Mohon tunggu...
Alfi Rahmadi
Alfi Rahmadi Mohon Tunggu... -

Peneliti, Jurnalis, Praktisi Publik Relasi, Forensik Komunikasi. \r\n\r\nWartawan Majalah Forum Keadilan (2004-2009), dengan karir terakhir sebagai redaktur. Majalah Gontor (2002-2004). \r\n\r\nSebagai jembatan komunikasi, dapat dihubungi melalui saluran +82112964801 (mobile); +81806243609 (WhatsApp); Email: alfirahmadi09@gmail.com | alfirahmadi17@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sang Pengawal Lumbung Pangan

23 September 2014   12:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:51 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Antara lain: Justus Liebig, ahli kimia, salah satu peramu pertama pupuk kimia; Rudolf Hoppe, profesor kimia, pembuat pertama senyawa sintesis biner dari gas mulia XeF2; Wilhelm Conrad Röntgen, penemu sinar X dan peraih Nobel; Georg Büchner, sastrawan sosialis; Wangari Muta Maathai, peraih Nobel Perdamaian; Gottfried Münzenberg, fisikawan, penemu unsur-unsur baru; Wilhelm Wien, profesor fisika, peraih penghargaan Nobel; Georg Haas, penemu proses hemodialisis (cuci darah); Walther Bothe, profesor fisika, peraih penghargaan Nobel; dan sebagainya.

"Selama di Jerman tidak ada kamus saya minder atau merasa rendah sebagai orang Indonesia di hadapan para kolega dan profesor, mengingat kita adalah negara besar, dengan kekayaannya yang juga besar, " ungkap Prof Tualar Simarmata yang lulus dengan predikat Summa Cum Laude di universitas yang berdiri tahun 1607 itu.

Pengalaman pahit masa lalu dibalut dengan ketekunannya itu telah menjadi energi Tualar Simarmata tidak saja piawai dalam riset akademis, tapi juga penerapannya di lapangan.

Guru Besar Fakultas Pertanian Unpad ini bukan akademisi "menara gading". Sejak IPAT-BO ia temukan pada 2006, ia blusukan dari kampung ke kampung. Ini untuk memastikan sistem teknologi temuannya tersebut benar-benar dapat diterapkan dari Aceh sampai Papua.
Medan menuju kawasan terpencil itu juga tak ringan. Di Kota Soe misalnya. Di kota kecil di Pulau Timor Kab Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, Prof.Tualar Simarmata menumpang mobil bak terbuka melewai jalan aliran sungai kering yang bebatuan terjal. Di Pulau Rote, wilayah paling selatan Indonesia, Tualar bahkan harus membawa ganset sendiri.

Penemuan teknologi IPAP-BO justru semakin sempurna ketika terus diuji di lapangan nyata. Sejumlah penemuan lain Prof.Tualar yang kini telah mendapat Hak Paten yang memperkuat Hak Paten IPAT-BO ia temukan di medan-medan yang sulit itu.

Ibarat rumah, penemuan tersebut merupakan pendukung sistem teknologi IPAT-BO ini. Antara lain, Hak Paten atas Larutan Multinutrisi dan Penyubur Ranah; Larutan Pembenah Kemasaman Tanah atau Pembenah Kemasaman Tanah Berbentuk Cair; Konsorsium Pupuk Bio (Biofertilizers) Ekosistem Lahan Sawah; dan Konsorsium Inokulan Mikroba Perombak (Dekomposer) Jerami Padi. Semuanya ia patenkan pada 2012.

Ketika banyak akademisi dan praktisi mencaci kondisi babak-belurnya pangan negeri, Prof.Tualar menepi memberi inspirasi. Sejak didukung oleh Kamentristek RI 2007, kemudian disambut oleh Kementerian Pertanian, IPAT-BO terasa banyak menjadi stimulus penuntas aneka persoalan krusial pangan Indonesia. Saking krusialnya, pemecahan persoalan tersebut menjadi kata kunci dalam mewujudkan keadaulatan pangan Indonesia dan menjadi lumbung pangan dunia.

Di tataran kebijakan anggaran negara, IPAT-BO yang diterapkan di sejumlah daerah, sedikit banyak turut merangsang keberpihakan anggaran Negara di sektor pertanian. Walaupun saat ini masih kurang dari 3 persen dari persentase ideal paling tidak mencapai 10 - 15 persen dari APBN. Padahal, jumlah penduduk yang terlibat dalam sektor pertanian sekitar 70 persen.

Di tataran pembangunan dan perbaikan infrastruktur, penerapan IPAT-BO juga merangsang sejumlah daerah menseriusi pembangunan waduk, jaringan irigasi, jalan, dan sebagainya. Di berbagai kesempatan mendidik kelompok tani di sejumlah daerah, seringkali Prof.Tualar mengatakan, "Jangan sampai Indonesia terus menangis di dua musim. Saat hujan air melimpah menjadi musibah banjir. Giliran kemarau masih saja menangis, karena tidak ada waduk penampung-nya saat musim hujan."

Kita akui, pencapaian ketahanan atau kemandirian pangan di Insdonesia sangat tergantung pada pembangunan sarana dan prasarana pengairan. Sementara itu, buruknya aksesibilitas menyebabkan biaya tinggi dan produk pertanian Indonesia tidak mampu bersaing dengan produk impor dari manca negara. Sebagian besar infrastruktur pengairan seperti waduk, bendungan dan jaringan irigasi, sudah tidak berfungsi dengan baik akibat terjadinya pendangkalan dan kerusakan jarangan irigasi.

Ketergantungan pada pembangunan sarana dan prasarana pengairan tersebut memang konsekuensi dari pertumbuhan tanaman yang sepenuhnya bertopang dengan faktor sinar matahari, ketersediaan air dan nutrisi. Akibatnya, pertanian merupakan pabrik biologis yang sangat bergantung pada kondisi alam dan faktor eksternal yang sulit atau tidak dapat dikendalikan. Pertanian konvensional sepenuhnya bergantung pada kondisi agroekologis. Karenanya, dinamika pertumbuhan dan perkembangan tanaman bervariasi sesuai dengan kondisi agroekologis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun