Mohon tunggu...
Aldo Oktavian
Aldo Oktavian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Program Studi Advertising & Marketing Communication Universitas Mercubuana Jakarta

44321010050 | S1 Ilmu Komunikasi | Fakultas Ilmu Komunikasi | Dosen pengampu : Prof Dr. Apollo M.Si., Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna

22 November 2024   03:39 Diperbarui: 22 November 2024   03:39 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Materi PPT by Prof. Apollo

Zaini, Carolina, dan Setiawan (2016) juga mencatat bahwa di dunia pendidikan, misalnya, mahasiswa yang melakukan kecurangan untuk mendapatkan nilai lebih tinggi sering kali tidak menghadapi hukuman yang cukup berat. Keempat faktor utama tersebut---keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan pengungkapan---merupakan akar penyebab terjadinya kecurangan atau fraud.

Sikap serakah atau greed adalah faktor utama yang memicu terjadinya fraud. Meskipun sistem yang buruk dapat membuka peluang untuk penipuan, namun pada dasarnya perilaku fraud sering kali berawal dari keinginan yang berlebihan untuk memperoleh lebih banyak, tanpa mempertimbangkan etika atau hukum. Dengan kata lain, perilaku curang muncul ketika individu terjebak dalam sikap serakah yang mendalam, yang mendorong mereka untuk mengambil tindakan yang tidak jujur demi keuntungan pribadi.

Bagaimana Indonesia menyikapi Kasus Korupsi?

1. Kasus Korupsi e-KTP

Kasus korupsi yang melibatkan Setya Novanto terkait dengan proyek e-KTP (Kartu Tanda Penduduk Elektronik) adalah salah satu skandal besar di Indonesia yang mencuri perhatian publik. 

Proyek ini dimulai pada 2011 dengan tujuan untuk memperbarui data kependudukan di Indonesia menggunakan teknologi digital. Namun, proyek ini berujung pada salah satu kasus korupsi terbesar di negara ini, yang merugikan negara hingga Rp 5,9 triliun. Setya Novanto, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR, dituduh terlibat dalam pengaturan proyek ini dan menerima suap untuk memuluskan pengadaan barang dan jasa terkait e-KTP.

Dalam penyidikan, Setya Novanto diduga bekerja sama dengan pejabat pemerintah dan pengusaha untuk menggelembungkan anggaran proyek dan menerima komisi dari perusahaan-perusahaan yang terlibat. 

Novanto dilaporkan menerima aliran dana dari berbagai pihak yang terkait dengan proyek tersebut, baik dalam bentuk uang tunai maupun fasilitas lain. Ia juga diduga memanipulasi sistem pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan pribadi.

Pada tahun 2017, Setya Novanto ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kemudian dibawa ke pengadilan. Pada akhirnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara kepada Setya Novanto pada 2018, serta denda sebesar Rp 500 juta dan kewajiban untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 2,5 miliar.

Hukum yang digunakan dalam kasus ini merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan undang-undang tersebut, Setya Novanto didakwa atas beberapa tindak pidana korupsi, antara lain:

  1. Pasal 2 Ayat (1): Tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam hal ini, penggelapan anggaran proyek e-KTP yang merugikan negara sebesar Rp 5,9 triliun menjadi dasar utama dakwaan.
  2. Pasal 3: Tindak pidana korupsi terkait dengan penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang menyebabkan kerugian negara.
  3. Pasal 12 B: Pemberian suap atau gratifikasi kepada pejabat negara, yang digunakan untuk memuluskan proyek atau memperoleh keuntungan pribadi.

Kasus ini juga memperlihatkan pentingnya penerapan pengawasan dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik, serta mengingatkan akan perlunya upaya lebih untuk menanggulangi korupsi di Indonesia melalui penegakan hukum yang tegas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun