sudah dinging dan liat ketika Hanna menawarinya untuk memesan menu lain di kantin ia menjawab sudah kenyang, ia memang bodoh.

Wajah itu kian nelangsa seperti anak kucing yang berhari-hari tidak di temukan disebut remah pun untuk dimakan, setelah berhari-hari juga ia terpisah dari putting susu induknya. Ia bahkan tidak mampu lagi menjulurkan lidahnya, sepasang mata yang menatap sayu hadir sesekali terpejam, mungkin ia mengantuk.

Aku tersenyum lebar, aku tak peduli pada wajah itu, melainkan pada tubuh yang berada di bawahnya, tubuh itu tak lagi sama, namun satu yang ku sadari akhir-akhir ini wajah atas tubuh itu telah kian pilu,.

Mau kah kau sebentar bersabar? ku mengelus wajah itu, sebaliknya mengelus sesuatu dibalik piyamaku. Sesuatu yang sekarang terasa hampa, tipis. Rata-rata papan namun permukaannya lembut seperti kain.

Aku memejam mata merasakan sensasi aneh saat jemari ku terus mengelus, sensasi yang hanya berisi tiga kata. Kepuasan, kepuasan, dan kepuasan. Setelah dulu entah kapan, malas untuk mengingatnya lagi, permukaan yang kuelus itu kerap memancing air mataku. Berulang kali memakai pakaian untuk kemudian melepaskannya kembali saat apapun jenis pakaian yang kupakai tetap gagal permukaanyang mirip tonjolan bukit kecil, hamper menyerupai tonjolan di perut ibu yang sedang mengandung dan aku langsung menangis jika ada yang mengatakan bahwa itu memang mirip dengan perut yang sedang mengandung.

Ahh! Aku tersentak.

Gerakan mengelus sontak berubah menjadi cengkeraman yang benar-benar rapat dan kuat, saat dari balik permukaan tiba-tiba saja muncul gerakan gemuruh, seperti gunung yang tak tahan untuk segera memuntahkan laharnya.

Tidak. Ini tak akan berlangsung lama, aku lama bergerak mundur tanpa memandang lagi wajah diatas tubuh itu entah masih pilu, atau mungkin sudah terisak.

*****

"Hari ini kamu harus sarapan,Diandra." 

"Tapi….."

"Tidak ada tapi-tapi, tidak ada alasan telat sekolah lagi, kamu sudah terlalu kurus. Lihat, baju dan rokmu sudah sudah siap semua."

"Tapi kalau telat aku dimarahi bu....."

"Biar ibu mengantarmu hari ini. Kalau dimarahi, ibu yang akan bilang pada gurumu kenapa kamu meninggal….."

"Kenapa? Karena saya harus sarapan dulu? Astaga, bu! Aku bukan anak kecil lagi! Nanti aku malah ditertawakan!"

"Siapa yang akan menertawakanmu? Teman-temanmu? Coba saja jika mereka berusaha menertawakanmu."

Kali ini aku tak bias melawan kehendak ibu. Ibu malah memberhentikan uang saku jika aku menolak untuk sarapan.

Mulai hari itu ibu mulai ketat menunggu sarapan pagiku, karena hanya pada saat sarapan ibu bisa menemaniku selebihnya, ibu harus bekerja sampai larut malam demi menghidupi kami berdua sepeninggal ayahku.

Kini setiap pagi ibu meluangkan lebih banyak waktu untuk menyiapkan sarapan ekstra. Nasi goreng komplit dengan irisan telur, sosis, dan parutan wortel atau bubur ayam bertabur daging suwir, seledri, bawang goreng lengkap dengan kalu ayam kental.

pada awalnya aku merengut, namun setiap kali pula aku tak perlu menolak untuk menyisakan sarapan buatan ibu yang rasanya memang sangat lezat. Namun akhir-akhir ini, entah mengapa aku malas tersenyum, aku juga mulai malas melihat cermin, karena wajah itu diperbarui ini tampak mencoba untuk kembali tersenyum, antara ia dan aku memang sudah lama tak pernah berhasil.

Pagi ini aku kembali mengunjungi ibu di meja makan, ibu yang menyambutku dengan senyum lebar dan sepaket sarapan komplit: bubur kacang hijau, susu vanilla, telur setengah matang, dan disebutir tablet multi vitamin. Bunyi degusan pelan dari arah pintu samping membuatku sebentar menoleh.

Ah... si manis kucing tetangga rupanya, ia mendengus-dengus, kepalanya tertunduk-disetujui dan dari celah mulutnya terluah cairan pekat.

aneh, aku tak pantas jijik, aku tersenyum.

****

Wanita itu tersenyum, Hanna juga tersenyum, semua yang mengenalnya ikut tersenyum. Gadis itu telah kembali seperti dulu, gadis yang dulunya menghargai apapun yang bisa memuaskan lambungnya. Sampai kemudian ia bertemu Riski dan kemudian ia menjadi rajin membeli majalah remaja yang ada di dalamnya.

Awalnya aku juga masih hobi tersenyum, sampai tiba suatu masa dimana hanya itu saja yang mampu melakukan. Tak hanya senyumku yang ia renggut, tapi juga tersenyum, senyum Hanna, senyum sahabat-sahabatnya.

Jadi sekarang, aku tidak heran saat melihat mereka kembali tersenyum, hanya satu-satunya yang tak bias dilakukan itu. Ia belum kembalikan senyumku.

****

"Wah, kamu hebat ya sekarang" kata Hanna

"Hebat apanya?"

"Dulu makanmu sedikit, sekarang banyak tapi tubuhmu tetap langsing. Apa sih rahasianya?"

Aku hanya tersenyum melirik pada Hanna yang juka ikut tersenyum.

Hari ini aku makan di kantin, padahal dirumah sebenarnya aku sudah sarapan, menghabiskan sarapan yang dihidangkan tanpa ibu, sebaliknya menyisakan senyum lebar di wajah ibu sebelum ia berangkat bekerja.

Saat meninggalkan kantin, mendadak jantungku berdebar-debar dalam jarak lima meter didepanku, tampan cowok berdiri memandangku, terus memandangku dan ia masih ada di sana meski aku sudah lolos dari sana.

*****

Ia berhasil diterima, senyum yang paling besar dambakan antara semua senyum bahkan sampai tengah malam pun ia masih tersenyum-senyum, apa pun yang ia lakukan tetaplah tersenyum, lalu ia tertidur seraya mendekap foto Riski, juga formulir di majalah yang baru saja ia gunting.

*****

Ibu menatap hubungan di meja makan seraya tersenyum puas. Hari ini ulang tahun Diandra dan ibu yakin Diandra tidak ingat, buktinya sampai tadi malam Diandra tidak tau apa-apa mungkin anak gadisnya itu terlalu sibuk. Sebentar lagi dia akan ujian semester, namun tentu saja ibu tak pernah lupa hanya dalam waktu tiga hari dan tanggal ulang tahun. Ulang tahun Diandra, ulang tahun evaluasi dan ulang tahun sendiri karena lolos telah berlalu maka ia tidak akan pernah lagi mengumpulkan apa-apa pada saat ini tiba, selain hanya memanjat doa agar semua dosa dikumpulkan diampuni dan kelak mereka akan dipertemukan di surge.

Dan hari ini adalah hari ulang tahun Diandra  sejak beberapa hari lalu, ibu telah sibuk menyelesaikan segala sesuatunya, berbelanja di swalayan, memesan kue ulang tahun rasa coklat bertabur irisan stroberi, juga membeli hadiah spesial untuk Diandra.

Ibu ingin merayakan ulang tahun Diandra yang ke tujuh belas Bersama saja dengan anak gadisnya itu dan ia pun tak berniat memutuskan dan Diandra ternyata sudah punya rencana sendiri untuk pulih kembali. Apa yang penting diputar adalah momen istimewa  yang bias ia rayakan bersama Diandra dalam satu-satunya waktu yang mampu ia bagi. Waktu sarapan pagi.

"Diandra buka pintunya, nak! kita sarapan sama-sama!" serunya lantang seraya mengetuk pintu kamar Diandra. Tak ada jawaban.

"Ibu tunggu di bawah ya! cepatlah kau mandi dan ganti!" serunya lagi, lalu kembali ke ruang makan.

Begitu khawatirnya adalah adalah menu masih ada yang siapkan saja tetangganya yang tiba-tiba nyelonong masuk lalu naik ke atas meja makan dan mengacaukan segalanya. Ibu menunggu dengan gelisah, berkali-kali melirik arloji namun Diandra tak juga muncul. Sementara jam weker dari kamar Diandra telah beberapa kali berdering, mustahil jika Diandra tak mendengarnya. Ibu mulai memanggil-manggil, jarak antara ruang makan dan kamar Diandra hanya terpaut empat meter, tidak mungkin Diandra tidak mendengar suaranya kecuali jaka gadis itu masih pulas tertidur.

Sampai menit ke sepuluh bergeser dari arloji ibu bangkit dari duduknya, ia baru saja melangkah menuju kamar Diandra, kucing itu berhenti tak jauh dari pintu dan ia mulai mendengu, ibu sudah hafal kebiasaan kucing yang sama sekali tidak manis itu, selain nakal dan suka dipukul, kucing juga sangat jorok, jika sudah mendengus-dengus maka pasti akan muntah lagi.

Ibu meraih gagang sapu lalu bertemu si Manis

"Pergi jangan muntah di sini, kucing jorok!"

Si Manis memandang wajah ibu, lidahnya terjulur.

"Hei kau tidak mendengarkanku? Ayo pergi sebelum ku ...."

Ibu belum lagi menuntaskan tantangannya, sepasang sayap telah tertarik ke sepetak tanah tak jauh dari kaki si Manis, juga parit kecil yang mepet di sebelahnya. Disana, ibu melihat genangan cairan berwarna kuning, butiran-butiran nasi, potongan-potongan telur dadar, daun-daun sawi, gumpalan jumlahnya banyak....... banyak sekali, tampak benda-benda itu belum lama ada di sana.

Ibu ternganga, terbeliak, saat menolehkan kepala baru disadarinya si Manis telah raib, entah kapan saja kucing itu beranjak dari situ, ibu menoleh lagi pada genangan kotoran dan parit yang tersumbat, seketika teringat ia akan menu sarapan yang di siapkan kemarin pagi.

****

Wajah itu datang lagi menatap Diandra yang masih terpejam, masih memeluk foto Riski, jugas guntingan formulir dari majalah. Hanya kali ini gadis itu benar-benar pulas, saking pulasnya hingga gelombang dadanya pun tiada, aliran darah segar yang juga merona, juga tiada.

wajah itu tak lagi tampak letih, putus asa dan memohon balas. Ia tersenyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun