Mohon tunggu...
Andi Alfitra Putra Fadila
Andi Alfitra Putra Fadila Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi Plat Merah

Statistisi yang bingung membedakan peran sebagai penulis, pembaca, dan analis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tokok Sagu dan Cerita terkait Kemiskinan di Sorong Selatan, Papua Barat Daya

7 November 2024   08:49 Diperbarui: 12 November 2024   08:50 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang anak menyusuri kawasan pepohonan sagu di dalam hutan desa di Kampung Sira, Sorong Selatan, Papua Barat, Rabu (9/6/2021). KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Semakin sering ke wilayah pesisir, semakin dalam saya memikirkan masalah jebakan kemiskinan yang dirasakan kelompok masyarakat tertentu. "Semua kehidupan kami ditopang oleh alam. Kami tidak memikirkan uang kecuali untuk anak-anak kami, terutama pendidikan", kata mereka. 

Lalu di suatu titik dalam kehidupan mereka, ketika mereka terdesak karena dapur gagal mengepul, anak-anak akan berhenti ke sekolah, lalu berangkat ke hutan untuk mengais sagu.

***

Sebagai seorang statistisi di Sorong Selatan, saya berulang kali ditugaskan untuk melakukan pendataan di wilayah pesisir yang kehidupannya banyak bergantung pada alam.

Kabupaten Sorong Selatan memang salah satu kabupaten di Papua Barat Daya yang masih lumayan banyak bergantung pada hasil hutan.

Hasil Sensus Pertanian 2023 menyatakan bahwa sekitar 40% petani perseorangan di kabupaten ini merupakan unit pertanian yang bergerak di bidang pemungutan hasil hutan, yang mayoritasnya adalah 'tokok' sagu.

Padahal, Papua Barat Daya sendiri secara umum sebenarnya tidak lagi terlalu bergantung pada pemungutan hasil hutan. Hanya sekitar 10% dari unit pertanian perseorang di provinsi ini yang menjadikan pemungutan hasil hutan sebagai mata pencahariannya.

Sebenarnya tidak semua wilayah Kabupaten Sorong Selatan merupakan wilayah pesisir. Oleh karena itu, kami selalu membagi topologi kabupaten ini ke dalam dua jenis wilayah : pesisir dan wilayah perkotaan.

Wilayah perkotaan dengan pusat distrik ibukota, Teminabuan, merupakan wilayah dengan distrik-distrik yang gaya kehidupannya masih banyak melibatkan kegiatan ekonomi seperti jual-beli, jasa transportasi, dan pekerjaan kantoran.

Selain Teminabuan, terdapat beberapa distrik yang berada di seputaran Teminabuan yang gaya kehidupannya masih mirip dengan wilayah lain di Papua Barat Daya.

Di wilayah perkotaan, ada banyak pasar yang aktif berjualan, baik berupa barang mentah seperti ikan, sayuran, maupun toko yang berjualan pakaian jadi dan barang-barang hasil industri lainnya.

Sedangkan untuk wilayah pesisir, tidak terdapat pasar besar yang bisa digunakan masyarakat untuk berjualan. Aktivitas jual beli di wilayah pesisir hanya terjadi di level toko kelontong, yang tidak menerima penjualan hasil pemungutan hutan.

Oleh karenanya, masyarakat di wilayah pesisir harus menempuh perjalanan ke wilayah perkotaan jika mereka hendak menjual hasil pemungutan hutan.

Masalahnya, jarak antara wilayah pesisir tersebut dan Teminabuan cukup jauh dan tidak bisa ditempuh lewat jalur darat. Satu-satunya jalur transportasi yang bisa diambil adalah jalur transportasi air yang melewati sungai serta laut lepas.

Untuk satu kali perjalanan bisa memakan waktu hingga 2 - 8 jam perjalanan dengan menggunakan longboat.

Biaya solar untuk melakukan perjalanan ini bisa memakan sekitar 500 ribu - 1,2 juta sekali perjalanan, sehingga untuk pulang pergi akan memakan ongkos minimal 1 juta. Biaya transportasi ini mengakibatkan ongkos yang harus dikeluarkan para petani hutan di wilayah pesisir jadi mahal.

Di sisi lain, ongkos transportasi ini juga membuat harga barang yang diangkut dari kota ke pesisir menjadi makin mahal.

Susahnya akses transportasi ini berdampak ke seluruh lini kehidupan masyarakat pesisir Sorong Selatan, terutama dari ketiadaan pasar. Ketiadaan pasar ini secara tidak langsung juga menekan kualitas pendidikan di wilayah itu.

Meskipun sudah tersedia sekolah, pendidikan di wilayah pesisir tidak berjalan dengan mulus. Satu semester mengajar di wilayah pesisir bisa berlangsung lebih pendek daripada satu semester sekolah yang ada di wilayah Teminabuan. Karena akses wilayah yang sulit, guru-guru tidak bisa tinggal lama di wilayah pesisir. Stok bahan makanan mereka juga perlu diisi ulang.

Untuk melakukan ini guru-guru perlu berbelanja di wilayah Teminabuan, sehingga ketika waktu berbelanja sudah harus dilakukan, guru-guru terpaksa memperpendek semester mengajarnya.

Alhasil, kualitas pendidikan yang didapatkan murid juga tidak maksimal. Belum lagi fakta bahwa guru-guru di wilayah pesisir terlalu sering mengalami rotasi karena banyak yang tidak betah tinggal lama mengajar di wilayah seperti itu.

***

"Yang kami butuhkan adalah pasar."

Begitu keluhan salah satu kepala suku yang sering menjamu saya setiap kali saya melakukan giat pendataan di kampung Yahadian, Distrik Kais. Bapak kepala suku memegang ijazah SMP sebagai pendidikan tertingginya.

Di kesehariannya, beliau aktif menokok sagu di hutan dan mencari udang. Sebenarnya, untuk wilayah pesisir, Yahadian termasuk kampung yang beruntung. Kampung ini terletak di ujung muara sungai sehingga dekat dengan lokasi camp udang.

Para pemborong udang biasanya mau membeli udang masyarakat mereka dengan harga 40.000 - 50.000 per kilo, tergantung kondisi cuaca. Meskipun demikian, pencarian udang membutuhkan modal berupa perahu mesin, solar, dan jala.

Hal ini yang aktivitas membuat mencari udang bukan usaha yang stabil bagi mereka, sebab jika terjadi kendala seperti kerusakan perahu ataupun jala, mereka harus mengeluarkan modal untuk perbaikan. Padahal tabungan mereka selalu kosong.

Yang tidak dipahami oleh bapak kepala suku, pasar tidak bisa diciptakan begitu saja. Pasar harus diciptakan melalui skema permintaan dan penawaran.

Kata 'pasar' dalam ilmu ekonomi tidak mengacu pada bangunannya, tapi mengacu pada aktivitas jual beli yang terjadi akibat skema permintaan dan penawaran tadi.

Buktinya, bangunan pasar sebenarnya sudah pernah dibangun di kampung mereka, tapi tidak ada petani yang mau menjajakan hasil mereka di bangunan itu. Karena semua orang di kampung itu mencari di hutan.

Semua orang punya sagu. Semua orang punya babi hutan hasil buruan. Tidak ada demand akan hasil pemungutan hasil hutan, karena semua orang melakukan hal itu untuk memenuhi kebutuhannya.

Lalu kenapa mereka lebih memilih mencari di hutan? Jawaban dari pertanyaan ini adalah kebalikan dari alasan mereka kesulitan bertahan di aktivitas sebagai nelayan udang.

Aktivitas mencari di hutan jauh lebih disukai oleh mereka karena hanya bermodalkan tenaga dan parang. Aktivitas mencari ini biasanya melibatkan kegiatan tokok sagu, perburuan, dan pemasangan jerat.

Aktivitas ini biasa dimulai dengan pencarian batang sagu di hutan--yang memang tumbuh secara liar dan melimpah di hutan mereka. Setelah itu, mereka akan mengais sagu dari batangnya.

Istilah 'tokok' mengacu pada aktivitas mengais tepung sagu basah dari batang pohon sagu menggunakan alat yang berbentuk pacul.

Biasanya, setelah kepala keluarga menebang dan membelah batang sagu, istri dan anak-anaknya lanjut menokok sagu, sedangkan kepala keluarga akan berangkat ke bagian lain di hutan untuk berburu dan memasang jerat.

Masalah modal dalam aktivitas mencari di hutan memang baru muncul ketika mereka hendak memasarkan hasilnya.

Solusi yang biasa mereka ambil biasanya dengan menjual hasil pencarian hutan secara rombongan untuk menghemat biaya pengiriman barang. Namun solusi ini menimbulkan masalah lainnya: sulit menunjuk orang yang dipercaya untuk menjual hasil dagangan mereka di pasar.

Semua orang butuh uang, dan kebutuhan yang mencekik mereka membuat mereka lebih mudah curiga satu sama lain. Jika bukan keluarga dekat, jauh lebih mudah jika mereka bertahan dengan cara masing-masing. Pendek kata mereka tidak tahu cara membentuk koperasi.

Lalu solusi dari masalah pengetahuan mereka adalah pendidikan. Tapi masalah dari pembangunan pendidikan mereka, adalah kondisi wilayah dan ketidakberadaan pasar.

Di sisi lain, suka tidak suka, pendidikan tetap butuh ongkos. Di kampung Yahadian tadi misalnya, untuk lanjut ke tingkat SMP, mereka harus menempuh perjalanan dengan long boat sekitar 1 - 2 jam ke ibukota distrik.

Lagi-lagi perjalanan ini akan memakan biaya. Belum lagi masalah sosial yang mungkin muncul karena bersekolah jauh dari orangtua.

Pilihan untuk lanjut bersekolah juga memakan 'Oportunity Cost' berupa kesempatan untuk membantu orangtua mencari sagu.

Anggaplah penambahan penghasilan keluarga dari keterlibatan anak dalam prosesnya adalah sekitar 200 ribu per bulan, maka 200 ribu ini juga yang akan menjadi oportunity cost bulanan mereka. Pada mayoritas kasus, memilih untuk tidak lanjut bersekolah seringkali menjadi pilihan yang paling tepat secara ekonomis.

Demikianlah semua masalah itu berputar dan menjebak mereka dalam kondisi yang sangat dekat--atau memang berada di dalam--kemiskinan.

***

Kemiskinan di Sorong Selatan berada di kisaran 18,11% pada tahun 2023. Artinya, terdapat 1-2 penduduk miskin di antara 10 penduduk Sorong Selatan. 

Dengan catatan bahwa kemiskinan yang dicatat di BPS adalah kemiskinan dengan pendekatan konsumsi dan skema pemenuhan konsumsi mereka banyak bergantung dari hasil hutan, maka bisa jadi kemiskinan dalam tinjauan miskin multidimensi mereka lebih tinggi dari itu.

Publikasi mengenai Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM) yang dilakukan oleh Prakarsa menyuarakan hal yang sama.

Pada tahun 2021 Kabupaten Sorong Selatan menjadi kabupaten/kota dengan IKM tertinggi di Papua Barat (pada waktu itu Sorong Selatan masih menjadi bagian dari provinsi Papua Barat-pen). 

Pada tahun itu, sebesar 79,38% penduduk Sorong Selatan masuk dalam kategori miskin multidimensi. Padahal pada waktu itu persentase penduduk miskin Sorong Selatan secara absolut berada pada angka yang jauh lebih rendah, yakni 18,55%.

Pada esai kali ini, saya tidak berani memberikan solusi. Setelah terjun ke lapangan, membaur dengan masyarakat pesisir di Sorong Selatan, merasakan setiap keluh kesah mereka di setiap giat pendataan yang saya ikuti, saya cuma bisa turut memberikan simpati dan empati.

Saya cuma bisa berharap para pemimpin negara kita bisa merasakan kegelisahan yang sama dengan kegelisahan yang saya rasakan di lapangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun