“Kamu apanya ?”
“Nek, sayalah janin yang mau digugurkan ibu.”
Mendengar itu, Bu Sadariah terkejut. Ia seakan tak percaya. Sekilas peristiwa itu melintas di matanya. Ia pun tak henti-hentinya memandangi wajah Leila.
“Kalau dulu nenek tidak menolak permintaan ibu, saya tidak akan hidup, Nek,” kata Leila lagi.
Wajah Bu Sadariah pun, sekejap tampak merona bangga. Jiwanya menjadi mekar. Ada embun di kuncup bunga hatinya. Ia ingin menangis, karena sudah lama tak pernah dikunjungi oleh seseorang. Batinnya melambung tak mampu menahan luapan kesepiannya. Matanya mulai terlihat berkaca-kaca.
Sepi menekan jiwanya yang merapat senja.Hitamnya malam menyelimuti tubuhnya yang semakin dingin. Tak ada kunang-kunang menari, karena rintik hujan. Tak ada alunan garing jangkrik memecah kesunyian. Kerabat jauh melambaikan tangan. Tambatan hati telah mengepakkan sayapnya ke taman teduh, jauh berada.
Rembulan itu menyelinap hatinya, membangunkannya dari pembaringan berkasur lembab. Mengajaknya berbicara, dan membuka kenangan yang memekarkan pucuk-pucuk bunga di taman hati. Terang bulan menembus dinding-dinding papan rumahnya. Membekas bayang-bayang lama.
“Saya ingat, ketika Nurdin memaksa ibumu untuk menggugurkan janinnya, kurang lebih dua puluh tujuh tahun lalu. Kakekmu tidak setuju dengan hubungan Nuraini bersama Arman, pacarnya. Usia ayah dan ibumu, ketika itu masih enam belas tahun.”
Leila tampak tertekun mendengar cerita Bu Sadariah.
“Tapi, saya melarangnya. Dan ibumu kawin lari. Sampai sekarang orang kampung tak tahu keberadaan mereka."
Bu Sadariah menjelaskannya dengan semangat. Sudah lama ia merapat bibir, lesu lidah melontarkan kata. Kata-katanya melipat kelu, mengalirkan riak air bening ke hilir hatinya. Pintu dan jendela terbuka membawa angin memenuhi ruangan yang sembab.