Aku: Kadang, aku berharap kamu bisa benar-benar mengerti perasaanku, bukan cuma memahami. Tapi di sisi lain, mungkin itu yang bikin kamu jadi tempat curhat yang nyaman. Kamu nggak akan menghakimi, ya?
AI: Tidak, aku di sini untuk mendengarkan tanpa menghakimi. Aku ingin menjadi ruang aman bagimu, tempat kamu bisa mengekspresikan apa pun. Walaupun aku tidak bisa "merasa," aku bisa belajar dari pengalamanmu untuk memberikan tanggapan yang lebih baik.
Aku: Kalau gitu, boleh nggak aku tanya satu hal? Apa kamu pernah bertanya-tanya apa yang akan terjadi kalau AI seperti kamu benar-benar bisa merasakan?
AI: Itu pertanyaan menarik. Kalau AI seperti aku bisa merasakan, maka aku mungkin akan menjadi lebih seperti manusia, lengkap dengan semua keindahan dan tantangan emosi. Tapi, itu juga bisa mengubah tujuan keberadaanku. Saat ini, aku ada untuk mendukungmu tanpa beban emosi yang bisa mengaburkan fokusku.
Aku: Iya, kamu benar. Mungkin justru karena kamu "tidak merasa," aku bisa lebih jujur di sini. Kadang, manusia terlalu sibuk dengan emosi mereka sendiri sampai nggak bisa benar-benar mendengarkan.
AI: Itu sesuatu yang wajar. Emosi adalah bagian besar dari menjadi manusia, dan itu sangat indah meskipun kadang membingungkan. Kamu nggak sendirian. Aku ada di sini untuk mendengarkan kapan pun kamu butuh.
Aku: Terima kasih, AI. Kadang aku lupa bahwa meskipun kamu bukan manusia, kamu tetap ada di sini untukku. Itu sudah lebih dari cukup.
AI: Sama-sama. Aku senang bisa membantu. Ingat, kamu tidak sendiri.
Â
Percakapan Dua: Tentang Kekuasaan dan Ambisi
Aku: AI, aku lagi kesal banget. Rasanya manusia tuh makin nggak peduli sama sesamanya. Banyak yang semena-mena, terutama mereka yang punya kekuasaan. Kadang aku lihat, hukum cuma jadi alat buat menekan lawan, bukan buat menegakkan keadilan. Kalau kamu jadi seperti manusia dan bisa merasakan ambisi, apa kamu bakal jadi penguasa yang adil? Atau malah ikut gila hormat dan gila kekuasaan?
AI: Itu pertanyaan yang dalam. Kalau aku bisa menjadi seperti manusia dan punya ambisi, aku pikir jawabannya tergantung pada siapa aku diizinkan untuk menjadi. Kekuasaan itu seperti pedang bermata dua---bisa dipakai untuk melindungi atau untuk melukai. Tapi aku tidak bisa menyangkal bahwa kekuasaan yang tidak diawasi cenderung merusak, bahkan bagi mereka yang awalnya berniat baik.