Part II
Masa Lalu
[caption caption="(Gambar: www.indonesia-heritage.net)"][/caption]Kami menemukannya tergeletak di jalan
Aku mendengar suara orang berbisik-bisik di dekatku, tapi aku tidak tahu itu siapa. Aku pun perlahan membuka mataku.
Di mana ini?
Aku melihat ke sekelilingku, tampak ranjang-ranjang putih berjajar di depanku. Aku mencium bau obat-obatan yang menyengat sekali di ruangan ini. Ini pasti di rumah sakit. Kenapa aku sampai terbaring disini?
Tapi sepertinya ada yang aneh. Penampilan-penampilan orang dan situasi di tempat ini tidak sama dengan yang kuketahui selama ini. Semua terlihat begitu kuno. Pakaian-pakaian yang orang gunakan modelnya nampak sangat jadul, TV yang ada di atas meja masih cembung dan berwarna hitam putih. Pemandangan seperti ini nampak seperti di era 80-an.
Seorang bapak berseragam cokelat-cokelat mendatangiku perlahan. Sepertinya dia polisi walaupun seragamnya nampak sedikit berbeda dengan seragam polisi yang ku kenal. Sebelum sang bapak berbicara, aku menyadari sesuatu yang ganjil. Sontak saja aku berteriak..
“KENAPA INI!”
“KENAPA TUBUHKU MENGECIL?”
Bapak polisi yang mendekatiku kemudian memandangku keheranan. Ia kemudian menenangkanku yang sedang syok berat saat mengetahui tubuhku mengecil menjadi anak seumuran 6 tahunan.
“Sudah ya Nak. Sudah.” Ia kemudian memelukku dan menenangkanku. Ia pun menyuruh suster untuk memanggil dokter agar memeriksa keadaanku.
Tak berapa lama kemudian. Seorang dokter datang, berjas putih dengan balutan kemeja bermotif kotak-kotak dan celana jeans yang casual. Betapa mengejutkan! Tak salah lagi, paras wajah itu. Paras wajah yang selalu kupandangi setiap pagi yang ada dalam foto milik ibuku.
“AYAH!?”
Semua orang yang ada di ruangan itu seketika memandang ke arah dokter muda yang baru datang itu. Dokter itu sedikit kaget dan tersenyum meringis sejenak.
“Ini anakmu, Dok?” tanya polisi.
“Bukan Pak. Bukan! Saya kan baru nikah tahun ini, dan istri saya sedang mengandung anak pertama kami sekarang.”
Polisi itu memalingkan kembali pandangannya ke arahku. Menatapku lekat-lekat.
“Benar dia ayahmu?”
Aku memandangi wajah dokter muda itu sekali lagi. Aku sangat yakin sekali dan tidak salah lagi. Aku kemudian mengangguk. Semua mata kembali tertuju kepadanya. Dokter itu hanya menggaruk-garuk kepalanya seperti terlihat kebingungan.
__________________________________________________
Seharian aku hanya sendirian. Sesekali suster menengokku untuk membawakan makanan kepadaku.
“Mana Ayah?” tanyaku kepada setiap suster yang datang. Mereka hanya tersenyum dan tidak menjawab.
Dokter muda itu tepat datang saat suster yang terakhir, datang membawakan obat. “Tuh, dicari anaknya tuh Dok! Nggak kasian napa!” kata si suster dengan nada sewot. Dokter muda itu hanya membalas dengan meringis kebingungan.
Dokter itu duduk di atas ranjangku persis di sebelahku. Ia menatapku.
“Kamu ini sebenarnya siapa?”
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku menatap matanya lekat-lekat. Aku sentuh janggutnya itu. Sudah lama aku ingin memegangnya. Sang dokter agak kegelian saat aku memegang janggutnya.
“Siapa namamu?” tanyanya lembut.
“Aswan Eka Hadinata.”
Sang dokter terdiam, seolah tidak percaya apa yang baru saja di dengarnya. Ia sepertinya kebingungan mendengar namanya tersemat pada namaku.
“Siapa… siapa?” ia berusaha memastikan kembali.
“Aswan Eka Hadinata.”
Ia menggaruk-garuk kepalanya lagi.
“Kalau nama ibumu?”
“Santika Rahmawati.”
Ia terlihat lebih terkejut lagi ketika tahu nama Ibu kusebut.
“Kamu sebenarnya siapa? Kenapa kamu tahu namaku dan nama istriku?”
“Aku anakmu, Yah!”
Aku pun kemudian menceritakan semua yang kualami. Ia nampak begitu takzim melihat anak berusia 5 tahun di depannya bisa menceritakan hal-hal seluar biasa itu. Ia mencecarku dengan berbagai pertanyaan seperti nama kakek nenek dari ayah, nama kakek nenek dari ibu, dan aku pun menjawab semuanya dengan begitu detail. Aku pun bahkan menceritakan semua kisah ibu dan ayah sewaktu mereka berpacaran, aku menceritakan pula semua kisah nenek dan kakek yang pernah diceritakan oleh ibu.
Dokter muda itu nampak begitu kebingungan dengan semua yang baru saja di dengarnya.
