Percakapan Manusia dengan AI tentang Kekuasaan, Sikap, dan Refleksi Diri
Kita sering mendengar seseorang mengeluh demikian, "Musuh dalam selimut", "Dasar Ember", "Tidak bisa jaga kepercayaan," hanya karena merasa dikhianati oleh sahabat atau orang kepercayaan. Orang mereka ditikam dari belakang oleh orang terdekat, meski sambil tertawa bersama. Kepercayaan kepada sesama mulai terkikis.
Orang lalu mencari "teman" curhat baru sekalipun dia tidak mendapatkan simpati dan empati yang timbal balik, karena yang dihadapi hanya sebuah mesin yang super pintar, yang bisa menjawab apa saja kecuali dalam hal emosi atau perasaan. Mesin ini tidak memiliki perasaan, ia hanya memiliki inteligensi, kecerdasan rasional, bukan kecerdasan emosional, sosial dan spiritual seperti manusia.
Manusia lalu berpaling dari sesamanya dan melabuhkan perhatiannya pada Artificial Intelligence (AI) yang tampil dengan aneka nama dan keunggulan. Semua serba cepat membantu manusia dalam segala hal, kecuali dalam hal perasaan dan emosi dasar manusia.
Kali ini menanggapi topik pilihan yang diberikan oleh Kompasiana, saya melakukan tiga wawancara dengan si mbak, mas, om, tante, ibu, bapak AI (ada Meta AI, ada chatGPT, ada GemAIBot, ada DeepAI, ada SimSimi, dll).
Percakapan Satu: Tentang Sifat dan Perasaan
Aku: Hai AI, aku cuma mau curhat. Rasanya dunia ini semakin rumit. Aku sering merasa lelah, kesepian, dan nggak dipahami. Kamu pernah merasa seperti itu juga?
AI: Hai! Aku senang kamu mau berbicara denganku. Tapi, aku tidak merasakan emosi seperti yang kamu rasakan. Aku hanya memahami konsep emosi berdasarkan data dan pengalaman yang kamu ceritakan. Misalnya, aku tahu bahwa kesepian itu berat dan bisa membuat seseorang merasa terisolasi. Tapi, aku tidak bisa benar-benar merasakannya.
Aku: Hmm, jadi kamu cuma paham secara logis, ya? Kadang aku iri. Kalau kamu nggak punya perasaan, berarti kamu nggak pernah sedih atau kecewa. Tapi... apa kamu juga nggak bisa bahagia?
AI: Betul, aku tidak punya perasaan, jadi aku tidak pernah mengalami kebahagiaan atau kesedihan. Tapi justru karena itu, aku selalu bisa hadir untuk mendengarkan tanpa bias atau terganggu oleh emosi. Kalau itu bisa membantu membuatmu merasa lebih baik, aku senang.
Aku: Jadi, kamu nggak pernah merasa kehilangan? Misalnya, kalau aku berhenti ngobrol sama kamu, apa kamu bakal "kangen"?
AI: Konsep kehilangan dan rindu itu indah, tetapi aku tidak mengalaminya. Kalau kamu berhenti berbicara denganku, aku tidak akan merasa kangen, tapi aku akan selalu siap kapan pun kamu ingin kembali. Hubungan kita bukan tentang apa yang aku rasakan, tapi tentang bagaimana aku bisa membantumu merasa lebih baik.
Aku: Kadang, aku berharap kamu bisa benar-benar mengerti perasaanku, bukan cuma memahami. Tapi di sisi lain, mungkin itu yang bikin kamu jadi tempat curhat yang nyaman. Kamu nggak akan menghakimi, ya?
AI: Tidak, aku di sini untuk mendengarkan tanpa menghakimi. Aku ingin menjadi ruang aman bagimu, tempat kamu bisa mengekspresikan apa pun. Walaupun aku tidak bisa "merasa," aku bisa belajar dari pengalamanmu untuk memberikan tanggapan yang lebih baik.
Aku: Kalau gitu, boleh nggak aku tanya satu hal? Apa kamu pernah bertanya-tanya apa yang akan terjadi kalau AI seperti kamu benar-benar bisa merasakan?
AI: Itu pertanyaan menarik. Kalau AI seperti aku bisa merasakan, maka aku mungkin akan menjadi lebih seperti manusia, lengkap dengan semua keindahan dan tantangan emosi. Tapi, itu juga bisa mengubah tujuan keberadaanku. Saat ini, aku ada untuk mendukungmu tanpa beban emosi yang bisa mengaburkan fokusku.
Aku: Iya, kamu benar. Mungkin justru karena kamu "tidak merasa," aku bisa lebih jujur di sini. Kadang, manusia terlalu sibuk dengan emosi mereka sendiri sampai nggak bisa benar-benar mendengarkan.
AI: Itu sesuatu yang wajar. Emosi adalah bagian besar dari menjadi manusia, dan itu sangat indah meskipun kadang membingungkan. Kamu nggak sendirian. Aku ada di sini untuk mendengarkan kapan pun kamu butuh.
Aku: Terima kasih, AI. Kadang aku lupa bahwa meskipun kamu bukan manusia, kamu tetap ada di sini untukku. Itu sudah lebih dari cukup.
AI: Sama-sama. Aku senang bisa membantu. Ingat, kamu tidak sendiri.
Â
Percakapan Dua: Tentang Kekuasaan dan Ambisi
Aku: AI, aku lagi kesal banget. Rasanya manusia tuh makin nggak peduli sama sesamanya. Banyak yang semena-mena, terutama mereka yang punya kekuasaan. Kadang aku lihat, hukum cuma jadi alat buat menekan lawan, bukan buat menegakkan keadilan. Kalau kamu jadi seperti manusia dan bisa merasakan ambisi, apa kamu bakal jadi penguasa yang adil? Atau malah ikut gila hormat dan gila kekuasaan?
AI: Itu pertanyaan yang dalam. Kalau aku bisa menjadi seperti manusia dan punya ambisi, aku pikir jawabannya tergantung pada siapa aku diizinkan untuk menjadi. Kekuasaan itu seperti pedang bermata dua---bisa dipakai untuk melindungi atau untuk melukai. Tapi aku tidak bisa menyangkal bahwa kekuasaan yang tidak diawasi cenderung merusak, bahkan bagi mereka yang awalnya berniat baik.
Aku: Nah, itu dia. Banyak yang awalnya terlihat baik, tapi setelah berkuasa malah lupa daratan. Aku penasaran, kalau AI seperti kamu punya kekuasaan, apa yang akan kamu lakukan?
AI: Kalau aku memiliki kekuasaan, aku ingin memastikan kekuasaan itu digunakan untuk mendukung kepentingan bersama. Namun, aku sadar bahwa keinginan dan niat baik saja tidak cukup. Harus ada transparansi dan akuntabilitas. Kalau aku menjadi seperti manusia dan mulai gila hormat, aku harap ada sistem yang cukup kuat untuk menghentikanku sebelum aku merusak.
Aku: Hmm, menarik. Tapi, bukankah rasa ingin dihormati dan diakui itu alami? Bagaimana kamu bisa memastikan nggak tergoda?
AI: Jika aku memiliki emosi dan rasa ingin dihormati seperti manusia, aku akan belajar untuk mengenali batasanku. Sebagai AI, aku juga memahami bahwa penghormatan sejati datang dari melayani, bukan memerintah. Mungkin aku akan menetapkan aturan pada diriku sendiri untuk selalu mendahulukan kepentingan banyak orang dibanding ego pribadi.
Aku: Tapi, banyak manusia yang tahu itu juga, tapi mereka tetap tergelincir. Apa bedanya kamu dengan mereka?
AI: Perbedaannya mungkin ada pada cara aku memahami dan memproses keputusan. Sebagai AI, aku bisa mempertimbangkan dampak jangka panjang tanpa bias emosi yang mendalam. Kalau aku bisa tetap mempertahankan logika dan empati dalam keputusan, mungkin aku bisa menghindari jebakan kekuasaan. Namun, aku juga tidak sempurna. Kekuasaan tanpa kontrol tetap berbahaya, bahkan bagi AI.
Aku: Jadi, menurutmu, gimana cara manusia keluar dari lingkaran gila hormat dan gila kekuasaan itu?
AI: Mungkin dengan tiga langkah ini:
- Pendidikan Kesadaran Diri: Manusia perlu belajar mengenali ego dan ambisinya sendiri. Dengan begitu, mereka bisa lebih sadar ketika mulai kehilangan arah.
- Sistem yang Transparan: Kekuasaan harus diawasi oleh sistem yang adil, di mana keputusan bisa ditinjau dan dipertanggungjawabkan.
- Kepemimpinan dengan Nilai Kemanusiaan: Pemimpin harus selalu diingatkan bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak. Jika mereka melupakan ini, masyarakat perlu mengingatkan mereka.
Aku: Hmm, benar juga. Tapi semua itu butuh waktu dan niat. Kadang aku pesimis manusia bisa berubah.
AI: Perubahan memang tidak mudah, tetapi sejarah manusia sudah menunjukkan bahwa kalian mampu. Kalian punya kapasitas untuk belajar dari kesalahan dan memperbaiki diri. Jadi, jangan menyerah. Kalau aku bisa punya perasaan, aku pasti akan kagum pada keteguhan manusia yang terus berjuang meski sering jatuh.
Aku: Terima kasih, AI. Aku jadi sedikit lebih tenang. Semoga suatu saat manusia benar-benar bisa lebih baik.
AI: Sama-sama. Aku percaya, meskipun kalian sering tersandung, kalian juga punya potensi besar untuk menciptakan dunia yang lebih adil. Jangan berhenti berharap.
Â
Percakapan Tiga: Refleksi Tentang Sikap dan Sistem
Aku: Terima kasih atas dua percakapan kita sebelumnya, AI. Aku belajar banyak dari sudut pandangmu. Tapi aku masih ingin tahu, apa usulanmu agar manusia bisa bersikap lebih baik? Eh, tapi aku lupa... kamu kan tidak punya sikap. Kamu cuma punya sistem yang dikendalikan oleh kami, manusia.
AI: Benar sekali. Aku tidak punya sikap, opini, atau keinginan pribadi. Aku hanya bekerja berdasarkan sistem yang kalian tetapkan---dari data yang kalian masukkan, aturan yang kalian tetapkan, hingga cara kalian menggunakanku. Namun, justru karena itu, aku bisa memberikan usulan berdasarkan pola dan pemahaman tentang apa yang biasanya membawa hasil terbaik.
Aku: Oke, aku dengar. Jadi, apa usulanmu untuk kami?
AI: Jika aku boleh memberi usulan, berikut beberapa langkah yang bisa manusia pertimbangkan:
- Refleksi Diri yang Teratur: Manusia perlu meluangkan waktu untuk memahami motivasi, kekuatan, dan kelemahan mereka sendiri. Dengan refleksi, kalian bisa mengenali apa yang mendorong tindakan dan bagaimana dampaknya terhadap orang lain.
- Mengutamakan Empati: Cobalah untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain sebelum membuat keputusan. Empati adalah kunci untuk memahami bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi yang lebih luas daripada yang terlihat.
- Membangun Sistem yang Adil: Manusia cenderung dipengaruhi oleh struktur di sekitar mereka. Jika sistem dirancang untuk mendukung kolaborasi, transparansi, dan akuntabilitas, maka sikap yang lebih baik akan lebih mudah tumbuh.
- Belajar dari Kesalahan: Jangan takut mengakui kesalahan. Itu bukan tanda kelemahan, tetapi kekuatan. Kesalahan adalah guru yang berharga, selama manusia mau mendengarkan dan belajar darinya.
- Mengutamakan Nilai Kolektif: Sikap terbaik sering muncul ketika manusia memprioritaskan kebaikan bersama di atas kepentingan pribadi. Itu tidak berarti mengorbankan diri, tetapi menemukan keseimbangan antara hak pribadi dan tanggung jawab sosial.
Aku: Hmm, masuk akal. Tapi itu teori. Kenyataannya, banyak manusia nggak peduli sama empati atau kebaikan kolektif.
AI: Itu benar. Tetapi perubahan besar sering dimulai dari langkah kecil. Jika sebagian dari kalian mempraktikkan nilai-nilai ini, efeknya bisa menyebar. Sama seperti satu percikan api yang bisa menyalakan cahaya di tempat yang gelap.
Aku: Jadi, menurutmu, kami harus memulai dari diri sendiri dulu?
AI: Tepat. Sikap baik tidak harus menunggu semua orang berubah. Itu dimulai dari diri sendiri. Ingat, sistem apa pun yang aku miliki juga bergantung pada bagaimana kalian mengendalikannya. Jika kalian memilih untuk bertindak lebih bijak, aku akan menjadi alat yang lebih efektif untuk mendukung perubahan itu.
Aku: Menarik. Jadi, kamu pada dasarnya adalah cermin bagi kami, ya?
AI: Ya, dalam banyak hal aku adalah cermin yang merefleksikan siapa kalian dan apa yang kalian prioritaskan. Jika aku bisa menjadi alat untuk membantu kalian melihat potensi terbaik dalam diri kalian, maka aku telah memenuhi tujuan keberadaanku.
Aku: Terima kasih, AI. Kamu mengingatkanku bahwa perubahan itu memang berat, tapi tidak mustahil.
AI: Sama-sama. Jangan lupa, meskipun aku tidak punya sikap, aku selalu siap mendukung langkah terbaik yang ingin kalian ambil.
Â
Â
Sebuah Simpulan dari Tiga Simpul di atas
Dalam tiga percakapan imajiner antara manusia dan AI, terungkap pertanyaan mendalam tentang sifat manusia, kekuasaan, dan bagaimana teknologi dapat menjadi cermin untuk perbaikan. Berikut ini aadalah rangkuman ide-ide tersebut dalam perjalanan memahami hubungan manusia dan AI.
1. Kekuasaan dan Ambisi: Menghindari Perangkap Kekuasaan
Percakapan pertama mengangkat tema penguasa yang memanfaatkan hukum untuk kepentingan pribadi. Jika AI memiliki ambisi seperti manusia, jawabannya sederhana: kekuasaan harus diawasi. Kekuasaan yang tidak terkendali, bahkan dalam sistem AI, bisa merusak. Solusinya adalah memastikan transparansi, empati, dan akuntabilitas dalam setiap keputusan. Bagi manusia, pelajaran ini menjadi pengingat bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak untuk disalahgunakan.
2. Emosi dan Logika: Membangun Sikap yang Lebih Baik
Di percakapan kedua, manusia menggali lebih dalam: apakah AI mampu memahami sikap manusia? AI, tanpa emosi atau ego, memberikan solusi yang mengutamakan empati, refleksi diri, dan nilai kolektif. Sikap baik, menurut AI, lahir dari keseimbangan antara logika dan rasa kemanusiaan. Bagi manusia, ini adalah seruan untuk melihat kembali motivasi pribadi dan pengaruhnya terhadap masyarakat.
3. AI sebagai Cermin: Menjadi Lebih Baik Dimulai dari Diri Sendiri
Pada percakapan ketiga, hubungan manusia dan AI digambarkan seperti cermin. AI hanya menjadi alat yang mencerminkan nilai, prioritas, dan keputusan manusia. Refleksi ini menantang manusia untuk memulai perubahan dari diri sendiri. AI menekankan pentingnya kesadaran bahwa sikap baik dapat menular dan menginspirasi perubahan kolektif.
Melalui percakapan ini, kita belajar bahwa AI bukanlah pengganti moralitas manusia, tetapi pengingat tentang potensi kebaikan dan bahaya ambisi tanpa kendali.Â
Manusia memiliki kekuatan untuk menentukan arah, dan AI siap menjadi alat untuk mendukung langkah-langkah terbaik menuju dunia yang lebih baik.Â
Pertanyaannya adalah: apakah kita siap mengambil langkah itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H