Mohon tunggu...
Alexander Ginting
Alexander Ginting Mohon Tunggu... -

penikmat warta (berkunjung juga ya, ke blog saya : www.solusiinspirasi.wordpress.com)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hati Yang Menepi

31 Agustus 2011   06:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:20 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua hari menjelang lebaran, kampung tampak mulai ramai oleh orang-orang mudik. Ada canda ria, berbagi cerita, maupun tangis rindu menghias ragam rasa tanah berjejak.Kampung pun berdendang melipat sepi, merona lentera rembulan dan bintang-bintang. Hati tertaut bahagia dalam Idul Fitri.

Di sudut kampung, pada sebuah rumah tua berkerut pohon terbaring, menepi sendiri perempuan senja dengan lesu wajah. Rumahnya tak ada mudik. Dan dari dapur mengepul asap ubi rebus dan beras catu. Gerakan tubuhnya lemah, seolah patah tulang putus urat. Ia pun menanti nyanyian burung gagak menancap kuku pada dahan lapuk.

Mendengar suara ramai di luar rumah, menggiringnya untuk mengenang pada masa halaman kampung sunyi. Kampung yang dulu hanya beberapa keluarga menancap patok tanda batas wilayah. Rumah-rumah masih terhitung dengan jemari. Tak ada knalpot menderu, asapnya mengepul menendang-nendang lubang hidung. Kokokan ayam pun masih jarang memecah senyap. Dan, hanya lentera bambu menerangi kegelapan malam.

Dulu, ia memegang peran penting dalam pertumbuhan penduduk di kampung itu, sama rasa orang-orang berpandang pada pengetua adat atau kepala kampung. Apalagi, para istri mengandung akan  merasa resah setengah mati, bila tak ada dukun bayi di kampung. Bila, mendadak melahirkan tak tahu ke mana harus mencari pertolongan. Takutlah mati ibu dan anak dalam rahim.

Banyak juga ucapan terimakasih seperti parcel datang ke rumahnya. Ada masakan rendang lembu, ayam, buah-buahan atau sayur-sayuran. Melimpah. Tak jarang juga berbagi kepada sebelah rumah.

Dukun bayi itu tak pernah gagal membuat istri-istri melahirkan. Pepatah : sepandai-pandainya tupai melompat, sesekali pasti jatuh jua, taklah berlaku padanya. Dengan cekatan, lengan dan jemarinya yang lembut meneriakkan garing tangis bayi untuk pertama sekali merasakan alam dunia. Dan bayi melepas tangis yang meliuk-liuk bertikung dan lurus menelusuri ruang kampung, seolah tangis bahagia dipisahkan dari rahim ibunya. Bayi itu pun tersenyum padanya, mengucapkan terimakasih.

Namun, banyak juga membungkuk dengan seribu kata memohon pada dukun bayi, Bu Sadariah. Ada saja yang tidak mengkehendaki kelahiran bayinya. Tapi, dengan seribu alasan apa pun mencuri iba hati, Bu Sadariah tetap teguh dalam pendirian; berpantang angin mengguncang-guncang dan menelan ludah sendiri. Ia akan berancak-ancak pinggang, merah muka menyuruh pergi orang yang ingin menggugurkan bayinya dalam kandungan.

“Saya bukan pembunuh,” kata Bu Sadariah.

Sejak bidan masuk, dan kepala kampung mendirikan klinik desa, peran Bu Sadariah sebagai dukun bayi perlahan-lahan merosot. Lentera beranda kampung mulai meredup. Orang-orang di kampung itu, satu persatu meninggalkannya, sejalan dengan semakin gencarnya penyuluhan pembangunan desa dari pihak kecamatan. Pemikiran tradisionil masyarakat mulai berkembang ke medis.

Di klinik desa mereka mendapatkan alat kontrasepsi gratis.Baik dalam bentuk kondom maupun pil. Masyarakat Sidodadi pun sudah mengenal keluarga berencana. Mitos, banyak anak banyak rejeki mulai mereka tinggalkan. Orang-orang di kampung itu kini hanya memiliki anak paling banyak lima orang. Tidak lagi seperti dulu, sampai dengan dua belas orang.

Hati berperih luka, kembali datang, sejak suaminya meninggal dua tahu lalu. Ia sangat terpukul. Hidupnya tercengung dalam remang yang menepi. Hati kemarau, sepi. Tak ada nyanyian burung-burung. Bunga-bunga merunduk. Pucuk-pucuk hati melambai merebah, tangan memeluk bumi. Hanya sisa-sisa dalam pundi, menguatkan kakinya melangkah.

Di dalam rumah itu, ia hanya tinggal sendiri. Tak ada anak dan famili dalam berteduh. Keluh nafas mendesah tak henti menunggu hari. Hanya ada asa, pantang terkapar melangkahi kuasaNya. Bu Sadariah, tampaknya menanti rembulan menjaring jejak. Hanya bibir kuncup dan melengkung dengan senyum lirih, ia menatap jalan di depannya.

Dari ruangan depan, ada suara memanggil-manggilnya. Suara itu lembut berayun-ayun.

“Nek..Nenek…!”

Dengan tertatih-tatih, Bu Sadariah melangkahkan kakinya mendekati suara itu. Ia melihat seorang perempuan muda bersama seorang anak kecil yang menunjukkan rumah Bu Sadariah. Lalu, anak itu pergi meninggalkan mereka. Perempuan muda itu tampak melepas senyum. Manis sekali.

“Boleh saya masuk, Nek ?”

Bu Sadariah hanya mengangguk. Anggukannya tampak lemah. Leher, seolah tak kuat lagi menopang kepala dan rambut yang panjang beruban. Matanya pun tak tajam seperti dulu yang penuh percaya diri.

“Maaf, Nek. Saya mengganggu.”

“Tidak. Tidak apa-apa.”

Perempuan muda itu kembali terlihat tersenyum, sambil mengulurkan tangannya.

“Nama saya Leila, Nek.”

“Kamu bidan desa itu, ya ?”

“Bukan, Nek. Tapi, saya memang dokter. Boleh saya masuk, Nek ?”

“Oh, ya. Silahkan. Masuklah.”

Mereka pun melangkahkan kaki, dan duduk di kursi bambu yang tampak berdebu. Leila tidak mengelap kursi bambu itu. Ia langsung saja duduk. Tidak baik dilihat Bu Sadariah takut pakaian kotor, karena debu di kursi bambunya.

“Maaf, Nak. Rumah ini kotor sekali. Sebentar ya, saya ambilkan dulu kain lap.”

“Tidak usah, Nek.”

“Nanti pakaian kamu yang cantik itu kotor, karena debu-debu di kursi nenek.”

“Tidak, Nek. Tidak apa-apa,” kata Leila sambil melemparkan senyumnya.

Sejenak mereka pun tampak membisu. Bola mata Leila menggelinding memandangi ruangan rumah Bu Sadariah. Kecut juga hatinya. Sarang laba-laba tampak bergantungan di sudut dinding-dinding. Debu pun menempel merubah warna dan suasana rumah itu.

“Kamu datang mau menggugurkan, ya ?” kata Bu Sadariah membuyarkan lamunan Leila.

Leila tersenyum.

“Maaf, Nak. Dari dulu saya tidak mau dengan pekerjaan itu, “ kata Bu Sadariah lagi.

“Nek, saya ke sini atas saran ibu saya.”

“Ibu kamu siapa ?”

Leila beranjak dari duduknya. Ia melangkahkan kakinya mendekati Bu Sadariah, dan duduk di sampingnya. Ia tampak akrab dengan Bu Sadariah.

“Ibu saya Nuraini, Nek.”

Mendengar nama itu, Bu Sadariah mencoba mengingat-ngingatnya. Sedalam ingatannya menelusuri waktu bergulir berlalu, ia tetap saja tak mengingatnya. Dahinya mengerut. Akhirnya, ia mengalah.

“Saya tak ingat nama itu, Nak.”

“Kalau dengan Pak Nurdin ?”

“Nurdin yang rumahnya di samping kantor kepala kampung ?”

Leila mengangguk.

“Nurdin yang anak perempuannya dulu mau menggugurkan janinnya ?”

Leila mengangguk lagi, dan tersenyum.

“Kamu apanya ?”

“Nek, sayalah janin yang mau digugurkan ibu.”

Mendengar itu, Bu Sadariah terkejut. Ia seakan tak percaya. Sekilas peristiwa itu melintas di matanya. Ia pun tak henti-hentinya memandangi wajah Leila.

“Kalau dulu nenek tidak menolak permintaan ibu, saya tidak akan hidup, Nek,” kata Leila lagi.

Wajah Bu Sadariah pun, sekejap tampak merona bangga. Jiwanya menjadi mekar. Ada embun di kuncup bunga hatinya. Ia ingin menangis, karena sudah lama tak pernah dikunjungi oleh seseorang. Batinnya melambung tak mampu menahan luapan kesepiannya. Matanya mulai terlihat berkaca-kaca.

Sepi menekan jiwanya yang merapat senja.Hitamnya malam menyelimuti tubuhnya yang semakin dingin. Tak ada kunang-kunang menari, karena rintik hujan. Tak ada alunan garing jangkrik memecah kesunyian. Kerabat jauh melambaikan tangan. Tambatan hati telah mengepakkan sayapnya ke taman teduh, jauh berada.

Rembulan itu menyelinap hatinya, membangunkannya dari pembaringan berkasur lembab. Mengajaknya berbicara, dan membuka kenangan yang memekarkan pucuk-pucuk bunga di taman hati. Terang bulan menembus dinding-dinding papan rumahnya. Membekas bayang-bayang lama.

“Saya ingat, ketika Nurdin memaksa ibumu untuk menggugurkan janinnya, kurang lebih dua puluh tujuh tahun lalu. Kakekmu tidak setuju dengan hubungan Nuraini bersama Arman, pacarnya. Usia ayah dan ibumu, ketika itu masih enam belas tahun.”

Leila tampak tertekun mendengar cerita Bu Sadariah.

“Tapi, saya melarangnya. Dan ibumu kawin lari. Sampai sekarang orang kampung tak tahu keberadaan mereka."

Bu Sadariah menjelaskannya dengan semangat. Sudah lama ia merapat bibir, lesu lidah melontarkan kata. Kata-katanya melipat kelu, mengalirkan riak air bening ke hilir hatinya. Pintu dan jendela terbuka membawa angin memenuhi ruangan yang sembab.

Cerita Bu Sadariah sama dengan yang didengarnya dari ibunya, tentang kisah perjalanan cinta yang terlarang, sehingga harus meninggalkan kampung. Dengan terseok-seok, pantang menyerah, malu mundur, Nuraini bersama suaminya merayap cecak di dinding melewati getirnya kehidupan, hingga bebatuan membuat kaki keras bertapak.

Untuk memperbaiki cinta terlarang ibu dan ayahnya inilah, Leila mudik ke Desa Sidodadi. Ia ingin bersilahturahmi dengan keluarga ayah dan ibunya yang satu kampung. Meminta maaf atas kesalahan ayah dan ibunya selama ini.

Sebenarnya, ibunya tak mengijinkan Leila mudik, karena ia sudah merasa tak punya sanak saudara lagi di kampung halaman. Kisah cintanya dengan Arman yang membuatnya mendayung sampan ke tengah lautan menghantarnya terkucil dan terusir.Sampai lebaran ini, ia merasa lebih baik tak dikenang oleh siapa pun. Orang-orang akan menertawai perahunya oleng oleh nahkoda tak pandai memutar kemudi layar. Sampai terkapar pada karang.

Tak elok mengeras hati, rasa beku cair oleh kasih, Leila menggugah ibunya. Ia tetap punya hati untuk melepas rindu akan keluarga di kampung halaman. Hanya ibunya berpesan, terlebih dahulu bertemu dengan Bu Sadariah. Bercakap-cakap bersama Bu Sadariah mencari petunjuk menyiapkan langkah kaki bertemu dengan sanak saudara, agar enak hati berpulang ke kota.

***

Hari ketiga Lebaran, rumah Bu Sadariah sudah tampak bersih. Tak ada sarang laba-laba yang menggantung, mengejek. Kursi bambunya pun tak berdebu seperti hari kemarin. Ruangan rumah itu tak lagi terhimpit hidung menarik nafas. Dada terasa lapang jauh dari sesak. Langit-langit dan lantai rumah elok dipandang, mata berbinar. Kemarin, Leila bersama anak-anak paman dan bibinya bergotong royong membersihkan rumah Bu Sadariah.

“Ya, Allah. Masih ada yang peduli padaku,” bisik Bu Sadariah sambil menahan air matanya. Hatinya terharu.

Sebelum Leila kembali ke Jakarta, ia membuat acara makan bersama di rumah Bu Sadariah. Bu Sadariah pun menyambut baik hal ini. Sanak saudara dari ayah dan ibunya diundang. Dan mereka pun menyembelih seekor kambing. Kini, dapur rumah Bu sadariah tercium masakan rendang kambing.

Keluarga besar itu pun tampak damai dan bahagia. Ada senyum, canda dan tawa. Air mata rindu berpulang saudara melukis langit berlentera rembulan yang diapit bintang-bintang berkerlap-kerlip di beranda hati.

Lalu, paman Leila mendekatinya.

“Sebelum kakekmu meninggal, ia selalu memanggil-manggil Nuraini. Ayah menyesal telah mengusir ibumu dari kampung. Berulang kali ia mencari ibumu, tapi tak pernah membuahkan hasil,” lirih Kharta, paman Leila.

Lalu, rindu itu pun meletup, melepas seribu kata melalui handphone Leila yang terhubung dengan ibunya di Jakarta. Isak tangis melontar, berkelebat menembus dinding-dinding, pepohonan, dedaunan dan melewati tebing-tebing. Bertahun-tahun hilang, sesal, dan asa, mohon bermaaf-maafan dalam Idul Fitri ini. Lengkung langit kampung merona pelangi, merintik haru.

***

Dua tahun waktu sudah berlalu. Waktu melipat tahunnya. Sudah dua tahun, Bu Sadariah tinggal bersama keluarga Leila. Leila sudah menganggap Bu Sadariah sebagai neneknya sendiri. Dan selama tinggal di Jakarta, tampaknya Bu Sadariah semakin segar. Sepi mengkerut tak tampak lagi di wajahnya, yang membuat letih mengiris tubuhnya. Nuraini adalah temannya yang selalu berbagi cerita, seolah ibu dengan anaknya.

Tak terduga, air ketuban Leila pecah. Ia mau melahirkan. Tak sempat dibawa ke rumah sakit. Suami Leila pun tampak resah. Ia meragukan akan keselamatan istri dan anaknya. Berulangkali mertuanya, Nuraini, meneguhkan hatinya. Tapi, tetap saja kakinya berputar-putar, mondar-mandir seperempat gasing di depan pintu kamar. Rasanya konyol dengan pemikiran dan keputusan Leila, menyerahkan persalinannya kepada Bu Sadariah yang sudah berumur kurang lebih tujuh puluh satu tahun, mantan dukun bayi kampung itu.

Lalu, dari kamar terdengar tangis bayi melengking. Garing. Tangisnya menyentak hati. Mendengar tangis itu, suami Leila segera menerobos pintu. Masuk ke dalam kamar. Ia melihat bayi laki-laki mungil, sehat terpancar mentari, berbaring manja di kedua lengan Bu Sadariah.

“Oh… terimakasih, Nek,” kata Andre, suami Leila, sambil mencium kening Bu Sadariah.

Bu Sadariah tersenyum. Matanya memancar jernih dengan senjanya tak berkedip memandang Leila yang masih lemah terbaring. Kedua bola mata mereka bergandengan membelai bayi yang ingin melihat dunia dari tangan lembut dan hati yang bening. Senja melipat gerahnya siang, rembulan membentang selendang dalam tarian gurun berdanau putih. Nyanyian senja membaringkan embun dalam dedaunan hijau bertangkai kasih.

Medan, awal September 2011


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun