Mohon tunggu...
Alexander Ginting
Alexander Ginting Mohon Tunggu... -

penikmat warta (berkunjung juga ya, ke blog saya : www.solusiinspirasi.wordpress.com)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hati Yang Menepi

31 Agustus 2011   06:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:20 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu, rindu itu pun meletup, melepas seribu kata melalui handphone Leila yang terhubung dengan ibunya di Jakarta. Isak tangis melontar, berkelebat menembus dinding-dinding, pepohonan, dedaunan dan melewati tebing-tebing. Bertahun-tahun hilang, sesal, dan asa, mohon bermaaf-maafan dalam Idul Fitri ini. Lengkung langit kampung merona pelangi, merintik haru.

***

Dua tahun waktu sudah berlalu. Waktu melipat tahunnya. Sudah dua tahun, Bu Sadariah tinggal bersama keluarga Leila. Leila sudah menganggap Bu Sadariah sebagai neneknya sendiri. Dan selama tinggal di Jakarta, tampaknya Bu Sadariah semakin segar. Sepi mengkerut tak tampak lagi di wajahnya, yang membuat letih mengiris tubuhnya. Nuraini adalah temannya yang selalu berbagi cerita, seolah ibu dengan anaknya.

Tak terduga, air ketuban Leila pecah. Ia mau melahirkan. Tak sempat dibawa ke rumah sakit. Suami Leila pun tampak resah. Ia meragukan akan keselamatan istri dan anaknya. Berulangkali mertuanya, Nuraini, meneguhkan hatinya. Tapi, tetap saja kakinya berputar-putar, mondar-mandir seperempat gasing di depan pintu kamar. Rasanya konyol dengan pemikiran dan keputusan Leila, menyerahkan persalinannya kepada Bu Sadariah yang sudah berumur kurang lebih tujuh puluh satu tahun, mantan dukun bayi kampung itu.

Lalu, dari kamar terdengar tangis bayi melengking. Garing. Tangisnya menyentak hati. Mendengar tangis itu, suami Leila segera menerobos pintu. Masuk ke dalam kamar. Ia melihat bayi laki-laki mungil, sehat terpancar mentari, berbaring manja di kedua lengan Bu Sadariah.

“Oh… terimakasih, Nek,” kata Andre, suami Leila, sambil mencium kening Bu Sadariah.

Bu Sadariah tersenyum. Matanya memancar jernih dengan senjanya tak berkedip memandang Leila yang masih lemah terbaring. Kedua bola mata mereka bergandengan membelai bayi yang ingin melihat dunia dari tangan lembut dan hati yang bening. Senja melipat gerahnya siang, rembulan membentang selendang dalam tarian gurun berdanau putih. Nyanyian senja membaringkan embun dalam dedaunan hijau bertangkai kasih.

Medan, awal September 2011


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun