“AYAAAHH!”
“Tega banget sih jadi Ayah. Anaknya baru aja sakit dibiarin jalan sendirian.”
“Nggak peka.”
Orang-orang di sekeliling kami berusaha menahan tawa ketika mendengarnya. Ayah pun dengan malas membalikkan badannya. Ia pun kemudian membungkukkan badannya, menawarkan punggungnya untuk bisa menggendongku. Aku pun memeluknya dari belakang. Sudah lama sekali aku ingin digendong seperti ini. Tubuh ayah ternyata wangi seperti wangi bunga kesturi.
_____________________________________________________
Setelah tinggal dua hari bersama Ayah. Ternyata Ayah tidak sebaik yang kuduga selama ini. Ya… beda banget lah sama cerita Ibu. Agak tegaan juga sih orangnya. Masa anak 5 tahun seperti aku, harus menyapu kamarnya. Ayah tuh males banget bersih-bersih kamar, ketika sampai di rumah, dia pasti tiduran dan meletakkan barang-barangnya kemana-mana. Ya, kalau aku kan habis kerja pasti tahu lah tempat naruh barang di mana, masih sempet bersih-bersih rumah juga. Duh, untung kebiasaan jelek ini nggak nurun ke aku.
“Ayaaahh.., Naruh sepatunya yang bener dong!”
Ayah hanya menjawab iya pelan, tapi tidak beranjak untuk membereskannya.
Oh ya. Ibu sementara ini masih di kampung bersama kakek dan nenek karena usia kehamilannya sudah menginjak 7 bulan ke atas. Ibu berkeinginan untuk melahirkan di sana saja. Di kota ini, Ibu tidak memiliki sanak saudara, jadi agak kesusahan kalau harus melahirkan disini.
Eh, by the way, ternyata ayah orangnya kocak banget. Hampir tiap ketemu, ada saja yang diceritakan Ayah kepadaku. Tentang kenakalan-kenakalannya di kampung dulu, tentang masa-masa sekolahnya dulu, tentang bagaimana bertemu Ibu, semuanya di rangkum dan diceritakan dengan sangat kocak dan menghibur. Kadang kami berdua bermain gulat di kasur sambil pukul-pukulan bantal. Entah kenapa, aku sampai lupa bahwa aku sudah berumur 27 tahun. Mungkin karena ragaku saat ini masih berupa wujud bocah usia 5 tahunan, jadi sedikit banyak mental kekanak-kanakanku muncul kembali seperti dulu.
“Eh, Wan!”