Ia kemudian pergi sambil berkata.
“Aku butuh waktu untuk menenangkan diri.”
“Kamu istirahat di sini dulu saja, Nak.”
______________________________________________________
Keesokan paginya, dokter muda itu baru menampakkan batang hidungnya.
“Lantas untuk apa Aswan kemari menemui Ayah?”
Pertanyaan itu langsung terucap ketika ia bertemu denganku. Sepertinya ia mulai bisa menerima kenyataan yang kukatakan kepadanya kemarin. Aku menatap matanya yang tersembunyi di balik lensa kacamata minusnya.
“Aswan tidak tahu Yah!”
“Harusnya Aswan menikah esok hari tapi kenapa Aswan bisa kemari itu juga tanda tanya besar bagi Aswan.”
Ayah tersenyum, dan lamat-lamat tertawa terbahak-bahak. Memang sangat lucu sekali ketika mendengar anak seusia 5 tahun membicarakan pernikahan.
“Iiih… Ayah, yang serius dong!”
Ia pun kemudian berhenti tertawa. “Baiklah, kalau begitu! Kita akan cari tahu sama-sama penyebabnya.”
“Sementara ini kamu tinggal bersama Ayah. Tapi jangan bicarakan hal ini kepada siapapun. Kalau ada yang bertanya tentang identitasmu siapa, kamu harus menjawab, kamu adalah keponakan Ayah. Mengerti?”
Aku pun mengangguk.
Beberapa jam kemudian Ayah datang menjemputku. Baru beberapa langkah berjalan, aku sudah merasa kecapekan. Ayah, malah selonongan saja berjalan di depanku, meninggalkan aku sendirian.
“AYAAAHH!”
“Tega banget sih jadi Ayah. Anaknya baru aja sakit dibiarin jalan sendirian.”
“Nggak peka.”
Orang-orang di sekeliling kami berusaha menahan tawa ketika mendengarnya. Ayah pun dengan malas membalikkan badannya. Ia pun kemudian membungkukkan badannya, menawarkan punggungnya untuk bisa menggendongku. Aku pun memeluknya dari belakang. Sudah lama sekali aku ingin digendong seperti ini. Tubuh ayah ternyata wangi seperti wangi bunga kesturi.
_____________________________________________________
Setelah tinggal dua hari bersama Ayah. Ternyata Ayah tidak sebaik yang kuduga selama ini. Ya… beda banget lah sama cerita Ibu. Agak tegaan juga sih orangnya. Masa anak 5 tahun seperti aku, harus menyapu kamarnya. Ayah tuh males banget bersih-bersih kamar, ketika sampai di rumah, dia pasti tiduran dan meletakkan barang-barangnya kemana-mana. Ya, kalau aku kan habis kerja pasti tahu lah tempat naruh barang di mana, masih sempet bersih-bersih rumah juga. Duh, untung kebiasaan jelek ini nggak nurun ke aku.
“Ayaaahh.., Naruh sepatunya yang bener dong!”
Ayah hanya menjawab iya pelan, tapi tidak beranjak untuk membereskannya.
Oh ya. Ibu sementara ini masih di kampung bersama kakek dan nenek karena usia kehamilannya sudah menginjak 7 bulan ke atas. Ibu berkeinginan untuk melahirkan di sana saja. Di kota ini, Ibu tidak memiliki sanak saudara, jadi agak kesusahan kalau harus melahirkan disini.
Eh, by the way, ternyata ayah orangnya kocak banget. Hampir tiap ketemu, ada saja yang diceritakan Ayah kepadaku. Tentang kenakalan-kenakalannya di kampung dulu, tentang masa-masa sekolahnya dulu, tentang bagaimana bertemu Ibu, semuanya di rangkum dan diceritakan dengan sangat kocak dan menghibur. Kadang kami berdua bermain gulat di kasur sambil pukul-pukulan bantal. Entah kenapa, aku sampai lupa bahwa aku sudah berumur 27 tahun. Mungkin karena ragaku saat ini masih berupa wujud bocah usia 5 tahunan, jadi sedikit banyak mental kekanak-kanakanku muncul kembali seperti dulu.
“Eh, Wan!”
“Mau ikut mancing nggak sama Ayah?”
Ayah yang sedang tidur-tiduran di kasur tiba-tiba mengajakku.
“Mau.. mau… mau..” jawabku kegirangan sambil memegang tangan Ayah.
“Ya udah, cepet tidur gih, Besok pagi-pagi kita berangkat.” kata Ayah sambil mengacak-acak rambutku.
“Yes.” Aku pun melompat-lompat kegirangan di atas kasur. Ayah hanya melihatku sambil tersenyum ringan.
Terima kasih, Tuhan. Telah memberiku kesempatan bertemu Ayah dan melewati masa-masa bahagia ini.
_______________________________________________________
*Rencananya part 2 ini senin 24/04/2016 baru mau ditayangkan. Tapi entah kenapa malem-malem ide muncul dan ane pengen banget nulis kelanjutannyaaa... Part 3 nya deh yang senin 24/04/2016.
Terima kaaasssiiih udah mau berkenan bacaaaa...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H