"Saya sebagai Fasilitator CoH CP, bersama tim Fasilitator CoH CP dari kantor pusat WVI di Jakarta dan  WVI Zonal Kalimantan Barat melakukan pendampingan terhadap 48 orang dari berbagai unsur di Ngabang," kata Slamet. Sebelumnya, kata Slamet, ia telah berdiskusi dengan beberapa tokoh adat di Ngabang antara lain Santo, Syaidina Lungkar dan Timanggong Atek. Workshop diikuti oleh perangkat adat dari 13 kecamatan, perwakilan gereja, tokoh masyarakat dan sejumlah lembaga.
WVI berkomunikasi intensif dengan Bupati untuk dapat mengeluarkan Seruan Perlindungan Anak saat momen malam Naik Dango, di mana berkumpul semua tokoh adat Dayak di Kabupaten Landak
Segera setelah mendapatkan pelatihan, Â Santo dan pengurus lainnya melakukan sosialisasi ke gereja-gereja dan masyarakat di dusun-dusun Tubang Raeng. Saat melakukan sosialisasi, ada informasi tentang kasus kasus kekerasan terhadap anak, baik dari masyarakat maupun dari beberapa media; di mana kerap penyelesaiannya secara kekeluargaan, sehingga tidak berakhir pada hukum positif.
"Perlu ada hukum adat perlindungan anak, karena selama belum tertulis dan penyelesaian kasus-kasus masih kekeluargaan,tidak membuat efek jera pelaku. Sebenarnya masyarakat lebih takut pada sanksi moral, sehingga hukum adat ini harus berpihak pada anak," tegas Santo.
Langkah Menuju PerubahanÂ
Bupati Kabupaten Landak, Karolin Margret Natasa, menyampaikan Seruan Adat Perlindungan Anak pada acara Naik Dango (syukuran pasca panen) yang disertai penandatanganan Komitmen Perlindungan Anak oleh Dewan Adat Dayak Kabupaten, 13 kecamatan, dan 3 kabupaten. Seruan tersebut bak suplemen dalam memulai perencanaan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk membuat hukum adat yang berpihak pada anak.
Santo menginisiasi tiga kali pertemuan semenjak awal Juli 2019 hingga September 2019. perdana di awal Juli 2019, yang dihadiri pesirah, pendeta, anggota PATBM, pemuda, perangkat desa,dan perwakilan masyarakat. Hasilnya adalah pembentukan tim kecil dari beberapa elemen masyarakat untuk membuat draf Hukum Adat Perlindungan Anak berfokus pada tiga kekerasan terhadap anak yakni kekerasan fisik, seksual dan  pernikahan anak, serta menyepakati sosialisasi hukum adat terkait kekerasan terhadap anak di tingkat desa.
Pertemuan terakhir dilakukan di tingkat desa, dihadiri sekitar 30 orang yang terdiri atas tokoh agama,tokoh adat, pemerintah desa, guru, aktivis PATBM, pemuda dan perwakilan masyarakat desa. Santo dan Ajun (pesirah) menyampaikan latar belakang, proses yang sudah dilakukan, dan apa yang dihasilkan. Penyampaian draf hukum adat ini sempat menimbulkan kekhawatiran para guru, karena bisa dianggap sebagai pelaku kekerasan.
Namun, disampaikan bahwa semua tindakan disiplin memang harus menghilangkan kekerasan terhadap anak. Proses pengesahan memakan waktu hampir dua bulan dari pertemuan terakhir, karena sedang proses pemilihan kepala desa. Akhirnya pada Desember 2019, Hukum Adat Perlindungan anak secara sah ditandatangani oleh Timanggung Binuah Sangku, pesirah, kepala desa, dan Ketua BPD.
Peraturan adat yang terdiri atas 11 pasal itu mengatur tentang denda yang wajib dibayarkan oleh pelaku kekerasan. Di sana secara rinci dijelaskan jenis kekerasan dan sanksi yang dibayarkan.
Misalnya pada pasal 6 terkait kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang lain dikenai sanksi adat membayar denda yang kalau ditotal sebesar Rp 45. 184.000. Dan pelaku tetap wajib diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di negara Republik Indonesia.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!