Mohon tunggu...
Andi Alfitra Putra Fadila
Andi Alfitra Putra Fadila Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi Plat Merah

Statistisi yang bingung membedakan peran sebagai penulis, pembaca, dan analis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tokok Sagu dan Cerita terkait Kemiskinan di Sorong Selatan, Papua Barat Daya

7 November 2024   08:49 Diperbarui: 12 November 2024   08:50 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang anak menyusuri kawasan pepohonan sagu di dalam hutan desa di Kampung Sira, Sorong Selatan, Papua Barat, Rabu (9/6/2021). KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Di wilayah perkotaan, ada banyak pasar yang aktif berjualan, baik berupa barang mentah seperti ikan, sayuran, maupun toko yang berjualan pakaian jadi dan barang-barang hasil industri lainnya.

Sedangkan untuk wilayah pesisir, tidak terdapat pasar besar yang bisa digunakan masyarakat untuk berjualan. Aktivitas jual beli di wilayah pesisir hanya terjadi di level toko kelontong, yang tidak menerima penjualan hasil pemungutan hutan.

Oleh karenanya, masyarakat di wilayah pesisir harus menempuh perjalanan ke wilayah perkotaan jika mereka hendak menjual hasil pemungutan hutan.

Masalahnya, jarak antara wilayah pesisir tersebut dan Teminabuan cukup jauh dan tidak bisa ditempuh lewat jalur darat. Satu-satunya jalur transportasi yang bisa diambil adalah jalur transportasi air yang melewati sungai serta laut lepas.

Untuk satu kali perjalanan bisa memakan waktu hingga 2 - 8 jam perjalanan dengan menggunakan longboat.

Biaya solar untuk melakukan perjalanan ini bisa memakan sekitar 500 ribu - 1,2 juta sekali perjalanan, sehingga untuk pulang pergi akan memakan ongkos minimal 1 juta. Biaya transportasi ini mengakibatkan ongkos yang harus dikeluarkan para petani hutan di wilayah pesisir jadi mahal.

Di sisi lain, ongkos transportasi ini juga membuat harga barang yang diangkut dari kota ke pesisir menjadi makin mahal.

Susahnya akses transportasi ini berdampak ke seluruh lini kehidupan masyarakat pesisir Sorong Selatan, terutama dari ketiadaan pasar. Ketiadaan pasar ini secara tidak langsung juga menekan kualitas pendidikan di wilayah itu.

Meskipun sudah tersedia sekolah, pendidikan di wilayah pesisir tidak berjalan dengan mulus. Satu semester mengajar di wilayah pesisir bisa berlangsung lebih pendek daripada satu semester sekolah yang ada di wilayah Teminabuan. Karena akses wilayah yang sulit, guru-guru tidak bisa tinggal lama di wilayah pesisir. Stok bahan makanan mereka juga perlu diisi ulang.

Untuk melakukan ini guru-guru perlu berbelanja di wilayah Teminabuan, sehingga ketika waktu berbelanja sudah harus dilakukan, guru-guru terpaksa memperpendek semester mengajarnya.

Alhasil, kualitas pendidikan yang didapatkan murid juga tidak maksimal. Belum lagi fakta bahwa guru-guru di wilayah pesisir terlalu sering mengalami rotasi karena banyak yang tidak betah tinggal lama mengajar di wilayah seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun