Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hukum Adat Perlindungan Anak Desa Tubang Raeng, Landak, Kalbar

9 Agustus 2022   08:32 Diperbarui: 9 Agustus 2022   08:35 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

WVI membuka pelayanan di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat sejak tahun 2011. Seperti pelayanan di wilayah lain Indonesia, WVI Area Program (AP) Landak memakai tiga pendekatan  yakni: Fokus pada anak; berbasis masyarakat dan mengedepankan spiritualitas kristiani yakni berpihak kepada mereka yang lemah dan marjinal.

Dalam perjalanan selanjutnya ditemukan banyak kasus kekerasan terhadap anak. Baik secara fisik berupa teriakan, makian, tamparan, cubitan, pukulan hingga kekerasan seksual dan perkawinan anak.

"Semua peristiwa ini terjadi di wilayah yang mayoritas penduduknya bersuku Dayak," kata Ignatius Anggoro, Area Program Manager WVI Landak periode 2018-2019.

Sementara itu pada tahun 2015 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA)  melakukan penelitian di empat provinsi yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Bengkulu, untuk mengidentifikasi praktik-praktik baik perlindungan anak yang dilakukan masyarakat,  kendala yang dihadapi serta potensi pengembangannya.

Dari hasil tersebut diperoleh informasi bahwa upaya perlindungan anak telah banyak dilakukan masyarakat, mulai dari mensosialisasikan hak-hak anak baik dalam bentuk kesenian, dialog, penerbitan media infomasi sampai mendampingi anak yang menjadi korban kekerasan.

Meskipun sudah banyak upaya perlindungan yang dilakukan, namun tuntutan perlindungan dan pencegahan tetap diperlukan. Data KPAI 2014 menunjukkan kasus kekerasan dari tahun 2011 hingga 2014 jumlahnya meningkat dari 2.178 kasus hingga 5.066 kasus.

Tindak lanjut dari penelitian di atas adalah, Kementerian PPPA menggagas sebuah strategi gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), yakni gerakan perlindungan anak yang dikelola oleh sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah (desa/kelurahan) di 34 Propinsi di Indonesia. Melalui PATBM, masyarakat diharapkan mampu mengenali, menelaah, dan mengambil inisiatif untuk mencegah dan memecahkan permasalahan kekerasan terhadap anak yang ada di lingkungan mereka sendiri.

Pemerintah Kabupaten Landak yang telah memiliki perhatian pada penghentian kekerasan terhadap anak menyambut gembira gerakan PATBM dan mulai melakukan pendampingan dan sosialisasi kepada masyarakat. Tujuannya adalah menumbuhkan inisiatif melakukan upaya pencegahan dengan membangun kesadaran masyarakat, agar terjadi perubahan pemahaman, sikap dan perilaku yang memberikan perlindungan kepada anak.

Karena bersifat terpadu, maka kegiatan perlindungan anak dilakukan dengan mensinergikan dan melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat termasuk pemerintah, dunia usaha dan LSM. Apalagi tujuan gerakan PATBM sesuai dengan pengembangan indikator Kota dan Kabupaten Layak Anak (KLA) yakni untuk menanggapi dan mencegah kekerasan pada anak di seluruh wilayah Indonesia.

Program KLA bukan hal baru bagi WVI.  Pada tingkat Pusat di Jakarta mereka telah bekerjasama dengan Kementerian PPPA. Bahkan pada semua daerah layanan WVI, salah satu program utama mereka adalah mengupayakan desa hingga kota/kabupaten layak anak. Saat program PATBM ini dicanangkan di Landak, WVI langsung ambil bagian di dalamnya.

Dari Tubang Raeng

Adalah Santo, Kepala Desa Tubang Raeng,  Kecamatan Jelimpo, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Dan Torman, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Tubang Raeng. Mereka berdua merupakan peserta dalam workshop "Percepatan Pemenuhan Akta Kelahiran" yang diadakan WVI di Landak.  Tetapi tidak hanya dalam workshop ini mereka terlibat, sebab WVI selalu menyertakan keduanya dalam berbagai kegiatan lain.

Keduanya menyepakati rencana tindak lanjut berupa pembentukan PATBM di desanya. Sebab menjabat sebagai kades, Santo menjadi ketua. Mereka minta WVI dan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Landak memberikan pembekalan berupa pelatihan-pelatihan. Mereka ingin lebih memahami tentang perlindungan anak. Keterlibatan DP3AKB sebagai fasilitator sangat membantu, sebab sebagai wakil pemerintah dinas inilah yang secara langsung menangani konsep dan teknis PATBM.

"Pak Santo sudah mendapat banyak peningkatan kapasitas dan  pelatihan terkait Perlindungan dan Hak Anak.  Lahir kesadaran dalam dirinya agar anak-anak dapat terlindungi dari kekerasan dengan melibatkan pihak-pihak yang memiliki peran penting  di masyarakat seperti lembaga adat.  Dalam masyarakat Dayak,  banyak kasus diselesaikan secara adat. Kami mendiskusikan isu ini untuk dibawa ke perangkat Adat Dayak dan beberapa tokoh masyarakat," kata Patar Rumolo Purba, AP Manager WVI Landak 2021.

Staf WVI berbagi tugas. Ada yang terus mendampingi di lapangan. Ada pula yang melakukan pendekatan terhadap pemerintah di tingkat kabupaten. Sebab bagaimana pun, tujuan baik ini perlu sokongan banyak pihak. Apalagi gerakan Santo dan Torman semakin mantap. Mereka sudah membicarakan dengan warga untuk melahirkan Peraturan Adat Perlindungan Anak.

Sekitar bulan November 2018, Ignatius Anggoro manager WVI Landak ketika itu mengajak Rista Matondang, Koordinator Pelayanan Anak WVI AP Landak, bertukar pikiran dengan Bupati Landak, dr. Karolin Margret Natasa mengenai penanganan kekerasan anak di Kabupaten Landak. Sebagai pimpinan di Kabupaten Landak, Karolin tahu betul kondisi di wilayahnya. Termasuk masih tingginya angka kekerasan terhadap anak.

Kesimpulan dari pertemuan itu seperti diceritakan Anggoro kepada saya adalah:

"Bupati bertanya kepada kami, apakah WVI bisa membantu dengan pendekatan adat?"

"Saya melihat ada peluang sangat baik untuk bisa melakukan pendekatan tersebut dengan lebih fokus. Saat itu, saya langsung sampaikan kesiapan kami untuk membantu Pemda melalui pendekatan adat," kata Anggoro.

Bukan perkara mudah. Sebab penanganan kekerasan terhadap anak dan perempuan dengan pendekatan adat belum pernah dilakukan. Tetapi WVI pernah mendampingi masyarakat di Kabupaten Alor, NTT, dalam upaya melakukan penyederhanaan adat dan belis untuk mas kawin. Dan berhasil!

Anggoro meminta kesediaan Bupati agar mempertemukan WVI dengan Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Landak, Heri Saman. Pas juga Heri adalah Ketua DPRD Kabupaten Landak ketika itu.

Kepada ketua DAD, WVI menyampaikan keinginan warga Tubang Raeng menghentikan setiap kekerasan terhadap anak dengan membuat peraturan adat. WVI juga menyampaikan hasil diskusi dengan bupati dan WVI soal kekerasan terhadap anak ditangani dengan Adat Dayak.

Ketua DAD kata Anggoro menganggukkan kepala tanda setuju. Ia mendukung inisiatif warga Tubang Raeng menginisiasi Peraturan Adat Perlindungan Anak.

Ketika itu Heri mengatakan, "DPRD  Landak juga sudah berencana membuat Peraturan Daerah Peradilan Adat. Jadi WVI dengan legislatif sudah sinkron jalannya," seperti ditirukan Anggoro.

WVI percaya,  hukum adat efektif mengurangi atau bahkan menghapus kekerasan terhadap anak, sebab mengatur hubungan sosial dan perilaku masyarakat di dalamnya. Demikian pula dengan masyarakat Dayak. Hukum adat sangat ketat mengatur kehidupan mereka.


"Masyarakat lebih takut terkena hukuman adat ketimbang hukum negara. Karena hukum adat akan menjadi cap buruk dalam waktu lama bagi orang yang mendapatkannya," kata Anggoro.

Gayung Bersambut

Sesuai permintaan Santo dan pengurus lainnya, WVI melakukan pendampingan terhadap mereka. WVI juga melakukan koordinasi dengan banyak pemangku kepentingan. Setelah bupati dan ketua DPRD, WVI menemui tokoh agama Katolik dan Protestan serta DAD pada tingkat kecamatan.

Gayung bersambut. Para tokoh gereja juga merasakan hal yang sama. Dalam pelayanannya, mereka kerap menemukan hal yang timpang. Terutama masih maraknya kekerasan terhadap anak, yang entah disadari atau tidak disadari, telah menjadi hal lumrah dalam masyarakat.

Pastor Kepala di Paroki Salib Suci Ngabang tahun 2019 ketika program ini dijalankan, Pater Barnabas Meriko, OFM.Cap., mengatakan bahwa praktik adat Dayak seringkali bersinggungan dengan Gereja Katolik, sebab mayoritas warga Dayak yang menempati Kabupaten Landak menganut Katolik.

"Seperti perkawinan anak. Gereja tidak bisa memberkati pasangan yang masih berusia anak. Tapi begitu ke adat, perkawinannya bisa disahkan oleh mereka," kata Pastor Meriko. Sebab itu Meriko antusias menyambut program WVI yang akan menyasar Peraturan Adat Perlindungan Anak. Ia berharap semua pihak memegang  komitmen adat untuk melindungi anak-anak dari kekerasan dan pernikahan dini.

WVI AP Landak merancang workshop Saluran Harapan Perlindungan Anak (Channel of Hope Child Protection-CoH CP) yang melibatkan tokoh masyarakat, agama, pemuka adat seperti Timanggong, Pesirah, Pangaraga, Dewan Adat Dayak dan Pemerintah. Fasilitator WVI, Slamet Kusharyadi,  yang memiliki pengalaman panjang dalam revitalisasi  budaya di kawasan NTT dipanggil untuk memberikan pendampingan.  

"Saya sebagai Fasilitator CoH CP, bersama tim Fasilitator CoH CP dari kantor pusat WVI di Jakarta dan  WVI Zonal Kalimantan Barat melakukan pendampingan terhadap 48 orang dari berbagai unsur di Ngabang," kata Slamet. Sebelumnya, kata Slamet, ia telah berdiskusi dengan beberapa tokoh adat di Ngabang antara lain Santo, Syaidina Lungkar dan Timanggong Atek. Workshop diikuti oleh perangkat adat dari 13 kecamatan, perwakilan gereja, tokoh masyarakat dan sejumlah lembaga.

WVI berkomunikasi intensif dengan Bupati untuk dapat mengeluarkan Seruan Perlindungan Anak saat momen malam Naik Dango, di mana berkumpul semua tokoh adat Dayak di Kabupaten Landak

Segera setelah mendapatkan pelatihan,  Santo dan pengurus lainnya melakukan sosialisasi ke gereja-gereja dan masyarakat di dusun-dusun Tubang Raeng. Saat melakukan sosialisasi, ada informasi tentang kasus kasus kekerasan terhadap anak, baik dari masyarakat maupun dari beberapa media; di mana kerap penyelesaiannya secara kekeluargaan, sehingga tidak berakhir pada hukum positif.

"Perlu ada hukum adat perlindungan anak, karena selama belum tertulis dan penyelesaian kasus-kasus masih kekeluargaan,tidak membuat efek jera pelaku. Sebenarnya masyarakat lebih takut pada sanksi moral, sehingga hukum adat ini harus berpihak pada anak," tegas Santo.

Langkah Menuju Perubahan 

Bupati Kabupaten Landak, Karolin Margret Natasa, menyampaikan Seruan Adat Perlindungan Anak pada acara Naik Dango (syukuran pasca panen) yang disertai penandatanganan Komitmen Perlindungan Anak oleh Dewan Adat Dayak Kabupaten, 13 kecamatan, dan 3 kabupaten. Seruan tersebut bak suplemen dalam memulai perencanaan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk membuat hukum adat yang berpihak pada anak.

Santo menginisiasi tiga kali pertemuan semenjak awal Juli 2019 hingga September 2019. perdana di awal Juli 2019, yang dihadiri pesirah, pendeta, anggota PATBM, pemuda, perangkat desa,dan perwakilan masyarakat. Hasilnya adalah pembentukan tim kecil dari beberapa elemen masyarakat untuk membuat draf Hukum Adat Perlindungan Anak berfokus pada tiga kekerasan terhadap anak yakni kekerasan fisik, seksual dan  pernikahan anak, serta menyepakati sosialisasi hukum adat terkait kekerasan terhadap anak di tingkat desa.

Pertemuan terakhir dilakukan di tingkat desa, dihadiri sekitar 30 orang yang terdiri atas tokoh agama,tokoh adat, pemerintah desa, guru, aktivis PATBM, pemuda dan perwakilan masyarakat desa. Santo dan Ajun (pesirah) menyampaikan latar belakang, proses yang sudah dilakukan, dan apa yang dihasilkan. Penyampaian draf hukum adat ini sempat menimbulkan kekhawatiran para guru, karena bisa dianggap sebagai pelaku kekerasan.

Namun, disampaikan bahwa semua tindakan disiplin memang harus menghilangkan kekerasan terhadap anak. Proses pengesahan memakan waktu hampir dua bulan dari pertemuan terakhir, karena sedang proses pemilihan kepala desa. Akhirnya pada Desember 2019, Hukum Adat Perlindungan anak secara sah ditandatangani oleh Timanggung Binuah Sangku, pesirah, kepala desa, dan Ketua BPD.

Peraturan adat yang terdiri atas 11 pasal itu mengatur tentang denda yang wajib dibayarkan oleh pelaku kekerasan. Di sana secara rinci dijelaskan jenis kekerasan dan sanksi yang dibayarkan.

Misalnya pada pasal 6 terkait kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang lain dikenai sanksi adat membayar denda yang kalau ditotal sebesar Rp 45. 184.000. Dan pelaku tetap wajib diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di negara Republik Indonesia. 

Pengurus adat yang mengeluarkan ijin perkawinan anak di bawah usia 18 tahun dikenai sanksi membayar Rp 2,5 juta dan diproses secara hukum positif.  

Kekerasan seksual oleh orang tua dan keluarga dekat juga diatur dengan ketat. 

"Hukum adat tidak menghilangkan hukum positif. Tapi berjalan bersama. Dulu hanya sebatas keluarga atau orang tua yang menangani jika terjadi masalah kekerasan terhadap anak. Sekarang masyarakat sadar bahwa ini persoalan bersama, termasuk pesirah adat. Kami senang perubahan ini terjadi," ujar Santo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun