"Tidak ada tapi-tapi, tidak ada alasan telat sekolah lagi, kamu sudah terlalu kurus. Lihat, baju dan rokmu sudah sudah siap semua."
"Tapi kalau telat aku dimarahi bu....."
"Biar ibu mengantarmu hari ini. Kalau dimarahi, ibu yang akan bilang pada gurumu kenapa kamu meninggal….."
"Kenapa? Karena saya harus sarapan dulu? Astaga, bu! Aku bukan anak kecil lagi! Nanti aku malah ditertawakan!"
"Siapa yang akan menertawakanmu? Teman-temanmu? Coba saja jika mereka berusaha menertawakanmu."
Kali ini aku tak bias melawan kehendak ibu. Ibu malah memberhentikan uang saku jika aku menolak untuk sarapan.
Mulai hari itu ibu mulai ketat menunggu sarapan pagiku, karena hanya pada saat sarapan ibu bisa menemaniku selebihnya, ibu harus bekerja sampai larut malam demi menghidupi kami berdua sepeninggal ayahku.
Kini setiap pagi ibu meluangkan lebih banyak waktu untuk menyiapkan sarapan ekstra. Nasi goreng komplit dengan irisan telur, sosis, dan parutan wortel atau bubur ayam bertabur daging suwir, seledri, bawang goreng lengkap dengan kalu ayam kental.
pada awalnya aku merengut, namun setiap kali pula aku tak perlu menolak untuk menyisakan sarapan buatan ibu yang rasanya memang sangat lezat. Namun akhir-akhir ini, entah mengapa aku malas tersenyum, aku juga mulai malas melihat cermin, karena wajah itu diperbarui ini tampak mencoba untuk kembali tersenyum, antara ia dan aku memang sudah lama tak pernah berhasil.
Pagi ini aku kembali mengunjungi ibu di meja makan, ibu yang menyambutku dengan senyum lebar dan sepaket sarapan komplit: bubur kacang hijau, susu vanilla, telur setengah matang, dan disebutir tablet multi vitamin. Bunyi degusan pelan dari arah pintu samping membuatku sebentar menoleh.
Ah... si manis kucing tetangga rupanya, ia mendengus-dengus, kepalanya tertunduk-disetujui dan dari celah mulutnya terluah cairan pekat.