Mohon tunggu...
Alfi Rahmadi
Alfi Rahmadi Mohon Tunggu... -

Peneliti, Jurnalis, Praktisi Publik Relasi, Forensik Komunikasi. \r\n\r\nWartawan Majalah Forum Keadilan (2004-2009), dengan karir terakhir sebagai redaktur. Majalah Gontor (2002-2004). \r\n\r\nSebagai jembatan komunikasi, dapat dihubungi melalui saluran +82112964801 (mobile); +81806243609 (WhatsApp); Email: alfirahmadi09@gmail.com | alfirahmadi17@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sang Pengawal Lumbung Pangan

23 September 2014   12:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:51 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prof. Dr. Tualar Simarmata, Ir. MS
Penemu Teknologi Intensifikasi Pertanian Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO)

[caption id="attachment_343875" align="aligncenter" width="517" caption="Prof.Dr.Tualar Simarmata menunjukan benih unggul Super Genjah (gemuk) menggunakan teknologi IPAT-BO"][/caption]

Peluang Indonesia berdaulat pangan masih sangat besar. Bahkan bisa menjadi lumbung pangan dunia. Itulah keyakinan Prof. Tualar Simarmata, sang Tokoh Inovator Pangan dalam 106 Inovasi Indonesia Paling Prospektif 2014. Bukan mimpi. Karena keyakinan itu telah ia terapkan di lapangan nyata hampir di seluruh provinsi Indonesia melalui penemuannya dalam teknologi Intensifikasi Pertanian Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO). Perlu penerapan secara massal-nasional.

Indonesia berdaulat pangan bahkan sebagai lumbung pangan dunia, hanya dibelit oleh sebuah persoalan mendasar. "Yaitu, hanya mau atau tidak. Kalau mampu dan tidaknya, saya jawab, Indonesia sangat mampu," ujar Prof. Tualar Simarmata, mengawali perbincangan dengan saya, Kamis sore, 28 Agustus 2014, di Hotel Sultan, Jakarta.

Saat itu Prof. Tualar baru saja tiba ke Jakarta dari Bandara Iskandar, Pangkalan Bun, ibu kota Kab Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Keyakinannya tersebut kian menebal ketika berada kota kelapa sawit itu. Pakar biokteknologi tanah ini menerapkan uji coba memanfaatkan kebun sawit untuk swasembada daging.

Per hektare (ha) area kebun sawit di-tumpang sari-kan dengan ternak sapi. Makanan sapi berasal dari rumput-rumput yang ada di situ. Sementara kebun sawitnya subur karena menggunakan kompos dari kotoran sapi.

"Per haktare cocok untuk dua ekor dengan pertimbangan rantai makanan yang ada di area itu. Kalau di Indonesia luas kebun sawit melebihi 13 juta ha, artinya ada puluhan juta sapi yang bisa diternak. Tinggal kita mau atau tidak. Saya optimis Indonesia bisa," papar doktor ilmu biologi tanah dan lingkungan Universitas Justus Liebig, Jerman, dengan Indeks Prestasi (IP) 4.0 ini.

Optimisme mendasar Prof. Tualar bertumpu dari tiga sumber yang ia amati mendalam. Sumber pertama dari fenomena alam tropis Indonesia yang sangat kaya sebagai keunggulan komparatif. Antara lain sinar matahari sebagai sumber energi untuk tanaman. Istilah yang ia gunakan adalah sebagai "pabrik" atau "mesin biologis (fotosintesis)" yang luar biasa melimpah; 12 jam per hari. Sayangnya, pada musim kemarau, sinar matahari disia-siakan.

Belum lagi ketersediaan air, yang melimpah. Sayangnya, itu juga disia-siakan pada musim hujan. Belum lagi ketersediaan lahan yang masih terhampar luas. Jika merujuk data Badan Pengembangan dan Penelitian Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSLP) 2008, lahan yang sesuai perluasan areal tanam pangan (ektensifikasi) masih tersedia sekitar 16,77 juta ha dari total luas daratan sekitar 188,8 juta ha. Terdiri dari sekitar 3,51 juta ha ekosistem lahan rawa dan 13,26 juta ha ekosistem lahan kering. Lahan-lahan potensial untuk tanaman pangan, umumnya tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Papua.

Sumber kedua, dari studi literatur yang ia gali. Master ilmu Tanah Universitas Padjajaran (Unpad) dengan IP 3.9 ini mengamatinya dari sudut pandang pangan beras. Padi, kata Prof.Tualar, bukanlah tanaman air tapi bisa hidup di air. Ini sangat berkaitan dengan penghematan penggunaan lahan dan air.

