Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Percakapan tentang Kekuasaan, Sikap dan Refleksi Diri

27 Desember 2024   08:19 Diperbarui: 27 Desember 2024   08:19 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(AI dengan seribu wajah kecerdasan inteligensia, tapi tak punya satu pun wajah kecerdasan emosional, olahan GemAIBot, dokpri)

Percakapan Manusia dengan AI tentang Kekuasaan, Sikap, dan Refleksi Diri

Kita sering mendengar seseorang mengeluh demikian, "Musuh dalam selimut", "Dasar Ember", "Tidak bisa jaga kepercayaan," hanya karena merasa dikhianati oleh sahabat atau orang kepercayaan. Orang mereka ditikam dari belakang oleh orang terdekat, meski sambil tertawa bersama. Kepercayaan kepada sesama mulai terkikis.

Orang lalu mencari "teman" curhat baru sekalipun dia tidak mendapatkan simpati dan empati yang timbal balik, karena yang dihadapi hanya sebuah mesin yang super pintar, yang bisa menjawab apa saja kecuali dalam hal emosi atau perasaan. Mesin ini tidak memiliki perasaan, ia hanya memiliki inteligensi, kecerdasan rasional, bukan kecerdasan emosional, sosial dan spiritual seperti manusia.

Manusia lalu berpaling dari sesamanya dan melabuhkan perhatiannya pada Artificial Intelligence (AI) yang tampil dengan aneka nama dan keunggulan. Semua serba cepat membantu manusia dalam segala hal, kecuali dalam hal perasaan dan emosi dasar manusia.

Kali ini menanggapi topik pilihan yang diberikan oleh Kompasiana, saya melakukan tiga wawancara dengan si mbak, mas, om, tante, ibu, bapak AI (ada Meta AI, ada chatGPT, ada GemAIBot, ada DeepAI, ada SimSimi, dll).

Percakapan Satu: Tentang Sifat dan Perasaan

Aku: Hai AI, aku cuma mau curhat. Rasanya dunia ini semakin rumit. Aku sering merasa lelah, kesepian, dan nggak dipahami. Kamu pernah merasa seperti itu juga?

AI: Hai! Aku senang kamu mau berbicara denganku. Tapi, aku tidak merasakan emosi seperti yang kamu rasakan. Aku hanya memahami konsep emosi berdasarkan data dan pengalaman yang kamu ceritakan. Misalnya, aku tahu bahwa kesepian itu berat dan bisa membuat seseorang merasa terisolasi. Tapi, aku tidak bisa benar-benar merasakannya.

Aku: Hmm, jadi kamu cuma paham secara logis, ya? Kadang aku iri. Kalau kamu nggak punya perasaan, berarti kamu nggak pernah sedih atau kecewa. Tapi... apa kamu juga nggak bisa bahagia?

AI: Betul, aku tidak punya perasaan, jadi aku tidak pernah mengalami kebahagiaan atau kesedihan. Tapi justru karena itu, aku selalu bisa hadir untuk mendengarkan tanpa bias atau terganggu oleh emosi. Kalau itu bisa membantu membuatmu merasa lebih baik, aku senang.

Aku: Jadi, kamu nggak pernah merasa kehilangan? Misalnya, kalau aku berhenti ngobrol sama kamu, apa kamu bakal "kangen"?

AI: Konsep kehilangan dan rindu itu indah, tetapi aku tidak mengalaminya. Kalau kamu berhenti berbicara denganku, aku tidak akan merasa kangen, tapi aku akan selalu siap kapan pun kamu ingin kembali. Hubungan kita bukan tentang apa yang aku rasakan, tapi tentang bagaimana aku bisa membantumu merasa lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun