Sementara jika utang piutang dalam hal amplopan hasil hajatan ini kita akan berurusan dengan banyak kepala/keluarga.
Misalnya yang datang di resepsi pernikahan kita ada 500 orang. Anggap saja sebagian dari mereka seperti 250 orang ikhlas untuk uang amplopan yang diberikan pada kita saat resepsi dulu tidak dikembalikan faktor kita yang sudah meninggal.
Lantas yang 250 orang lainnya, apakah kita menjamin bahwa mereka juga ikhlas sepenuhnya untuk uang amplopan yang diberikan pada kita saat resepsi dulu itu tidak dikembalikan?
Atau jangan banyak-banyak deh, mungkin saya perkecil lagi, sekitar 50 orang lainnya apakah ikhlas?
Jangan sampai sih roh kita setelah kematian masih bergentayangan faktor utang piutang yang masih belum lunas/ikhlas. hmmm..
Nah, maka dari itu saya pribadi juga waspada dengan hal tersebut. Karena ketika kita meninggal, salah satu hal utama adalah masalah utang piutang, sehingga saya pribadi juga dulu saat menikah tidak menggelar resepsi pernikahan, baik itu di rumah maupun di gedung (walau saya mampu).
Dulu saya menikah hanya melakukan akad nikah, itu pun di KUA, sehingga tidak ada biaya tambahan seperti memanggil penghulu ke rumah, apalagi harus ada biaya sewa gedung, mikirin catering, wedding organizer, dan lain-lain.
Bahkan kelebihan lainnya lagi, biasanya tiap pasangan yang mau menikah sering bertengkar dengan persiapan-persiapan menjelang resepsi pernikahan yang membuat kita sangat sibuk dan sepaneng (tertekan situasi dan kondisi).
Tapi saya H-1 pernikahan saja masih menjalani rutinitas seperti biasa, ya masuk kuliah, ya main gitar, ya nonton film, hehe.
Soalnya yang perlu disiapkan itu mental, bukan resepsinya.
Dan ya, saya dulu menikah saat pagi hari, kemudian sore hari saya sudah terbang ke Bali untuk bulan madu selama tiga hari di sana.