Sumber ketiga, dari kearifan lokal Indonesia. Terutama dari sisi pontensi lokal yang melimpah dalam menopang kekuatan biologis tanah. Seperti pemanfaatan aneka limbah hayati dan input lainnya.

Tiga sumber pokok itulah menjadi embrio Prof. Tualar Simarmata menemukan teknologi bernama Intensifikasi Pertanian Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO). Ini adalah sistem teknologi produksi terpadu, dengan menitikberatkan pemanfaatan kekuatan biologis tanah, manajemen tanaman, pemupukan dan tata air secara terpadu dan terencana untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan sistem perakaran padi dalam kondisi aerob.

Teknologi terpadu yang dimaksud Prof. Tualar tidak serumit dan semahal yang dibayang. "Teknologinya murah-meriah karena kekuatannya bertopang pada pontensi lokal yang ada tadi. Seperti memanfaatkan jemari," papar ahli biokteknologi tanah ini.

Dengan medium jerami dalam sistem teknologi IPAT-BO, Prof. Tualar membuktikan, bukan saja mampu melipatgandakan hasil produksi, tapi juga memulihkan kesehatan lahan. Ciri khas sistem teknologi ini: ramah lingkungan, hemat air, hemat bibit, hemat pupuk anorganik, hemat pestisida.

Dalam jerami, papar Prof. Tualar, tersimpan unsur hara tanah dan CO2 sehingga menjadikanya senyawa komplek. Kalau jerami itu diolah menjadi kompos dan dikembalikan ke lahan, akan menjadi sumber organik yang besar. Belum lagi sekam bekas gabahnya yang diproses menjadi biocare dan dikembalikan ke lahan akan lebih menambah kesuburan tanah.

Sejak didukung oleh Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) RI 2007, hasil terapan IPAT-BO di beberapa daerah Indonesia kurun 2007-2013 terbilang memuaskan. Sistem teknologi ini mampu meningkatkan produksi 25-50 persen. Atau 2-4 kali lipat.

Hasil terapan itu menunjukan: penggunaan kompos jerami dengan dosis 2 - 6 ton per ha tanpa pupuk K, mampu menghasilkan sekitar 6 - 8 ton gabah kering giling (GKG) per ha. Dengan pengelolaan air irigasi yang tepat bahkan mampu menghasilkan sekitar 8 - 10 ton padi per ha atau mendekati, bahkan melebihi potensi hasil. Bandingkan bila tidak menggunakan kompos jerami dan dipupuk hingga 150 kg KCl, hanya menghasilkan 6 ton GKG per ha.

Bila luas areal panen saat ini sekitar 12 juta hektar, maka total produksi yang dicapai menjadi sekitar 72 - 86 juta ton GKG per tahun. Prof.Tualar amat yakin, untuk mencapai tingkat produktivitas padi menjadi 8 ton masih relatif mudah. Itu meujuk dari berbagai kajian intensifikasi saat ini, dengan memanfaatkan benih unggul; pengairan; pemupukan dan pengendalian organisme penganggu tanaman (OPT) dan penanganan panen serta pasca panen.

Soal benih unggul, upaya peningkatan produksi melalui perakitan benih berumur genjah atau super genjah sudah mulai diterapkan di Indonesia. Ini juga, sambung Prof. Tualar, memegang peranan penting untuk menggenjot produksi tanaman pangan di masa mendatang. Tanaman padi varietas unggul baru (VUB) saat ini rata-rata berumur sekitar 110 - 120 hari sehingga penanaman maksimal 2 - 3 kali dalam setahun. Bila umur padi dapat dipersingkat menjadi sekitar 70 hari menggunakan benih super genjah, maka penanaman dapat dilakukan hingga 4 kali dalam setahun (IP 400).

Pun dalam intensifikasi padi lahan kering (padi gogo), kontribusinya saat ini sekitar 5 persen dari total produksi padi, dengan tingkat produktivitas yang masih rendah sekitar 2 ton. Nah, temuan Prof.Tualar menunjukan: adopsi teknologi intensifikasi dengan benih unggul dapat meningkatkan produktivitas padi gogo hingga 3 - 4 ton/ha.

Selama ini, pola sawah konvensional relatif sulit mencapai target 8-10 ton padi per ha itu. Produktivitasnya kian sulit karena sebagian besar lahan pertanian Indonesia, lahan sawah maupun lahan kering, sudah tergolong lahan sakit dan kelelahan.

Menggunakan kompos jerami sebagai sumber energi dan nutrisi bagi mikroba tanah, berdasarkan terapan tersebut, mampu meningkatkan kesehatan dan kualitas lahan sawah dalam waktu relatif singkat, hanya 4 - 6 musim tanam. Selama tiga tahun berturut-turut bisa mengembalikan kesuburan lahan antara 80-90 persen.

IPAT-BO juga mampu mengurangi penggunaan air sekitar 30-40 persen. Termasuk mengurangi penggunaan pupuk anorganik sekitar 25 persen. Kompos jerami dalam IPAT-BO ini juga berperan sebagai pupuk lengkap untuk mengurangi penggunaan pupuk buatan, terutama pupuk K dan Si, sehingga dapat disubstitusi hingga 100 persen.

[caption id="attachment_343877" align="aligncenter" width="640" caption="Penerapan IPAT-BO di Sulawesi Utara 2007"]

14114272011354309854
14114272011354309854
[/caption]

Yang tak kalah menarik: teknologi IPAT-BO ini tidak saja diterapkan untuk tanaman pangan padi. Tapi juga pangan lainnya. "Adopasi prinsipnya sama, yakni pemanfaatan kekuatan biologis tanah, manajemen tanaman, pemupukan dan tata air secara terpadu dan terencana," terang pria kelahiran Desa Janji Maria, Samosir, Sumatera Utara, 8 Agustus 1958 ini.

Adopsi teknologi pemupukan ala IPAT-BO pada tanaman jagung misalnya, mampu menghasilkan jagung sekitar 8 - 12 ton per ha. Atau mendekati potensi hasil tanaman jagung hibrida, sekitar 10 - 14 ton per ha. Ini berarti, peluang untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan seperti padi, jagung, kedelai dan tanaman pangan lainnya yang sebesar 25 - 50 persen itu masih sangat besar.

"Dengan perluasan aeral sekitar 5 - 10 juta ha dan dipadukan dengan program intensifikasi dan pemulihan kesehatan lahan (soil quality and soil helath), tidak saja menjadikan Indonesia berdaulat pangan tetapi mampu menjadi lumbung pangan dunia secara berlanjut," seru Prof.Tualar Simarmata.

***
Meski terlahir dari keluarga miskin, Tualar Simarmata dan delapan saudara kandungnya diasuh orang tua mereka dengan cita-cita besar. Ayah dan ibunya tidak tamat SD. "Kalau kamu tidak ingin hidup susah, maka pendidikanmu harus tinggi," ujar Tualar mengingat pesan kedua orang tuanya.

Sejak kecil, etos kerja dan disiplin telah tertanam dalam diri Tualar. Apalagi sejak ayahnya meninggal saat ia duduk di bangku SMP. Sejak itu keluarga Tualar pindah dari Samosir mengadu nasib ke Medan. Pagi buta, pukul 04.00 WIB, sebelum berangkat sekolah, ia sudah harus bangun. Tualar jadi supir angkot, menjual koran, membantu ibunya dagang kain di pasar tradisional.

[caption id="attachment_343878" align="aligncenter" width="640" caption="Prof.Tualar Simarmata bersama istri dan putra-putrinya"]

1411427281378760495
1411427281378760495
[/caption]

Di masa kuliah di Unpad, sadar memiliki keterbatasan, tidak ada jalan lain kecuali mesti berprestasi. Buku-buku kuliah yang tidak mampu ia beli, ia pinjam ke kawannya untuk ia catat. "Kalau kawan-kawan saya baca 5 buku, saya paling tidak harus 10 buku," kenangnya.

Tamat S1 ilmu Tanah Unpad, Bandung, 1982, Tualar Simarmata melanjutkan master di almamater bidang ilmu yang sama dengan IP sebesar 3,9 (tamat 1986). Lalu melanjutkan studi doktor ilmu Biologi Tanah dan Lingkungan di Universitas Justus Liebig, Jerman, meraih IP sebesar 4.0, dengan disertasi berbahasa Jerman (tamat 1993).

Orang Jerman sekalipun hanya segelintir yang mencapai rekor prestasi setinggi Tualar di universitas yang berdiri pada awal abad ke-16 masehi itu; salah satu universitas tertua di negeri Panser tersebut. Universitas di kota Giessen itu banyak melahirkan ilmuan berpengaruh dunia.

Antara lain: Justus Liebig, ahli kimia, salah satu peramu pertama pupuk kimia; Rudolf Hoppe, profesor kimia, pembuat pertama senyawa sintesis biner dari gas mulia XeF2; Wilhelm Conrad Röntgen, penemu sinar X dan peraih Nobel; Georg Büchner, sastrawan sosialis; Wangari Muta Maathai, peraih Nobel Perdamaian; Gottfried Münzenberg, fisikawan, penemu unsur-unsur baru; Wilhelm Wien, profesor fisika, peraih penghargaan Nobel; Georg Haas, penemu proses hemodialisis (cuci darah); Walther Bothe, profesor fisika, peraih penghargaan Nobel; dan sebagainya.

"Selama di Jerman tidak ada kamus saya minder atau merasa rendah sebagai orang Indonesia di hadapan para kolega dan profesor, mengingat kita adalah negara besar, dengan kekayaannya yang juga besar, " ungkap Prof Tualar Simarmata yang lulus dengan predikat Summa Cum Laude di universitas yang berdiri tahun 1607 itu.

Pengalaman pahit masa lalu dibalut dengan ketekunannya itu telah menjadi energi Tualar Simarmata tidak saja piawai dalam riset akademis, tapi juga penerapannya di lapangan.

Guru Besar Fakultas Pertanian Unpad ini bukan akademisi "menara gading". Sejak IPAT-BO ia temukan pada 2006, ia blusukan dari kampung ke kampung. Ini untuk memastikan sistem teknologi temuannya tersebut benar-benar dapat diterapkan dari Aceh sampai Papua.
Medan menuju kawasan terpencil itu juga tak ringan. Di Kota Soe misalnya. Di kota kecil di Pulau Timor Kab Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, Prof.Tualar Simarmata menumpang mobil bak terbuka melewai jalan aliran sungai kering yang bebatuan terjal. Di Pulau Rote, wilayah paling selatan Indonesia, Tualar bahkan harus membawa ganset sendiri.

Penemuan teknologi IPAP-BO justru semakin sempurna ketika terus diuji di lapangan nyata. Sejumlah penemuan lain Prof.Tualar yang kini telah mendapat Hak Paten yang memperkuat Hak Paten IPAT-BO ia temukan di medan-medan yang sulit itu.

Ibarat rumah, penemuan tersebut merupakan pendukung sistem teknologi IPAT-BO ini. Antara lain, Hak Paten atas Larutan Multinutrisi dan Penyubur Ranah; Larutan Pembenah Kemasaman Tanah atau Pembenah Kemasaman Tanah Berbentuk Cair; Konsorsium Pupuk Bio (Biofertilizers) Ekosistem Lahan Sawah; dan Konsorsium Inokulan Mikroba Perombak (Dekomposer) Jerami Padi. Semuanya ia patenkan pada 2012.

Ketika banyak akademisi dan praktisi mencaci kondisi babak-belurnya pangan negeri, Prof.Tualar menepi memberi inspirasi. Sejak didukung oleh Kamentristek RI 2007, kemudian disambut oleh Kementerian Pertanian, IPAT-BO terasa banyak menjadi stimulus penuntas aneka persoalan krusial pangan Indonesia. Saking krusialnya, pemecahan persoalan tersebut menjadi kata kunci dalam mewujudkan keadaulatan pangan Indonesia dan menjadi lumbung pangan dunia.

Di tataran kebijakan anggaran negara, IPAT-BO yang diterapkan di sejumlah daerah, sedikit banyak turut merangsang keberpihakan anggaran Negara di sektor pertanian. Walaupun saat ini masih kurang dari 3 persen dari persentase ideal paling tidak mencapai 10 - 15 persen dari APBN. Padahal, jumlah penduduk yang terlibat dalam sektor pertanian sekitar 70 persen.

Di tataran pembangunan dan perbaikan infrastruktur, penerapan IPAT-BO juga merangsang sejumlah daerah menseriusi pembangunan waduk, jaringan irigasi, jalan, dan sebagainya. Di berbagai kesempatan mendidik kelompok tani di sejumlah daerah, seringkali Prof.Tualar mengatakan, "Jangan sampai Indonesia terus menangis di dua musim. Saat hujan air melimpah menjadi musibah banjir. Giliran kemarau masih saja menangis, karena tidak ada waduk penampung-nya saat musim hujan."

Kita akui, pencapaian ketahanan atau kemandirian pangan di Insdonesia sangat tergantung pada pembangunan sarana dan prasarana pengairan. Sementara itu, buruknya aksesibilitas menyebabkan biaya tinggi dan produk pertanian Indonesia tidak mampu bersaing dengan produk impor dari manca negara. Sebagian besar infrastruktur pengairan seperti waduk, bendungan dan jaringan irigasi, sudah tidak berfungsi dengan baik akibat terjadinya pendangkalan dan kerusakan jarangan irigasi.

Ketergantungan pada pembangunan sarana dan prasarana pengairan tersebut memang konsekuensi dari pertumbuhan tanaman yang sepenuhnya bertopang dengan faktor sinar matahari, ketersediaan air dan nutrisi. Akibatnya, pertanian merupakan pabrik biologis yang sangat bergantung pada kondisi alam dan faktor eksternal yang sulit atau tidak dapat dikendalikan. Pertanian konvensional sepenuhnya bergantung pada kondisi agroekologis. Karenanya, dinamika pertumbuhan dan perkembangan tanaman bervariasi sesuai dengan kondisi agroekologis.

Nah, pembangunan infrastruktur irigasi, dalam penerapan Prof.Tualar, dapat mengurangi ketergantungan pada alam secara signifikan dan mengurangi tingkat kegagalan setidak-tidaknya hingga 90 persen. Ketersediaan air sawah irigasi menyebabkan produksi lebih tinggi dan lebih stabil dibandingkan padi lahan kering (padi gogo).

Di tataran daya saing pertanian, IPAT-BO yang diterapkan di sejumlah daerah turut merangsang gairah pengembangan agrobisnis pangan berbasis industri pedesaan. Terutama kualitas SDM, didukung oleh Pemda setempat dan sejumlah pengusaha produk pertanian.

Di Jawa Timur dan Jawa Tengah misalnya, telah menggerak sejumlah kelompok tani membuat koperasi dan menyempurnakan koperasi yang sudah ada. Bahkan, kesadaran akan daya saing itu telah menggerak sejumlah praktisi pertanian di dua provinsi itu melebar sayap dengan membentuk assosiasi nasional. Namanya: Jaringan Pengembangan Pertanian Organik Nasional (JPPON).

"Tahun 2011, kami dari JPPON mendampingi Prof.Tualar Simarmata sebagai Ketua Dewan Penasehat JPPON ke Istana Presiden, diundang melalui Staf Khusus Presiden untuk presentasi IPAT-BO ini," ungkap Setiawan Purnomo, praktisi pertanian sekaligus Ketua Dewan Pembina JPPON.

Nah, menjembatani tiga persoalan krusial itulah Prof.Tualar Simarmata menciptakan praktik manajemen Kedaulatan Pangan. Manajemen itu ia istilahkan dengan "ABG". Yakni mensinergiskan kelompok Akademisi-Business (pengusaha)-Government.
Pada kelompok Akademisi, Prof.Tualar mendorong para petani Indonesia menguasai teknologi pangan. Misi ini telah melekat dalam labotarium bernama Sanggar Penelitian, Latihan, dan Pengembangan Pertanian (SPLPP) yang didirikan Fakultas Pertanian Unpad tahun 1980-an.

[caption id="attachment_343879" align="alignleft" width="252" caption="Prof.Tualar Simarmata bersama para TOT di SPLPP Unit Ciparay, Bandung"]

14114274031154194821
14114274031154194821
[/caption]

Terdiri dari beberapa unit, teknologi IPAT-BO dipusatkan di unit Ciparay, Bandung. Sejauh ini, sanggar unit Ciparay itu telah menerapkan sistem TOT (Training-of-Trainers). Saat teknologi IPAT-BO pertama kali diterapkan di Sumedang 2006, saat itulah para petani dididik secara langsung oleh empunya: Prof. Tualar Simarmata. "Nah, petani yang dididik itu kini telah menjadi trainer untuk melatih petani lainnya," papar Kepala SPLPP-Ciparay ini.

Para petani itu juga dibekali untuk menguasai alat dan mesin pertanian dan pengelolaan panen dan pasca panen. Bagi Prof.Tualar, hal ini merupakan keharusan untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas lahan pertanian.

Pada kelompok Business, Prof.Tualar Simarmata melalui Fakultas Pertanian Unpad mengembangkan spin-off industry dengan sejumlah pelaku industri pertanian. Inti kerjasamanya: bagaimana hasil riset pertanian menjadi industri massif di lapangan nyata.

Widagdo Gondowardoyo adalah salahsatu pengusaha yang sudah bekerjasama dengan Prof.Tualar sejak 2009. "Saya kenal Prof.Tualar dari berita di Koran Kompas 2008. Ada sejumlah penemuan teknologi pertanian. Tapi IPAT-BO yang beliau temukan itulah bagi saya yang paling pas dalam mempercepat swasembada pangan, bahkan menjadi lumbung pangan dunia," ujarnya.

CV.Bintang Asri Artauly, salahsatu mitra dalam spin-off industry tersebut. Produk perusahaan ini merupakan hasil pengembangan riset dosen pertanian Unpad yang telah terdaftar. Antara lain Bionutrisi BIO (biofertilizer), Pupuk Cair Organik (Bionutrisi), Bionutrisi Degra (decomposer), dan sebagainya.

Pengembangan spin-off industry ini jugalah yang merangsang pengembangan agrobisnis pangan berbasis pedesaan. Memberdayakan petani sebagai mitra (plasma) dalam suatu managemen atau usaha menjadi titik tekan. Misalnya berupa perkebunan pangan (food estate).

BUMD, Koperasi dan badan usaha lainnya, lanjut Prof.Tualar, berperan sebagai inti dengan fokus kegiatannya adalah industri pangan seperti tepung, pakan ternak, dan sebagainya. Termasuk memberikan bimbingan teknis pada mitranya.

Dalam hubungan inti-plasma, ia menarik garis demarkasi tegas. Yakni penguasaan lahan ada di pihak petani; bukan pihak pengusaha. Model spin-off industry inilah yang mendorong Kemenristek RI menciptakan dan menyempurnakan pelaksanaan Kampung Inovasi Masyarakat (Kimas). "Ini ihtiyar kita memaksa petani menjadi kaya," imbuh peraih Penghargaan Satyalancana Karya Satya 20 Tahun dari Presiden RI, 2007 ini.

[caption id="attachment_343880" align="alignright" width="135" caption="Prof.Tualar Simarmata mengunjungi Vietnam dalam rangka penerapan IPAT-BO di negeri itu"]

14114275671674233519
14114275671674233519
[/caption]

Pada kelompok Government, nyaris tidak ada agenda dan program strategis tanpa dukungan politik dari elit negara. Membaca keberhasilan IPAT-BO 2007-2013, JPPON menilai IPAT-BO sudah saatnya didorong untuk diterapkan secara massal-nasional.

Prof. Tualar Simarmata sendiri mengakui, pihaknya sejauh ini sudah menjalin kerjasama dengan sejumlah negara ASEAN dalam penerapan teknologi IPAT-BO ini. Antara lain dengan negara importir beras kita: Vietnam!*** [ALFI RAHMADI]

BIO DATA

Nama: Prof. Dr. Tualar Simarmata, Ir. MS
Tempat dan Tanggal lahir: Janji Maria/Samosir, 8 Agustus 1958
Jabatan Fungsional Akademik: Guru Besar Fakultas Pertanian UNPAD
Pangkat/Golongan: Pembina Utama Madya/IVD

Pendidikan
 S1 Ilmu Tanah Universitas Padjajaran (1982)
 S2 Ilmu Tanah Universitas Padjajaran (1986)
 S3 Ilmu Biologi Tanah & Lingkungan Universitas Justus Liebig-Jerman (1993)
Perolehan HAKI (Paten)
 Larutan Multinutrisi dan Penyubur Ranah (Registrasi POO201100449), 2012
 Larutan Pembenah Kemasaman Tanah atau Pembenah Kemasaman Tanah Berbentuk Cair (Registrasi POO201000483), 2012
 Konsorsium Pupuk Bio (Biofertilizers) Ekosistem Lahan Sawah (No ID POO32489), 2012
 Konsorsium Inokulan Mikroba Perombak (Dekomposer) Jerami Padi (No. ID POO323396), 2012
Penghargaan
 Tokoh Inovator Pangan (106 Inovasi Indonesia Paling Prospektif 2014) dari Business Innovation Center (BIC) & Kementerian Riset dan Teknologi RI, 2014
 Satya Karya Bakti Kelas I dari Rektor Unpad, 2011
 Satyalancana Karya Satya 20 Tahun dari Presiden RI, 2007
 Satya Karya Bakti Kelas II dari Rektor Unpad, 2003

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun