Keesokan paginya, dokter muda itu baru menampakkan batang hidungnya.
“Lantas untuk apa Aswan kemari menemui Ayah?”
Pertanyaan itu langsung terucap ketika ia bertemu denganku. Sepertinya ia mulai bisa menerima kenyataan yang kukatakan kepadanya kemarin. Aku menatap matanya yang tersembunyi di balik lensa kacamata minusnya.
“Aswan tidak tahu Yah!”
“Harusnya Aswan menikah esok hari tapi kenapa Aswan bisa kemari itu juga tanda tanya besar bagi Aswan.”
Ayah tersenyum, dan lamat-lamat tertawa terbahak-bahak. Memang sangat lucu sekali ketika mendengar anak seusia 5 tahun membicarakan pernikahan.
“Iiih… Ayah, yang serius dong!”
Ia pun kemudian berhenti tertawa. “Baiklah, kalau begitu! Kita akan cari tahu sama-sama penyebabnya.”
“Sementara ini kamu tinggal bersama Ayah. Tapi jangan bicarakan hal ini kepada siapapun. Kalau ada yang bertanya tentang identitasmu siapa, kamu harus menjawab, kamu adalah keponakan Ayah. Mengerti?”
Aku pun mengangguk.
Beberapa jam kemudian Ayah datang menjemputku. Baru beberapa langkah berjalan, aku sudah merasa kecapekan. Ayah, malah selonongan saja berjalan di depanku, meninggalkan aku sendirian.