Mohon tunggu...
Alfira Fembriant
Alfira Fembriant Mohon Tunggu... Lainnya - Instagram : @Alfira_2808

Music Director and Radio Announcer STAR 105.5 FM Pandaan Pasuruan East Java (from 2012 until now) 📻

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Memaknai Resepsi Pernikahan sebagai Rasa Syukur, Pamer, atau Utang Piutang

24 Januari 2023   00:41 Diperbarui: 26 Januari 2023   01:45 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menikah (Freepik/senivpetro)

Alhamdulilah, Sah!

Lantas, selanjutnya apa? Resepsi pernikahan?

Ok, menggelar resepsi pernikahan memang hak dari semua pasangan yang telah menikah. Tapi jauh di balik resepsi pernikahan yang terlihat penuh suka cita, ada banyak kesibukan yang menguras tenaga dan air mata.

Sehingga banyak pasangan atau keluarga yang akan menggelar resepsi pernikahan menjadi sering bertengkar, karena tidak sejalannya pemikiran dan tekanan keadaan.

Menikah adalah momen yang diharapkan sekali seumur hidup, sehingga menggelar resepsi pernikahan dirasa wajib bagi mereka yang mempunyai waktu dan uang untuk menggelarnya.

Namun, jika dimaknai lebih dalam, menggelar resepsi pernikahan itu dibagi tiga, yaitu:

Pertama, Menggelar Resepsi Pernikahan sebagai Rasa Syukur

Dalam agama pun untuk menggelar resepsi pernikahan juga direkomendasikan untuk mengundang keluarga terdekat atau beberapa orang tertentu, yang sejatinya bermaksud untuk mengumumkan bahwa ada suatu pernikahan, sehingga tidak terjadi fitnah di kemudian hari.

Dalam hal ini juga direkomendasikan untuk menggelar resepsi seadanya atau semampunya, karena resepsi pernikahan itu bersifat sunnah dan bukan wajib. Sehingga meskipun tidak menggelar resepsi pun, pasangan tersebut usai akad nikah atau janji suci tetap sah di mata agama.

Kedua, Menggelar Resepsi Pernikahan sebagai Ajang Pamer (Gengsi)

Resepsi pernikahan terbilang menjadi ajang pamer ketika suatu hal itu terlalu dipaksakan untuk digelar dan mengutamakan gengsi di luar kemampuannya.

Misalnya kamu diberikan pilihan antara menggelar resepsi pernikahan di rumah atau di gedung?

Kalau mau yang apa adanya di rumah saja lebih baik, karena tidak mengeluarkan biaya yang mahal untuk sewa gedung, catering, wedding organizer, dan lain-lain.

Untuk suguhan di rumah lebih apa adanya seperti buah-buahan atau makanan khas daerah yang dibuat sendiri bersama para tetangga terdekat untuk membantu mengatur jalannya resepsi di rumah agar lancar.

Dalam hal ini rukun bertetangga memang diperlukan agar dapat saling membantu satu sama lain secara bergantian ketika ada yang repot di suatu hari.

Termasuk kelebihannya kalau menggelar resepsi di rumah tidak ada batasan waktu, jamnya bebas, dan tidak terpaut waktu untuk undangan dapat menyempatkan hadir di jam-jam tertentu.

Sementara untuk menggelar pernikahan di gedung, sebaliknya kita harus menyiapkan uang lebih, dari yang puluhan bahkan rata-rata menghabiskan uang hingga ratusan juta rupiah. Biaya tersebut paling mahal ada di sewa gedungnya yang ditentukan dari lokasi & tanggal sewa, kemudian catering, wedding organizer, dan lain-lain.

Tidak masalah dan tidak ada yang salah ketika kamu mempunyai tabungan lebih dan memang jauh hari dipersiapkan untuk menggelar resepsi pernikahan. Tapi jangan sampai dipaksakan untuk dilaksanakan resepsi di gedung hingga menunda pernikahan.

Paling diingat wejangan orangtua itu ada dua:

Pertama, kalau mau menikah itu jangan buru-buru, nanti nyesel salah pilih pasangan. Kedua, kalau udah cocok itu jangan lama-lama pacaran, menunda nikah itu gak baik.

Sementara realitanya banyak (tidak semua) anak muda menunda pernikahan bukan saja soal kesiapan batin, melainkan kesiapan materi untuk biaya menggelar resepsi pernikahan.

Ada tuntutan dari salah satu mempelai atau memang keinginan pribadi jika menikah harus di gedung membuat pernikahan itu tak kunjung direalisasikan.

Alasan tabungannya belum cukup, masih belum memenuhi, masih belum dan masih belum terus.

Lantas nikahnya kapan?

Padahal nikah itu tidak sesusah bikin baby loh. #ehh

Maksudnya kalau mau menikah itu kan keputusannya ada di kita sendiri mau nikahnya kapan untuk mewujudkannya, sementara kalau buat baby dalam hal ini termasuk susah karena keputusannya ada di Tuhan yang mau ngasih momongannya kapan.

Bahkan terkesan biaya menikah itu sangatlah murah jika kita tidak menggelar resepsi pernikahan. Karena fitrahnya pernikahan utamanya di akad nikah, sementara akad nikah pun dapat dilakukan di K.U.A terdekat tanpa harus memanggil penghulu datang ke tempat tertentu yang membuat biaya tambahan.

Di luar biaya tempat akad nikah, paling nanti juga sedikit terbeban dengan mahar/mas kawinnya saja yang tergantung mempelai wanita minta mahar apa dan berapa.

Hanya jika memang beneran sayang, mahar nikah dapat disepakati agar tidak memberatkan mempelai pria, karena setelah menikah pun nantinya uang suami juga adalah uang istri. Sehingga mahar kawin diharapkan sederhana saja, agar tidak ada penundaan pernikahan faktor mahar yang memberatkan salah satu pihak.

Namun, untuk menggelar resepsi pernikahan di rumah atau di gedung memang ada plus minusnya tersendiri. Sehingga semua keputusan dikembalikan pada kedua mempelai, maupun pihak keluarga dari keduanya.

Yang jelas menggelar resepsi pernikahan di gedung itu sangat diperbolehkan jikalau bukan faktor keinginan semata, melainkan faktor kebutuhan.

Contohnya seperti ini, rumah kamu ada dalam suatu perumahan yang lahannya sempit. Jangankan untuk menggelar resepsi, kadang buat lewat jalan mobil saja susah atau hal lainnya.

Nah, kalau kasusnya demikian, memang disarankan jika menggelar pernikahan di gedung faktor kebutuhan, karena memang lahan rumahnya sempit jika dibuat tenda-tenda kebutuhan resepsi dan lainnya.

Jadi, dalam hidup itu utamakan kebutuhan daripada keinginan, dan utamakan kemampuan daripada gengsi belaka.

Ketiga, Menggelar Resepsi Pernikahan Faktor Utang Piutang

Kamu kalau ada undangan pernikahan, ngasih amplop duit gak?

Terus amplopnya dikasih tulisan namamu juga gak, dari si A, dari si B gitu?

Ehh, ada juga loh yang menggelar resepsi pernikahan hanya karena faktor uang amplopan tersebut agar dapat dikembalikan. Serius!

Jadi sejauh ini yang saya ketahui, banyak orang yang datang ke resepsi pernikahan kemudian salaman dengan amplop berisi uang dengan jumlah tertentu, yang nantinya juga dicatat itu uang dari siapa dengan nominal berapa.

Nantinya saat mereka sendiri yang punya gawe/resepsi nikah/anaknya wajib untuk dikembalikan. Bahkan kalau bisa nominalnya lebih dari yang dulu ia memberikan isi amplopnya alias menyesuaikan kurs mata uang.

Sehingga sampai sini kita dapat menarik kesimpulan, bahwa beberapa orang (tidak semua) itu menggelar resepsi pernikahan faktor jumlah amplopan yang ia berikan saat datang ke resepsi pernikahan teman, kenalan, dan lainnya itu seperti utang piutang yang harus dikembalikan.

Karena jika kita tidak menggelar resepsi pernikahan, nantinya uang amplopan (bowo) yang selama ini kita berikan pada semua orang yang hajatan/mengundang kita untuk hadir tersebut tidak akan kembali kalau kita tidak menggelar resepsi.

Jika dimaknai lebih dalam lagi, tradisi seperti ini sama saja seperti tradisi utang piutang alias simpan pinjam, dan itu juga berbahaya untuk kelanjutan hidup karena terbeban piutang buwuan (uang amplopan hasil hajatan).

Apalagi saat kita telah habis usia (meninggal), hal paling utama diungkapkan sebelum kita dikubur adalah masalah utang piutang. Sehingga jika dimaknai lebih dalam lagi ini berbahaya karena membebani keluarga yang kita tinggalkan nanti harus mengembalikan uang (amplop) hasil hajatan/resepsi tersebut.

Utang dalam konsep amplopan resepsi ini berbeda dengan jenis kita yang utang/mencicil secara kredit untuk membeli motor/mobil/rumah.

Karena dalam hal tersebut ketika kita meninggal, kemudian keluarga yang ditinggalkan tidak kuat untuk melanjutkan mengangsur cicilan kita, otomatis barang dalam bentuk motor/mobil tersebut langsung disita/diambil oleh satu pihak (leasing) yang bersangkutan dan selesai.

Sementara jika utang piutang dalam hal amplopan hasil hajatan ini kita akan berurusan dengan banyak kepala/keluarga.

Misalnya yang datang di resepsi pernikahan kita ada 500 orang. Anggap saja sebagian dari mereka seperti 250 orang ikhlas untuk uang amplopan yang diberikan pada kita saat resepsi dulu tidak dikembalikan faktor kita yang sudah meninggal.

Lantas yang 250 orang lainnya, apakah kita menjamin bahwa mereka juga ikhlas sepenuhnya untuk uang amplopan yang diberikan pada kita saat resepsi dulu itu tidak dikembalikan?

Atau jangan banyak-banyak deh, mungkin saya perkecil lagi, sekitar 50 orang lainnya apakah ikhlas?

Jangan sampai sih roh kita setelah kematian masih bergentayangan faktor utang piutang yang masih belum lunas/ikhlas. hmmm..

Nah, maka dari itu saya pribadi juga waspada dengan hal tersebut. Karena ketika kita meninggal, salah satu hal utama adalah masalah utang piutang, sehingga saya pribadi juga dulu saat menikah tidak menggelar resepsi pernikahan, baik itu di rumah maupun di gedung (walau saya mampu).

Dulu saya menikah hanya melakukan akad nikah, itu pun di KUA, sehingga tidak ada biaya tambahan seperti memanggil penghulu ke rumah, apalagi harus ada biaya sewa gedung, mikirin catering, wedding organizer, dan lain-lain.

Bahkan kelebihan lainnya lagi, biasanya tiap pasangan yang mau menikah sering bertengkar dengan persiapan-persiapan menjelang resepsi pernikahan yang membuat kita sangat sibuk dan sepaneng (tertekan situasi dan kondisi).

Tapi saya H-1 pernikahan saja masih menjalani rutinitas seperti biasa, ya masuk kuliah, ya main gitar, ya nonton film, hehe.

Soalnya yang perlu disiapkan itu mental, bukan resepsinya.

Dan ya, saya dulu menikah saat pagi hari, kemudian sore hari saya sudah terbang ke Bali untuk bulan madu selama tiga hari di sana.

Yang seharusnya kalau saya menggelar resepsi pernikahan bisa menghabiskan dari puluhan hingga ratusan juta, tapi jika saya tidak menggelar resepsi, biaya yang saya keluarkan masih di bawah sepuluh juta.

Itu pun di bawah sepuluh juta sudah termasuk bulan madu dan lain-lain di Bali. Sehingga budget untuk resepsi pernikahan yang puluhan sampai ratusan juta tersebut usai nikah bisa dialokasikan sebagai bisnis baru atau untuk investasi masa depan dalam bentuk dibelikan tanah atau rumah baru.

Jika ada yang bilang tanpa resepsi pernikahan itu tidak berkesan, bagi saya tetap berkesan kok.

Karena yang buat berkesan itu bukan resepsinya, melainkan sudah memiliki dan menjalani kehidupan selanjutnya bersama orang yang tepat sebagai pendamping hidup sampai akhir hayat.

Sementara kalau niatnya mengadakan resepsi untuk ungkapan rasa syukur bersatunya dua insan tersebut, kita dapat memberikan kabar gembira tersebut dengan memberikan makanan minuman yang layak dan tanda bahwa ada pernikahan.

Misalnya keluarga terdekat, tetangga, teman-teman kantor, itu diberikan parcel yang berisikan tulisan syukuran atas pernikahan kalian berdua di hari tersebut.

Soalnya saya dulu juga demikian, saat saya di Bali pun waktu bulan madu itu, saya telepon orang yang jual makanan tertentu di sini. Kemudian saya pesan beberapa kotak makanan, dan saya suruh untuk mengirimkan kotak makanan tersebut ke kantor atau teman-teman saya. Itu pun juga sudah saya berikan clue kalau itu adalah bentuk syukuran atas pernikahan saya tersebut.

Sehingga dengan cara ini pun mereka semua orang terdekat dalam keseharian sudah dapat mengetahui kalau kita sudah sah atau menikah, dan tidak akan menjadi fitnah di kemudian hari kalau sudah satu atap.

Nah, tanpa resepsi pun kita juga tetap dapat mengabadikan momen pernikahan kita melalui foto studio, atau kita juga boleh kok untuk menyewa fotografer agar mengabadikan momen akad nikah tersebut untuk dipajang di album foto, dipasang di dinding rumah, hingga membagikannya lewat media sosial.

Kita juga boleh kok merias diri ke salon saat mau akad nikah, kemudian nanti bisa foto berdua bersama pasangan, bisa foto satu keluarga, dan lain-lain.

Nih contohnya, saya tidak menggelar resepsi pernikahan, tapi tetap ada dokumentasi untuk kenangan terindah dalam hidup kok.

Pernikahan saya & suami (Dokumentasi pribadi)
Pernikahan saya & suami (Dokumentasi pribadi)

**

Jadi bagaimana… Masih mau mengadakan resepsi pernikahan? hehehe

Gak papa kok kalau kamu mau mengadakan resepsi pernikahan, itu hak kamu. Yang penting sesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuanmu ya, jangan dipaksakan apalagi memberatkan.

Dan saya pun seandainya kamu undang di resepsi pernikahanmu juga bakal datang kok, tetap ngasih kamu amplopan uang juga.

Tapi tenang, saya tidak berharap kembali kok. Soalnya saya tidak mengadakan resepsi lagi. Hihihi

***

Terima kasih untuk perhatiannya. Dan mohon maaf jika ada salah kata, tidak sepaham, juga hal-hal yang tidak berkenan di hati kompasianer ya.

Salam, @Alfira_2808

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun