Mohon tunggu...
Alexander Ginting
Alexander Ginting Mohon Tunggu... -

penikmat warta (berkunjung juga ya, ke blog saya : www.solusiinspirasi.wordpress.com)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hati Yang Menepi

31 Agustus 2011   06:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:20 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kamu apanya ?”

“Nek, sayalah janin yang mau digugurkan ibu.”

Mendengar itu, Bu Sadariah terkejut. Ia seakan tak percaya. Sekilas peristiwa itu melintas di matanya. Ia pun tak henti-hentinya memandangi wajah Leila.

“Kalau dulu nenek tidak menolak permintaan ibu, saya tidak akan hidup, Nek,” kata Leila lagi.

Wajah Bu Sadariah pun, sekejap tampak merona bangga. Jiwanya menjadi mekar. Ada embun di kuncup bunga hatinya. Ia ingin menangis, karena sudah lama tak pernah dikunjungi oleh seseorang. Batinnya melambung tak mampu menahan luapan kesepiannya. Matanya mulai terlihat berkaca-kaca.

Sepi menekan jiwanya yang merapat senja.Hitamnya malam menyelimuti tubuhnya yang semakin dingin. Tak ada kunang-kunang menari, karena rintik hujan. Tak ada alunan garing jangkrik memecah kesunyian. Kerabat jauh melambaikan tangan. Tambatan hati telah mengepakkan sayapnya ke taman teduh, jauh berada.

Rembulan itu menyelinap hatinya, membangunkannya dari pembaringan berkasur lembab. Mengajaknya berbicara, dan membuka kenangan yang memekarkan pucuk-pucuk bunga di taman hati. Terang bulan menembus dinding-dinding papan rumahnya. Membekas bayang-bayang lama.

“Saya ingat, ketika Nurdin memaksa ibumu untuk menggugurkan janinnya, kurang lebih dua puluh tujuh tahun lalu. Kakekmu tidak setuju dengan hubungan Nuraini bersama Arman, pacarnya. Usia ayah dan ibumu, ketika itu masih enam belas tahun.”

Leila tampak tertekun mendengar cerita Bu Sadariah.

“Tapi, saya melarangnya. Dan ibumu kawin lari. Sampai sekarang orang kampung tak tahu keberadaan mereka."

Bu Sadariah menjelaskannya dengan semangat. Sudah lama ia merapat bibir, lesu lidah melontarkan kata. Kata-katanya melipat kelu, mengalirkan riak air bening ke hilir hatinya. Pintu dan jendela terbuka membawa angin memenuhi ruangan yang sembab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun