Sebelumnya pada tanggal 18 Agustus 1954, Jawaharlal Nehru mengirim surat yang berisi peringatan kepada perdana menteri Indonesia (Ali Sastroamidjojo). Ia mengingatkan tentang perkemangan situasi dunia itu semakin gawat, sehubungan dengan adanya usul untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika. Memang perdana menteri India dalam menerima usul itu masih disertai keraguan akan berhasil tidaknya usulan tersebut.
Tapi, setelah kunjungan perdana menteri Indonesia pada tanggal 25 September 1954, beliau yakin bahwa Konferensi Asia-Afrika memang sangat penting untuk diadakan. Hal tersebut tercermin dalam pernyataan bersama di akhir kunjungan Perdana Menteri Indonesia, yaitu :
“Para perdana menteri telah membicarakan usulan untuk mengadakan sebuah konferensi yang mewakili negara-negara Asia dan Afrika, serta menyetujui konferensi seperti ini sangat diperlukan dan akann membantu terciptanya perdamaian sekaligus pendekatan bersama ke arah masalah (yang dihadapi). Hendaknya konferensi ini diadakan selekas mungkin.”
Keyakinan serupa pun diikuti oleh Sri Lanka dan Myanmar, pada 28 September 1954.
Beberapa bulan setelah itu, pada tanggal 18 April 1955, Soekarno memimpin “Bandung Walk” pada usia 54 tahun. Di sisinya melangkah Gamal Abdul Nasser dengan tubuh menjulan, berumur 47 tahun. Tokoh tertua dalam barisan itu adalah Perdana Menteri India, Jawaharlal negara berumur 6 tahun, Zhou En Lai, berusia 57 tahun, pendiri Partai Komunis China.
Mereka semua datang dari berbagai negara yang baru mengenyam kebebasan dari para penjajah (kolonialisme) dalam sepuluh tahun. Mereka berkumpul di tengah kondisi pasca Perang Dunia yang diikuti masa Perang Dingin yang membagi peta geopolitik dunia menjadi “Blok Barat” dan “Blok Timur”.
Semua perwakilan negara anggota percaya bahwa peta geopolitik tidak harus dibagi seperti itu. Bahwa diantara Blok Barat dan Blok Timur ada kekuatan “Non-Blok”, yang kemudian dikukuhkan dalam Konferensi Tinggi setelah Konferensi Asia-Afrika.
Sebenarnya, ketika itu Indonesia belum punya gedung konferensi. Panitia bersusah payah menyulap ballroom Gedung Merdeka di jalan Asia-Afrika, yang sebelumnya bernama Gedung Concordia dan Gedung Dwi Warna (aslinya Gedung Dana Pensiun), menjadi tempat pertemuan. (Pusat Data dan Analisis Tempo, 2019: 51).
Pada tanggal 24 April 1955 pukul 09.00 WIB, para perwakilan dari negara-negara anggota mulai memasuki Gedung Merdeka. Lalu, pukul 10.20 WIB, lagu Indonesia Raya bergaung memenuhi seluruh penjuru gedung tersebut.
Dalam pidato pembukaan berjudul Let a new Asia and a new Afrika yang disampaikan oleh Presiden Soekarno, peserta konferensi berasal dari kebangsaan yang berlainan, latar belakang sosial, budaya, agama, sistem politik, dan warna kulit yang berbeda-beda, kita tetap dapat bersatu oleh pengalaman pahit yang disebabkan oleh kolonialisme, dan keinginan yang sama dalam usaha mempertahankan serta memperkokoh perdamaian dunia.