Mohon tunggu...
Andin Alfigenk AnsyarullahNaim
Andin Alfigenk AnsyarullahNaim Mohon Tunggu... Administrasi - biasa saja

orang biasa saja, biasa saja,,,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melacak Jejak Andin Rama dalam Sejarah Banjar

11 Februari 2016   11:32 Diperbarui: 11 Februari 2016   11:46 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="mesjid keramat palajau , dokomentasi pribadi"]Melacak Jejak Andin Rama dalam Sejarah Banjar

(Tulisan ini Terbit di harian Radar Banjarmasin dengan tiga bagian pada tanggal 29-30 Januari 2016 dan tanggal 1 Februari 2016)

Oleh: Andin Alfianoor Ansyarullah Naim

Di Banjarmasin ada sebuah jalan yang bernama Andin-Rama. Meski jalan itu terkesan familiar tapi saya percaya banyak yang tidak tahu makna sebenarnya dari nama jalan tersebut. Sejatinya Andin adalah gelar resmi, sedangkan Rama merupakan panggilan kehormatan bagi seorang Andin.

Pada saat yang sama, kita juga mengenal gelar Nanang Galuh (aslinya Anang-Aluh), gelar yang menjadi gelar rebutan bagi pemuda dan pemudi daerah ini dalam kompetensi tahunan. Tentang gelar pasangan populer ini pun saya juga tidak ragu bahwa banyak yang tidak mengetahui jika ditelusuri sesungguhnya merupakan gelar kebangsawanan resmi dalam strata masyarakat tradisional Banjar.

Mencari jejak bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi jika jejak itu kian memudartergerus waktu. Bayangkan saja jika jejak itu ada pada sebuah jalan setapak di hamparan belukar, semakin lama semak belukar itu kian rimbun dan akhirnya menutup sepenuhnya jalan setapak tadi. Lalu apa yang tersisa?

Jika pun kemudian ada upaya menelusurinya maka tentu hasilnya jauh dari kesempurnaan. Ibaratnya ini seperti sebuah puzel yang tercerai berai. Ketika kita coba menyatukannya untuk mendapatkan gambaran utuh, tetap saja tidak pernah benar-benar sempurna. Ya, sejarah selalu seperti itu. Atau kita serahkan saja kepada para filolog, berikan mereka memandangi fuzel yang tidak utuh tersebut bak manuskrip yang berlubang dimakan ngengat waktu, lalu kita terima kebebasan mereka dalam menginterprestasikannya. Semuanya pasti tidak akan pernah memuaskan rasa haus kita dan rasa kritisnya kita.

Lantas untuk apa mencari jejak itu sebetulnya? Dunia telah berubah, tidak ada gunanya, mungkin pertanyaan itu bisa merepresentasikan pertanyaan sebagian orang banjar saat ini. Bagaimana jika pertanyaan itu juga ditanyakan oleh para Andin-Rama dan Anang-Aluh sendiri? Apa yang harus saya katakan.

Sayapun akhirnya memilih untuk tidak berspekulasi untuk memberi jawaban, melainkan berupaya semaksimal yang saya bisa. Mulai mencari, dan akhirnya, berhasil bertemu dengan beberapa orang narasumber relevan terdiri para Andin yang terserak di berbagai daerah Kalsel, hingga yang tinggal di luar pulau seperti di Sumatra bahkan di Malaysia. Kepada mereka yang tak memungkinkan kontak langsung, saya bersandar pada interaksi pada sosial media. Di samping memberikan informasi lisan, di antara mereka bahkan bersedia menyerahkan Daftar Silsilah lama berasal dari era kolonial yang tentu amat bernilai sejarah karena berupa sumber tertulis.

Dari informasi-informasi mereka ditambah keterangan dari para tetua keluarga saya sendiri, akhirnya tulisan ini coba saya susun. Semoga tulisan ini dapat memberikan sedikit pencerahan. Dapat membawa sedikit cahaya sebagai jawaban untuk banyak pertanyaan.

Asal-Usul

Andin-Rama dan Anang-Aluh merupakan gelar Kebangsawanan yang hilang secara misterius dalam masyarakat masyarakat Banjar modern. Di Nusantara ini dimana Feodalisme traditional masih sangat kuat dan berwibawa seolah bertolak belakang dengan kenyataan menghilangnya para Rama-Andin dan Anang-Aluh tersebut.

Hal ini lah yang kemudian membuat penulis merasa bahwa Sejarah Banjar sesungguhnya tidak cukup habis ditulis dalam hanya satu buku atau beberapa lembar kertas makalah.Apalagi pada sebagiannya berisi mitos dan legenda saja.

Sejarah Rama-Andin dan Anang-Aluh merupakan sebuah sejarah perjalanan sebagian masyarakat Banjar. Dua kelompok ini berperan kuat dalam masyarakat Banjar, dari awal kesultanan terbentuk hingga saat ini.

Memang Andin-Rama dan Anang-Aaluh tidaklah sepopuler gelar kebangsawanan Banjar lainnya seperti Pangeran, Gusti atau Antung, yang masih terus dipertahankan oleh banyak keturunannya secara turun temurun. Gelar Andin disebut-sebut dalam Hikayat Banjar sebagai gelar yang diberikan kepada bangsawan yang kalah perang dengan Pangeran Samudera dan diberikan wilayah di Batang Alai dan sekitarnya. Gelar Andin diberikan sebagai hukuman penurunan status karena Andin dianggap sebagai gelar bangsawan rendah. Ada lagi sebuah gelar kebangsawanan lokal di Kalua yang telah lenyap yaitu gelar Abi yang diturunkan secara turun temurun dari garis laki-laki.

Dari berbagai informasi yang berhasil dikumpulkan diketahui, gelar Anang-Aluh diberikan pada keturunan orang sepuluh dan Penguasa Banua lima atau Raja Banua lima yang beribukota di Sungai Banar dekat kota Amuntai saat ini. Sementara itu dalam Hikayat Kotawaringin juga disebut Andin merupakan gelar bagi anak-anak seorang wanita bangsawan tinggi Banjar yang dinikahi lelaki bukan bangsawan. Tradisi seperti ini masih berlaku di Martapura dan Banjarmasin hingga saat ini dengan status yang hampir sama dengan gelar Anang-Aluh dari keluarga keturunan Pangeran di Binjau Pirua Barabai. Sayangnya kedua gelar tersebut baik Andin dari Martapura maupun Anang-Aluh dari Barabai tidak dapat diturunkan kepada keturunan berikutnya.
Gelar andin juga dapat di temukan dalam Kerajaan Paser di Di Kalimantan Timur, juga sebagai gelar bangsawan Tinggi pada Kesultanan Bulungan di Provinsi Kalimantan Utara. Sementara itu di Kalimantan tengah ada keluarga yang menggunakan Andin sebagai nama keluarga.

Sejarah lisan pada banyak cabang keluarga keturunan Andin-Rama di Barabai meruncing kepada seorang utusan pengislam dari Demak pada awal berdirinya Kesultanan Banjar (1526 M) yang berpusat di desa Palajau Kecamatan Pandawan dimana keraton ibukota Kerajaan Alai sebagai tersebut di atas berada. Keraton ini menguasai watas Labuan Amas dan Batang Alai di mana berdiri Masjid Keramat Palajau yang menjadi salah satu mesjid tertua di tanah Banjar.( Penelitian Resmi Balai Arkeologi terhadap bahan bangunan mesjid Keramat Palajau dan Nisan Kuburan di sekitar Mesjid menghasil angka tahun diatas lima Ratus tahun, apakah hal ini artinya proses islamisasi lebih dulu di Hulu sungai? Tentu perlu kajian tersendiri.

Kerajaan yang dimaksud disini merupakan daerah setingkat Provinsi dibawah Kesultanan Banjar yang bersifat otonom dipimpin seorang Adipati yang kadang dipanggil juga sebagai Raja. Kekuasaannya diturunkan kepada keturunannya sendiri. Setelah penghapusan Kesultanan Banjar oleh Belanda, Kerajaan Alai dan Banua Lima otomatis juga ikut terhapus dalam makna aslinya namun masih tetap eksis sebagai sebuah teritori di bawah kekuasaan penguasa kolonial tersebut. Beberapa kerajaan lain yang sebelumnya diserahkan kepada Belanda sebelum Perang Banjar tetap berdiri hingga pertengahan abad 20 seperti Kerajaan Kotawaringin di Kalimatan Tengah. Hal serupa juga terjadi pada kerajaan-kerajaan kecil di daerah Kabupaten Kota Baru dan Kabupaten Batu Licin saat ini, seperti Kerajaan Cantung dan Bangkalaan pecahan Kerajaan Tanah Bumbu, Kusan, Kerajan Pulau Laut, termasuk Kerajaan Pagatan yang dipimpin bangsawan Bugis.

Hikayat banjar menyebutkan bahwa bangsawan yang kalah berperang dalam suksesi di awal berdirinya kesultanan Banjar diberikan gelar Andin dan diberi wilayah di Batang Alai dengan seribu orang penduduk. Hal ini seolah tidak bersesuaian dengan klaim para Andin-Rama yang mengklaim, gelar mereka itu diturunkan dari para pengislam awal utusan Demak. Namun jika diteliti lebih lanjut klaim tersebut tidak lah bertentangan mengingat pola islamisasi yang dijalankan oleh para pengislam memang banyak memasuki ranah politik, misalnya dengan menikahi putri bangsawan setempat atau malah menjadi seorang birokrat. Dari sinilah kemungkinan terjadi tumpang tindih pemahaman gelar Andin-Rama antara gelar birokrat-bangsawan dengan gelar ulama.
Menikahi Putri Bangsawan setempat merupakan cara diplomatis dan terhormat sehingga dakwah pengislaman menjadi lebih mudah. Mengadopsi gelar-gelar kebangsawanan setempat merupakan pola yang sama seperti yang dilakukan wali songo dan keturunannya dipulau Jawa seperti dengan memakai gelar Raden dan Tubagus. Sejarawan modern sepakat tentang metode ini.
Ketika Putri Betong dari Kerajaan Paser dinikahi oleh seorang Bangsawan keturunan Sunan Giri dari Giri Kedaton maka keturunannya kemudian memakai gelar Adji, sebuah gelar bangsawan lokal setempat. Mereka tidak menggunakan gelar Raden seperti kebiasaan yang dimiliki Sunan Giri dan keturunannya.

Hal yang demikian juga diperkirakan terjadi pada gelar Anang-Aluh di wilayah Daha Negara yang kemudian oleh Raja Banua lima Kiai Adipati Singasari ibukota dipindah ke Banua Sungai Banar dekat amuntai.

Orang sepuluh merupakan kumpulan sepuluh orang Pambakal dari hulu sungai yang berhasil mengalahkan serangan pemberontak dari wilayah Kesultanan Paser dalam sebuah upaya merebut kekuasaan Kesultanan Banjar di Martapura.Sebagai tanda terima kasih, sultan memberikan hadiah dengan membebaskan keturunannya dari pajak. Dipercaya bahwa salah satu dari orang sepuluh itu kemudian menjadi Adipati di hulu sungai dengan gelar Kiai Adipati Singasari.

Mengingat Andin-Rama dan Anang-Aluh merupakan gelar bangsawan rendah, para pengislam tidak mengadopsi gelar Gusti atau Antung karena gelar tersebut khusus bagi bangwasan tinggi yang memiliki darah murni Bangsawan Banjar.

Dakwah Islam dan birokrat selama masa kesultanan

Sudah tentu dakwah Islam adalah hal utama. Kontrak politik antara Pangeran Samudera dan pihak Kesultanan Demak di Jawa telah disepakati di awal mula. Maka setelah memberikan kemenangan Pangeran Samudera dalam merebut kekuasaan dilanjutkan dengan kehadiran para pengislam yang merambah keseluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Banjar yang begitu luas di pulau Kalimantan.

Seperti pengalaman mereka pasca runtuhnya Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa maka metode dakwah yang dilakukan di Kerajaan Banjar dapat diduga tidaklah akan banyak berbeda.
Saya percaya jaringan ulama antara Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa di mulai disini. Kita tidak perlu meragukan bahwa para pengislam ini merupakan orang-orang terdidik dan berwawasan luas dan penuh pengalaman.

Selain menjadi ulama, keturunan ini juga meniti karir sebagai birokrat yang mencapai puncaknya pada akhir abad ke 18.

Beberapa catatan resmi mendomentasikan tentang beberapa keturunan pengislam ini memiliki jabatan birokrat di akhir abad ke 18 dan awal abad ke 19. Sebut saja ada seorang Tumenggung yang Pernah menjadi seorang mantri Sikap Sultan di Martapura, dan keturunannya yang bernama Kiai Martapati yang menjadi penguasa Watas Labuan Amas. Kita juga mengenal baik Kiai Dipasanta yang keturunannya menjadi ulama terkenal di Martapura dan Tembilahan di Provinsi Riau.

Gelar Kiai di tanah Banjar berbeda dengan Kiai dipulau Jawa. Kiai di Kerajaan Banjar merupakan gelar birokrat. Kekuasaan terendah seorang kiai membawahi beberapa orang pembakal atau kepala kampung, tapi nasib bisa membawa mereka mempunyai pangkat lebih tinggi misal menjadi seorang tumenggung yang membawahi beberapa Kiai atau malah seorang adipati yang membawai beberapa Tumenggung. Dalam sistem feodal hirarki kekuasaan diturunkan berdasarkan pertalian darah yang ketat untuk memelihara kekuasaan keluarga. Bisa dipastikan akan sulit atau mustahil seseorang diluar jalur keluarga ini bisa menjadi seorang Kiai atau jabatan birokrat penting lainnya.

Gelar tambahan yang didapat karena sebuah jabatan juga merupakan sebuah kelaziman pada saat itu. Seseorang yang mendapatkan sebuah jabatan maka juga akan diberikan gelar seperti misal Kiai Martapati atau Kiai Dipasanta diatas bisa dinyakini adalah nama gelar belaka. Gelar tersebut terdengar sangat mirip dengan nama-nama atau gelar-gelar Jawa Mataram. Hal ini tidaklah juga mengherankan mengingat interaksi kita dengan pulau Jawa yang intens dan sangat mempengaruhi daerah Banjar. Hal lain yang mungkin bisa di perkirakan adalah masih berpengaruhnya bahasa Sansekerta seperti sebelum Islam datang.

Mungkin dari sekian banyak tokoh keturunan Anang-Aluh dalam sejarah banjar tidak ada yang seterkenal Raja Banua Lima Kiai Adipati Danureja yang bernama asli Anang Zainal Abidin. Ia merupakan salah satu tokoh penting dimasa-masa akhir Kesultanan Banjar. Kekuasaannya begitu besar dan kuat, karena daerah banua lima adalah daerah tradisional kesultanan dengan penduduk paling banyak. Ketika kesultanan di Martapura hanya dibolehkan belanda memiliki 60 orang pengawal, maka para pengawal itu diambil dari daerah ini secara bergiliran tiap beberapa bulan sekali. Kiai Adipati Danureja pun pernah sesumbar mampu menyediakan pasukan ribuan orang, sesuatu yang sulit diwujudkan oleh sultan sendiri di ibukota martapura.

Banua lima yang dimaksud disini berbeda dengan Banua lima modern saat ini, kerajaan banua lima meliputi beberapa banua/lawangan seperti Kalua, Kuripan (Amuntai), Sungai banar, Negara Daha, dan Alabio. Peninggalan yang masih bisa kita temukan di Amuntai adalah mesjid Sungai Banar sebagai bukti keberadaan Banua Sungai Banar yang Hilang. Juga nama Kampung seperti Kota Raja dan Kota Raden sebagai bekas tempat tinggal dan pusat pemerintahan Raden Adipati Danuraja. Kiai Adipati Danureja menambahkan gelar Raden ketika dia dipilih kembali kembali menjadi Regent Banua Lima setelah kesultanan dihapuskan Sepihak Oleh Belanda.

Menyusutnya wilayah kesultanan banjar akibat perang saudara dan balas jasa kepada Belanda merupakan salah satu sebab dimana wilayah Hulu Sungai menjadi harapan satu-satunya oleh sultan di Martapura sebagai wilayah agung tradisional yang tidak mungkin dilepaskan kepada Belanda. Sultan di martapura praktis hanya bertumpu kepada wilayah Hulu Sungai saja. Mau tidak mau akhirnya sultan harus berkompromi dan mendekatkan diri secara politik kepada para pemimpin di Hulu Sungai. Pada saat itu para Andin-Rama dan Anang-Aluhlah yang menjadi pemimpin daerah tersebut.

Pernikahan Sultan Sulaiman dengan salah satu putri Kiai Adipati Singasari yang bernama nyai Ratna dapat dikatakan sebagai pernikahan politik. Sultan Adam sebagai anak tertua Sultan Sulaiman lahir dari rahim Nyai Ratna. Selanjutnya menjadi tradisi dimana para bangsawan penting di Martapura selalu mengambil istri dari keluarga Anang-Aluh di Banua Lima. Sultan Adam juga menjadikan anak cucu orang sepuluh sebagai salah satu istrinya yaitu Nyai Ratu Komalasari yang merupakan bibi dari Danureja, penguasa Banua Lima menggantikan kakeknya, Kiai Adipati Singasari (ayah dari ibunya).

Intrik politik diinternal keluarga Kerajaan Banua Lima juga menjadi drama penting sebelum Perang Banjar pecah. Perselisihan antara Adipati Danureja dan Iparnya sendiri Tumenggung Jalil (yang dalam berbagai sumber disebutkan tidak berketurunan tinggi) turut mempengaruhi suasana panas di Martapura. Kiai Adipati Danureja yang pada awalnya mendukung Pangeran Hidayatullah dan Tumenggung jalil mendukung Pangeran Tamjidillah, namun setelah Perang Pecah keadaan malah terbalik. Tumenggung Jalil berbalik mendukung Hidayatullah dan Kiai Adipati Danureja malah mendukung Tamjidillah.

Selama perang berkecamuk para Andin-Rama terpecah belah dalam kekacauan, ada yang mendukung Tamjidillah dan ada yang mendukung Hidayatullah.

Setelah perang banjar

Selama dan setelah Perang Banjar, pihak Kolonial Belanda sepertinya tidak punya pilihan lain selain kembali memilih para birokrat dari kalangan Andin-Rama dan Anang-Aluh di Hulu Sungai untuk menduduki kedudukan mereka semula, mengingat tradisi politik kedua keluarga ini terlanjur tertancap kuat di sana. Lagipula, selaku kolonialis orang-orang Belanda memang amat kurang secara kuantitas untuk memerintah langsung wilayah kekuasaan begitu luas seperti di nusantara ini.

Para keturunan Anang-Aluh tetap menjadi pemimpin diwilayah kekuasaan mereka, menurunkan banyak Kiai (birokrat) diberbagai penjuru banua lima, begitu pula para Andin Rama di bekas Kerajaan Alai. Beberapa Andin kemudian ditunjuk sebagai Kiai di Negara Daha dan Banua Ampat di sungai Tapin yang keturunannya masih ada disana hingga saat ini.
Hubungan pernikahan diantara Andin Rama dan Anang-Aluh juga sering terjadi, sehingga kadang anak seorang Andin diberi gelar Anang untuk laki-laki dan Aluh untuk perempuan, atau malah sebaliknya anak seorang Anang-Aluh diberi gelar Andin. Tergantung dimana anak itu dibesarkan.

Dimasa awal kolonial di Negara Daha ada tersebut seorang tokoh bernama Andin Murad yang menjadi Kiai Besar. Salah seorang keluarganya dari Palajau yang bernama Kiai Sihabudin juga menjabat sebagai seorang kiai disana. Anak-anak dari Kiai Sihabudin menjadi ulama besar, seperti Surgi Tuan dan Datu Daha.

Di wilayah Banua Ampat di Sungai Tapin juga tersebut nama Andin Njamat yang menjabat seorang Kiai yang memimpin distrik Banua Ampat. Hipotesa saya, disinilah awal mula masuknya Andin Rama dari palajau memasuki wilayah Banua Ampat yang keturunan mereka masih dapat kita temui di Kabupaten Tapin saat ini.

Di Sungai Batang Amandit atau yang saat ini dikenal dengan Daerah Kandangan keluarga yang diperkirakan keturunan pengislam dari Jawa yang dahulu mendarat di daerah sekitar Karang Jawa dan Desa Jambu Kecamatan Padang Batung yang kemudian banyak mendominasi kekuasaan disana.

Di Banjarmasin kekuasaan diberikan kepada seorang keturunan dari keluarga besar Syekh Arsyad Al-banjari, dengan pangkat masih keponakan dari beliau, yaitu Raden Tomenggong Soeria Asoema yang menjadi Ronggo (Walikota) Banjarmasin yang beribukota di Kuin.

Hanya di Martapura dimana keturunan bangsawan tinggi dari Pangeran dan Gusti diberi kekuasaan sebagai pemimpin salah satu yang terkenal adalah Ronggo Pangeran Soeria Winata.
Terbunuhnya Sultan Muhammad Seman di Hulu Barito menjadikan kemenangan final bagi pihak Belanda yang membuat sebagian simpatisan sang sultan akhirnya banyak yang bermigrasi, kemungkinan di antaranya terdapat para Andin-Rama. Disaat itu juga ada sebuah kebijakan Belanda yang menerapkan pajak kepala dan merekontruksi sistem pemerintahan. Hak istimewa para bangsawan setempat seperti hak memungut pajak dan membaginya hasilnya dengan pemerintah kolonial dicabut dan digantikan oleh pajak kepala yang disetor langsung ke kas pemerintah kolonial, dan tanah para bangsawan biasanya sangat luas dan banyak juga disita oleh pemerintah kolonial yan g dikemudian hari dikenal dengan nama Tanah hihi (ucapan lisan untuk GG=Goernoan General). Pada akhirnya hal ini membuat perpecahan keluarga untuk sekian kalinya kembali memuncak. Banyak keluarga Andin akhirnya memilih bermigrasi keluar kalimantan seperti ke Sumatera dan Malaya. Para Andin Rama lebih banyak memilih tinggal di tanah Deli Sumatera Utara dan Batu Pahat di Kerajaan Johor Semenanjung Malaya.

Ketika politik etis diberlakukan diawal abad 20, para keturunan Andin Rama dan Anang-Aluh—sebagai konsekuensi logis dukungan mereka terhadap sistem kolonialisme--juga mendapatkan kesempatan mendapat pendidikan ala Barat dan tetap menjadi birokrat (amtenar) seperti halnya pada semua keturunan bangsawan lain diseluruh wilayah jajahan Belanda di Nusantara.
Selama paruh pertama abad ke 20, para keturunan Andin Rama dan Anang-Aluh mendominasi birokrasi pemerintahan Kolonial di kalimantan selatan. Sebagian malah ditugaskan di wilayah lain di pulau Kalimantan. Sebagai kalangan terdidik merekapun akhirnya juga tercerahkan dengan pemikiran dan wawasan baru termasuk wacana kemerdekaan Indonesia. Banyak dari mereka sekolah dan tinggal dipulau Jawa, sehinggatidak sedikit di antara mereka yang turut berperan sebagai kaum pergerakan dan menjadi pemain penting dalam masa-masa revolusi (meski dapat dipahami apabila sebagian yang lain lebih suka status qou di mana era kolonial telah memberi tempat nyaman bagi posisi politik mereka). Hebatnya, keturunan mereka juga banyak yang menjadi pemimpin daerah ini setelah masa kemerdekaan hingga era reformasi saat ini. Jika diamati dan ditelusuri, keturunan mereka bahkan juga pernah berkiprah dalam ranah birokrasi pusat, di Jakarta. Sebagian dari mereka menjadi tokoh-tokoh penting dalam berbagai bidang bukan hanya di Kalimantan Selatan bahkan nasional.

Gelar Yang Hilang

Seperti pertanyaan di awal tulisan ini, menjadi pertanyaan bersama kenapa gelar Andin-Rama dan Anang-Aluh menghilang secara tiba-tiba dari masyarakat Banjar modern? Apa yang salah dengan hal itu, ketika di wilayah lain gelar-gelar kebangsawanan seperti itu masih tetap ada dan lestari, seperti misalnya gelar Andi bagi orang Bugis Makasar, Teuku dan Teungku di Aceh dan Deli di Sumatra, Tubagus di Banten dan Cerebon, serta Raden di Jawa.

Bertolak dari paparan sebelumnya dapat kita lihat kiprah serta peran keluarga Andin-Rama dan Anang-Aluh begitu besar dalam sejarah masyarakat Banjar, terlepas pertentangan politik di dalam internal keluarga ketika Perang Banjar dan pada masa kolonial akibat politik pecah belah belanda.

Beberapa keluarga Andin-Rama mengakui dengan besar hati bahwa mereka dahulu memilih mengikuti belanda. Kemungkinan ini dilandasi tradisi keluarga ini yang selalu berkecenderungan “mengawinkan” kekuatan birokrasi dengan misi dakwah keislaman yang mereka warisi dari leluhur mereka, bahwa syiar akan lebih mudah dilakukan apabila didukung penguasa. Pada era ketika birokrasi tradisional (kesultanan) runtuh keturunan “pengislam awal” ini sepertinya tidak punya pilihan lain kecuali mengakomodir penguasa kolonial Belanda yang faktanya memang tidak memperdulikan persoalan agama penduduk pribumi. Meskipun di mata kaum pribumi yang teguh berjuang mempertahankan tradisi politik, langkah pragmatis semacam itu dipandang sebagai sebuah pengkhiatan.

Jadi, sekali lagi ini lebih pada soal pilihan politik. Hal ini juga tidak dapat kita nilai dengan hitam putih. Kita tidak akan sepenuhnya dapat memahami dinamika politik pada zaman itu dengan tepat dari kacamata saat ini. Gejolak saat itu juga bukanlah gejolak singkat namun gejolak yang panjang dalam beberapa dekade. Ikut campurnya belanda dalam memecah belah keluarga ini menandakan bahwa keluarga ini memang mempunyai peran penting dan sangat berpengaruh dimasanya.

Beberapa keluarga eksis dalam ranah birokrasi turun temurun, sementara beberapa yang lain tetap konsisten dalam ranah dakwah menjadi ulama secara turun temurun pula. Seseorang yang turun dalam politik dan birokrasi pasti memahami apa yang akan terjadi pada dirinya dan keluarganya serta keturunannya, termasuk berbagai intrik yang akan terjadi pada masa depan dalam keluarga tersebut. Dakwah islam juga harus selalu hidup, sehingga Politik dan Dakwah harus selalu hidup bersama dan berkonsolidasi untuk menuju tujuan bersama. Gerak dakwah ini, khususnya ke daerah yang lebih utara,pengislaman rakyat Kesultanan Banjar akhirnya berhasil sukses. Hepotesa ini bisa menjadi jawaban tentang bagaimana islam bisa eksis dan berkembang di Hulu Sungai sebelum keluarga syekh Arsyad Al-banjari tersebar di Hulu Sungai. Para pengislam yang merupakan leluhur para Andin-Rama dan Anang-Aluhlah yang menjadi jawabannya. Mereka tersebar bukan hanya di Hulu Sungai tapi bahkan di seluruh wilayah Kesultanan Banjar yang pernah meliputi bagian besar Pulau Kalimantan ini. Berdasarkan ini, saya berasumsi keluarga Syekh Arsyad Al-Banjari termasuk keturunan kelompok ini.

Beberapa keluarga mengatakan jika leluhur mereka menghilangkan gelar Andin karena takut ditangkap belanda akibat dari perlawanan mereka terhadap belanda. Ini bagi keluarga Andin-Rama yang memihak pejuang semasa Perang Banjar. Beberapa yang lain mengakui bahwa ada rasa malu jika memakai gelar tersebut karena kemiskinan yang melanda mereka, karena pada era kemerdekaan gelar itu telah bermakna hampa secara politis dan ekonomis seperti pada era kolonial. Sebagian yang lain menganggap hal itu sebagai gelar bawaan yang berbau mistik yang bertentangan dengan Agama yang sebaiknya dibuang saja, nah yang kelompok ini mungkin keturunan Andin-Rama dari kelompok yang konsisten berdakwah.

Menurut penulis salah satu sebab utama adalah kemungkinan Belanda melarang gelar Andin-Rama digunakan lagi hampir seratus tahun lalu. Namun jejak-jejak keluarga dari silsilah keluarga dan beberapa kebiasaan dan adat khas keturunannya yang sulit dihilangkan, maka meski jarang orang memakai gelar Andin secara resmi dinamanya namun seseorang yang diakui sebagai keturunan Andin masih dapat kita dapati dari beberapa adat kebiasaan tersebut, seperti memanjangkan Andin/kuncir bagi anak kecil mereka dan bagi anak yang baru lahir diletakkan di atas mapan kuningan sebagai pertanda seorang keturunan bangsawan.

Beberapa keluarga Andin-Rama di luar Kalimantan Selatan masih menggunakan gelar ini dalam nama resminya, seperti di Pontianak dan Landak di Kalimantan Barat, beberapa di Jakarta dan Singapura.

Hal ini berbeda dengan gelar Anang-Aluh yang masih terus digunakan hingga awal 70-an dan setelah itu menghilang dengan cepat dan hampir-hampir lenyap. Pasti saat ini sulit menemukan keturunan Anang Galuh yang memberikan gelar tersebut kepada anak cucunya. Tidak banyak gejolak dalam keluarga Anang-Aluh ini seperti dalam keluarga Andin Rama ketika terjadi ketengangan yang menghadapkanPemerintah Kolonial Belanda dengan kekuatan pribumi. Dalam hal ini, keluarga Anang-Aluh sepertinya lebih solid ketika terserap dalam birokrasi kolonial, karenanya menghilangnya gelar mereka sejak 30 tahun terakhir ini tidak dilatarbelakangi oleh beragam sebab seperti Andin-Rama.

Di tengah wacana Sejarah Nasional yang memang didominasi arus nasionalisme dan heroisme seperti yang kita pelajari dan diajarkan di sekolah-sekolah, peran kaum pribumi dalam birokrasi kolonial pada masa lalu memang dengan sendirinya menjadi terasa sebagai “aib” untuk saat ini. Mungkin karena itulah, gelar-gelar masyarakat pribumi yang menyimbolkan status ke arah sana oleh orang-orang yang sebenarnya berhak menyandangnya secara genetik secara perlahan—dan cepat?—mulai dibuang, termasuk di antaranya gelar Andin-Rama dan Anang-Aluh.

Bagi saya pribadi hal itu sangat disayangkan, karena sekali lagi politik tidak lah selalu hitam putih. Generasi tua perlu memberi gambaran sebenarnya agar generasi berikut dapat memahami segalanya. Satu titik keputusan politik orang zaman dahulu tidak lah lepas dari konteks zamannya. Kita tidak bisa menghakimi dengan cara pandang kita saat ini. Di sinilah ruang perdebatan dan pembelajaran akan menjadi ranah yang bisa didiskusikan oleh generasi muda. Jika soal terserapnya suatu gelar tradisional dalam sistem kolonialisme masa lalu yang jadi persoalan, bukankah gelar-gelar bangsawan tinggi seperti Pangeran dan Gusti juga banyak yang terserap ke sana? Faktanya tidak semua keluarga Keraton Banjar menentang dan berjuang melawan Belanda seperti Pangeran Antasari dan keturunannya. Namun demikian, toh gelar-gelar Pangeran, Gusti, Antung, tetap lestari dan disandang penuh kebanggaan oleh pemiliknya.

Andin Rama dan Anang Galuh merupakah sebuah bukti dari para keturunan pengislam di tanah Banjar. Peran mereka mewarnai sejarah masyarakat Banjar, sejarah kita, yang patut kita pelajari baik buruknya. Sebab, tanpa kita sadari, sedikit atau banyak ada kemungkinan darah mereka mengalir didalam darah kita, dan Islam yang telah dibawa nenek moyang mereka telah menjadi agama kita.

 

tulisan ini juga di publish di : alfigenk.wordpress.com pada tanggal 11 februari 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun