Mohon tunggu...
Alfi Rahmadi
Alfi Rahmadi Mohon Tunggu... -

Peneliti, Jurnalis, Praktisi Publik Relasi, Forensik Komunikasi. \r\n\r\nWartawan Majalah Forum Keadilan (2004-2009), dengan karir terakhir sebagai redaktur. Majalah Gontor (2002-2004). \r\n\r\nSebagai jembatan komunikasi, dapat dihubungi melalui saluran +82112964801 (mobile); +81806243609 (WhatsApp); Email: alfirahmadi09@gmail.com | alfirahmadi17@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sang Pengawal Lumbung Pangan

23 September 2014   12:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:51 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

IPAT-BO juga mampu mengurangi penggunaan air sekitar 30-40 persen. Termasuk mengurangi penggunaan pupuk anorganik sekitar 25 persen. Kompos jerami dalam IPAT-BO ini juga berperan sebagai pupuk lengkap untuk mengurangi penggunaan pupuk buatan, terutama pupuk K dan Si, sehingga dapat disubstitusi hingga 100 persen.

[caption id="attachment_343877" align="aligncenter" width="640" caption="Penerapan IPAT-BO di Sulawesi Utara 2007"]

14114272011354309854
14114272011354309854
[/caption]

Yang tak kalah menarik: teknologi IPAT-BO ini tidak saja diterapkan untuk tanaman pangan padi. Tapi juga pangan lainnya. "Adopasi prinsipnya sama, yakni pemanfaatan kekuatan biologis tanah, manajemen tanaman, pemupukan dan tata air secara terpadu dan terencana," terang pria kelahiran Desa Janji Maria, Samosir, Sumatera Utara, 8 Agustus 1958 ini.

Adopsi teknologi pemupukan ala IPAT-BO pada tanaman jagung misalnya, mampu menghasilkan jagung sekitar 8 - 12 ton per ha. Atau mendekati potensi hasil tanaman jagung hibrida, sekitar 10 - 14 ton per ha. Ini berarti, peluang untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan seperti padi, jagung, kedelai dan tanaman pangan lainnya yang sebesar 25 - 50 persen itu masih sangat besar.

"Dengan perluasan aeral sekitar 5 - 10 juta ha dan dipadukan dengan program intensifikasi dan pemulihan kesehatan lahan (soil quality and soil helath), tidak saja menjadikan Indonesia berdaulat pangan tetapi mampu menjadi lumbung pangan dunia secara berlanjut," seru Prof.Tualar Simarmata.

***
Meski terlahir dari keluarga miskin, Tualar Simarmata dan delapan saudara kandungnya diasuh orang tua mereka dengan cita-cita besar. Ayah dan ibunya tidak tamat SD. "Kalau kamu tidak ingin hidup susah, maka pendidikanmu harus tinggi," ujar Tualar mengingat pesan kedua orang tuanya.

Sejak kecil, etos kerja dan disiplin telah tertanam dalam diri Tualar. Apalagi sejak ayahnya meninggal saat ia duduk di bangku SMP. Sejak itu keluarga Tualar pindah dari Samosir mengadu nasib ke Medan. Pagi buta, pukul 04.00 WIB, sebelum berangkat sekolah, ia sudah harus bangun. Tualar jadi supir angkot, menjual koran, membantu ibunya dagang kain di pasar tradisional.

[caption id="attachment_343878" align="aligncenter" width="640" caption="Prof.Tualar Simarmata bersama istri dan putra-putrinya"]

1411427281378760495
1411427281378760495
[/caption]

Di masa kuliah di Unpad, sadar memiliki keterbatasan, tidak ada jalan lain kecuali mesti berprestasi. Buku-buku kuliah yang tidak mampu ia beli, ia pinjam ke kawannya untuk ia catat. "Kalau kawan-kawan saya baca 5 buku, saya paling tidak harus 10 buku," kenangnya.

Tamat S1 ilmu Tanah Unpad, Bandung, 1982, Tualar Simarmata melanjutkan master di almamater bidang ilmu yang sama dengan IP sebesar 3,9 (tamat 1986). Lalu melanjutkan studi doktor ilmu Biologi Tanah dan Lingkungan di Universitas Justus Liebig, Jerman, meraih IP sebesar 4.0, dengan disertasi berbahasa Jerman (tamat 1993).

Orang Jerman sekalipun hanya segelintir yang mencapai rekor prestasi setinggi Tualar di universitas yang berdiri pada awal abad ke-16 masehi itu; salah satu universitas tertua di negeri Panser tersebut. Universitas di kota Giessen itu banyak melahirkan ilmuan berpengaruh dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun