Aktivitas mencari di hutan jauh lebih disukai oleh mereka karena hanya bermodalkan tenaga dan parang. Aktivitas mencari ini biasanya melibatkan kegiatan tokok sagu, perburuan, dan pemasangan jerat.
Aktivitas ini biasa dimulai dengan pencarian batang sagu di hutan--yang memang tumbuh secara liar dan melimpah di hutan mereka. Setelah itu, mereka akan mengais sagu dari batangnya.
Istilah 'tokok' mengacu pada aktivitas mengais tepung sagu basah dari batang pohon sagu menggunakan alat yang berbentuk pacul.
Biasanya, setelah kepala keluarga menebang dan membelah batang sagu, istri dan anak-anaknya lanjut menokok sagu, sedangkan kepala keluarga akan berangkat ke bagian lain di hutan untuk berburu dan memasang jerat.
Masalah modal dalam aktivitas mencari di hutan memang baru muncul ketika mereka hendak memasarkan hasilnya.
Solusi yang biasa mereka ambil biasanya dengan menjual hasil pencarian hutan secara rombongan untuk menghemat biaya pengiriman barang. Namun solusi ini menimbulkan masalah lainnya: sulit menunjuk orang yang dipercaya untuk menjual hasil dagangan mereka di pasar.
Semua orang butuh uang, dan kebutuhan yang mencekik mereka membuat mereka lebih mudah curiga satu sama lain. Jika bukan keluarga dekat, jauh lebih mudah jika mereka bertahan dengan cara masing-masing. Pendek kata mereka tidak tahu cara membentuk koperasi.
Lalu solusi dari masalah pengetahuan mereka adalah pendidikan. Tapi masalah dari pembangunan pendidikan mereka, adalah kondisi wilayah dan ketidakberadaan pasar.
Di sisi lain, suka tidak suka, pendidikan tetap butuh ongkos. Di kampung Yahadian tadi misalnya, untuk lanjut ke tingkat SMP, mereka harus menempuh perjalanan dengan long boat sekitar 1 - 2 jam ke ibukota distrik.
Lagi-lagi perjalanan ini akan memakan biaya. Belum lagi masalah sosial yang mungkin muncul karena bersekolah jauh dari orangtua.
Pilihan untuk lanjut bersekolah juga memakan 'Oportunity Cost' berupa kesempatan untuk membantu orangtua mencari sagu.