***
"Yang kami butuhkan adalah pasar."
Begitu keluhan salah satu kepala suku yang sering menjamu saya setiap kali saya melakukan giat pendataan di kampung Yahadian, Distrik Kais. Bapak kepala suku memegang ijazah SMP sebagai pendidikan tertingginya.
Di kesehariannya, beliau aktif menokok sagu di hutan dan mencari udang. Sebenarnya, untuk wilayah pesisir, Yahadian termasuk kampung yang beruntung. Kampung ini terletak di ujung muara sungai sehingga dekat dengan lokasi camp udang.
Para pemborong udang biasanya mau membeli udang masyarakat mereka dengan harga 40.000 - 50.000 per kilo, tergantung kondisi cuaca. Meskipun demikian, pencarian udang membutuhkan modal berupa perahu mesin, solar, dan jala.
Hal ini yang aktivitas membuat mencari udang bukan usaha yang stabil bagi mereka, sebab jika terjadi kendala seperti kerusakan perahu ataupun jala, mereka harus mengeluarkan modal untuk perbaikan. Padahal tabungan mereka selalu kosong.
Yang tidak dipahami oleh bapak kepala suku, pasar tidak bisa diciptakan begitu saja. Pasar harus diciptakan melalui skema permintaan dan penawaran.
Kata 'pasar' dalam ilmu ekonomi tidak mengacu pada bangunannya, tapi mengacu pada aktivitas jual beli yang terjadi akibat skema permintaan dan penawaran tadi.
Buktinya, bangunan pasar sebenarnya sudah pernah dibangun di kampung mereka, tapi tidak ada petani yang mau menjajakan hasil mereka di bangunan itu. Karena semua orang di kampung itu mencari di hutan.
Semua orang punya sagu. Semua orang punya babi hutan hasil buruan. Tidak ada demand akan hasil pemungutan hasil hutan, karena semua orang melakukan hal itu untuk memenuhi kebutuhannya.
Lalu kenapa mereka lebih memilih mencari di hutan? Jawaban dari pertanyaan ini adalah kebalikan dari alasan mereka kesulitan bertahan di aktivitas sebagai nelayan udang.