Mohon tunggu...
Aldo Oktavian
Aldo Oktavian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Program Studi Advertising & Marketing Communication Universitas Mercubuana Jakarta

44321010050 | S1 Ilmu Komunikasi | Fakultas Ilmu Komunikasi | Dosen pengampu : Prof Dr. Apollo M.Si., Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard dan Jack Bologna

22 November 2024   03:39 Diperbarui: 22 November 2024   03:39 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Materi PPT by Prof. Apollo

Siapa itu Robert Klitgaard

Robert Klitgaard adalah seorang Profesor Universitas di Claremont Graduate University (CGU), di mana ia menjabat sebagai Presiden dari tahun 2005 hingga 2009. Sebelum bergabung dengan CGU, ia pernah menjabat sebagai Dekan dan Profesor Terkemuka Ford di Pardee RAND Graduate School, program doktor terkemuka di Amerika Serikat dalam analisis kebijakan.

Ia juga pernah menjadi Li Ka-shing Distinguished Chair Professor di Lee Kwan Yew School of Public Policy, National University of Singapore; profesor ekonomi di University of KwaZulu-Natal; Lester Crown Visiting Professor of Economics di Yale School of Management; dan associate professor kebijakan publik di Harvard Kennedy School. 

Klitgaard turut berpartisipasi dalam World Economic Forum sebagai anggota fakultas dan menjadi bagian dari Impact Circles Forum untuk bidang Kecerdasan Buatan dan Foresight Strategis.

Robert Klitgaard telah bekerja dan melakukan penelitian di lebih dari 40 negara di seluruh dunia, bermitra dengan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga internasional.

Ia telah menulis 14 buku, termasuk Controlling Corruption, yang membantu meluncurkan gerakan global anti-korupsi; Choosing Elites, yang tercantum dalam The Harvard Guide to Influential Books; serta Tropical Gangsters, yang dinobatkan sebagai salah satu "Books of the Century" oleh The New York Times.

Siapa itu Jack Bologna

G. Jack Bologna dikenal sebagai pakar dalam audit forensik dan keamanan informasi. Ia memiliki gelar di bidang Administrasi Bisnis (BBA) dan Hukum (JD) serta memegang sertifikasi sebagai Certified Fraud Examiner (CFE).

 Bologna menjabat sebagai Presiden Computer Protection Systems, Inc. dan pernah mengajar sebagai Associate Professor of Management di Siena Heights College. Kontribusinya terutama terfokus pada pencegahan dan investigasi kasus penipuan keuangan.

Sebagai penulis, Bologna menghasilkan sejumlah buku penting, termasuk The Accountant's Handbook of Fraud and Commercial Crime serta Fraud Auditing and Forensic Accounting. 

Ia juga menjabat sebagai editor untuk publikasi seperti Forensic Accounting Review dan Computer Security Digest. Atas dedikasinya di bidang keamanan informasi, ia menerima penghargaan bergengsi Thomas J. Fitzgerald Award.

Apa itu korupsi?

Korupsi telah menjadi masalah yang dihadapi bangsa secara internasional, dengan penyebab yang bermacam-macam tergantung pada konteksnya. Media sering memublikasikan kasus korupsi yang terkait dengan kekuasaan dalam pemerintahan. 

Pada kenyataannya, korupsi telah terjadi mulai dari hal-hal sederhana hingga yang lebih kompleks. Korupsi sering dikaitkan dengan politik, ekonomi, kebijakan pemerintah, masalah sosial, hubungan internasional, serta pembangunan nasional. 

Setiap tahun, bahkan mungkin setiap bulan, banyak pejabat pemerintah yang tertangkap karena melakukan tindakan korupsi. Pengertian korupsi dapat ditinjau dari berbagai perspektif, karena pada dasarnya korupsi dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, tidak hanya dalam pemerintahan. 

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio, yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok, mencuri, atau maling. Seiring dengan pendapat Nurdjana, korupsi juga berasal dari istilah Yunani corruptio, yang bermakna perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, serta melanggar norma agama, materiil, mental, dan hukum.

Menurut Kamus Oxford, korupsi diartikan sebagai perilaku tidak jujur atau ilegal yang terutama dilakukan oleh orang yang memiliki wewenang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi didefinisikan sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara, perusahaan, organisasi, yayasan, atau sejenisnya untuk keuntungan pribadi atau orang lain. 

Secara hukum di Indonesia, korupsi adalah perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain, baik perorangan maupun korporasi, yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Pengertian ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Terdapat 30 jenis atau dalik tindak pidana korupsi yang dikelompokkan menjadi tujuh kategori utama, yaitu kerugian keuangan negara, penyuapan, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, kecurangan, benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, serta gratifikasi. Secara umum, korupsi dapat diartikan sebagai penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. 

Semua bentuk pemerintahan berpotensi menghadapi praktik korupsi, dengan tingkat keparahan yang bervariasi, mulai dari penyalahgunaan pengaruh untuk memberikan atau menerima pertolongan hingga bentuk korupsi berat yang terstruktur.

Menurut Juniadi Suwartojo (1997), korupsi adalah perilaku atau tindakan seseorang atau sekelompok orang yang melanggar norma-norma yang berlaku, dengan memanfaatkan atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan. 

Hal ini dapat terjadi dalam proses pengadaan, penetapan pungutan, penerimaan atau pemberian fasilitas, atau layanan lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan kekayaan, serta perizinan.

 Tindakan ini dilakukan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompoknya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang akhirnya merugikan kepentingan atau keuangan negara maupun masyarakat.

Menurut Haryatmoko, korupsi adalah usaha memanfaatkan kemampuan untuk campur tangan, baik melalui posisi, informasi, keputusan, pengaruh, uang, maupun kekayaan, demi kepentingan pribadi. 

Mubyarto menambahkan bahwa korupsi lebih merupakan persoalan politik daripada ekonomi, yang memengaruhi legitimasi atau keabsahan pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik, dan para pegawai pada umumnya. Dampak dari korupsi ini adalah berkurangnya dukungan terhadap pemerintah, terutama dari kelompok elite di tingkat provinsi dan kabupaten.

Bagaimana korupsi terjadi menurut teori CDMA?

Robert E. Klitgaard melihat korupsi dari perspektif administrasi pemerintahan dengan menggunakan model yang sering dibahas oleh para pakar antikorupsi (Wijayanto, 2009). Klitgaard mengemukakan bahwa korupsi adalah perilaku yang menyimpang dari tugas jabatan dalam pemerintahan untuk memperoleh keuntungan pribadi, seperti status atau uang, dan melanggar aturan yang ada dalam organisasi. 

Dalam teorinya, Klitgaard merumuskan formula penyebab korupsi yang dikenal dengan Teori CDMA, yang terdiri dari C = D + M -- A, yang artinya korupsi terjadi apabila terdapat keleluasaan kewenangan (discretion), monopoli (monopoly), dan rendahnya akuntabilitas (accountability).

Dalam teori yang dikemukakan oleh Robert Klitgaard, ia menyatakan bahwa korupsi dipicu oleh kombinasi monopoli kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin, besarnya kekuatan yang ada, serta kurangnya pengawasan. Hal ini menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang mengarah pada praktik korupsi. 

Klitgaard juga mengamati bahwa perubahan sistem pemerintahan dari sentralistik menuju otonomi daerah memperluas ruang korupsi. Praktik yang semula terkonsentrasi di pusat kini telah merambah ke pemerintahan daerah.

 Pernyataan ini sejalan dengan teori Klitgaard bahwa korupsi cenderung mengikuti distribusi kekuasaan, sehingga pengawasan yang lebih intensif diperlukan, khususnya dalam pengelolaan dana desa (Waluyo, 2014: 174). Teori ini, yang dikenal sebagai CDMA Theory, menekankan bahwa korupsi terjadi akibat adanya kombinasi antara kekuasaan dan monopoli yang tidak diimbangi dengan akuntabilitas.

Formula ini menjelaskan bahwa semakin tinggi posisi seseorang dalam pemerintahan, semakin besar kewenangannya, sehingga potensi korupsi juga semakin tinggi. Untuk mengurangi keleluasaan kewenangan, Klitgaard menyarankan agar dilakukan pendefinisian tugas yang jelas (job description), diikuti dengan proses monitoring dan evaluasi yang menyeluruh serta pertanggungjawaban yang jelas. 

Melalui pengendalian internal yang baik, didukung dengan pemeriksaan eksternal dan pelaporan keuangan yang transparan, potensi korupsi dapat diminimalisir.

Teori tersebut mengemukakan bahwa penyebab utama korupsi adalah adanya monopoli yang dimiliki negara yang terlalu luas. Secara sederhana, negara terlalu mencampuri banyak urusan, dan keberadaan kebijakan atau peraturan yang terlalu banyak justru bisa memicu pertumbuhan praktik korupsi baru. Dengan banyaknya aturan yang ada, transparansi menjadi terabaikan dan tidak terealisasi dengan baik. 

Robert Klitgaard dalam teorinya secara implisit menyatakan bahwa ruang lingkup pengambilan keputusan dan kebijakan yang terlalu besar dapat memperburuk terjadinya korupsi. 

Ketika ruang pengambilan keputusan tidak terkontrol dengan baik, hal ini menimbulkan ketidakjelasan dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Hal ini terjadi karena tidak adanya standar yang jelas untuk memverifikasi keputusan yang diambil. Akibatnya, kurangnya pertanggungjawaban memicu terjadinya korupsi, karena pelaku merasa keuntungan yang diperoleh jauh lebih besar dibandingkan risiko yang dihadapi.

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi, terdapat 30 jenis tindak pidana korupsi yang dikategorikan dalam tujuh kelompok, yaitu:

a) kerugian keuangan negara,

b) suap menyuap,

c) penggelapan dalam jabatan,

d) pemerasan,

e) perbuatan curang,

f) benturan kepentingan dalam pengadaan, dan

g) gratifikasi.

Materi PPT by Prof. Apollo
Materi PPT by Prof. Apollo

Bagaimana Korupsi Terjadi Menurut Teori GONE

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Jack Bologna, yang dikenal dengan sebutan GONE Theory, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penipuan (fraud). Faktor pertama adalah keserakahan (greed), yang berkaitan dengan perilaku serakah yang ada dalam diri setiap orang. Pelaku penipuan biasanya merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki, meskipun telah memiliki banyak kekayaan. 

Mereka terus merasa ingin lebih, seperti memiliki harta yang lebih banyak atau kekuasaan yang lebih besar. Menurut Wells (1992), sifat serakah ini, atau greed, merupakan pendorong utama seseorang untuk melakukan kecurangan, karena mereka tidak pernah merasa cukup dengan apa yang telah diperoleh.

Faktor kedua adalah kesempatan (opportunity), yang berhubungan dengan kondisi suatu organisasi, instansi, atau masyarakat yang memberi peluang bagi individu untuk melakukan penipuan. 

Misalnya, jika sistem pengendalian dalam organisasi tidak terstruktur dengan baik, memungkinkan seseorang untuk bekerja secara sembarangan dan menyebabkan penyimpangan. Pada saat yang sama, pengawasan yang lemah membuat individu lebih mudah untuk memanipulasi data atau informasi tanpa terdeteksi.

Peluang untuk melakukan korupsi akan semakin besar ketika sistem pengendalian lemah. Kebutuhan (need) berkaitan dengan faktor-faktor yang mendorong individu untuk memenuhi keinginan hidup yang tidak wajar, penuh dengan sikap konsumerisme, dan keinginan yang tak pernah berakhir. Menurut Bologna (1992), kebutuhan ini menjadi faktor yang mendorong perilaku individu. 

Kurniawan (2013) menyatakan bahwa demi memenuhi kebutuhan, seseorang akan melakukan apa saja, bahkan tindakan curang. Setiap orang memiliki kebutuhan lebih yang dapat memicu perilaku curang. Perilaku ini mencerminkan nilai moral dan etika seseorang, yang dapat dilihat dari bagaimana mereka memenuhi kebutuhannya---apakah dengan cara baik atau buruk.

Selain itu, pengungkapan (exposure) berkaitan dengan konsekuensi yang akan dihadapi pelaku jika terbukti melakukan penipuan. Menurut Munirah dan Nurkhin (2018), pengungkapan ini berhubungan dengan organisasi yang menjadi korban dari kecurangan tersebut. Faktor pengungkapan terkait dengan konsekuensi hukum atau tindakan yang akan diambil terhadap pelaku. 

Hukuman yang ringan terhadap pelaku korupsi atau kecurangan dapat menyebabkan pelaku, serta orang lain, tidak merasa jera.

Zaini, Carolina, dan Setiawan (2016) juga mencatat bahwa di dunia pendidikan, misalnya, mahasiswa yang melakukan kecurangan untuk mendapatkan nilai lebih tinggi sering kali tidak menghadapi hukuman yang cukup berat. Keempat faktor utama tersebut---keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan pengungkapan---merupakan akar penyebab terjadinya kecurangan atau fraud.

Sikap serakah atau greed adalah faktor utama yang memicu terjadinya fraud. Meskipun sistem yang buruk dapat membuka peluang untuk penipuan, namun pada dasarnya perilaku fraud sering kali berawal dari keinginan yang berlebihan untuk memperoleh lebih banyak, tanpa mempertimbangkan etika atau hukum. Dengan kata lain, perilaku curang muncul ketika individu terjebak dalam sikap serakah yang mendalam, yang mendorong mereka untuk mengambil tindakan yang tidak jujur demi keuntungan pribadi.

Bagaimana Indonesia menyikapi Kasus Korupsi?

1. Kasus Korupsi e-KTP

Kasus korupsi yang melibatkan Setya Novanto terkait dengan proyek e-KTP (Kartu Tanda Penduduk Elektronik) adalah salah satu skandal besar di Indonesia yang mencuri perhatian publik. 

Proyek ini dimulai pada 2011 dengan tujuan untuk memperbarui data kependudukan di Indonesia menggunakan teknologi digital. Namun, proyek ini berujung pada salah satu kasus korupsi terbesar di negara ini, yang merugikan negara hingga Rp 5,9 triliun. Setya Novanto, yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR, dituduh terlibat dalam pengaturan proyek ini dan menerima suap untuk memuluskan pengadaan barang dan jasa terkait e-KTP.

Dalam penyidikan, Setya Novanto diduga bekerja sama dengan pejabat pemerintah dan pengusaha untuk menggelembungkan anggaran proyek dan menerima komisi dari perusahaan-perusahaan yang terlibat. 

Novanto dilaporkan menerima aliran dana dari berbagai pihak yang terkait dengan proyek tersebut, baik dalam bentuk uang tunai maupun fasilitas lain. Ia juga diduga memanipulasi sistem pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan pribadi.

Pada tahun 2017, Setya Novanto ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kemudian dibawa ke pengadilan. Pada akhirnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara kepada Setya Novanto pada 2018, serta denda sebesar Rp 500 juta dan kewajiban untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 2,5 miliar.

Hukum yang digunakan dalam kasus ini merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan undang-undang tersebut, Setya Novanto didakwa atas beberapa tindak pidana korupsi, antara lain:

  1. Pasal 2 Ayat (1): Tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam hal ini, penggelapan anggaran proyek e-KTP yang merugikan negara sebesar Rp 5,9 triliun menjadi dasar utama dakwaan.
  2. Pasal 3: Tindak pidana korupsi terkait dengan penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang menyebabkan kerugian negara.
  3. Pasal 12 B: Pemberian suap atau gratifikasi kepada pejabat negara, yang digunakan untuk memuluskan proyek atau memperoleh keuntungan pribadi.

Kasus ini juga memperlihatkan pentingnya penerapan pengawasan dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik, serta mengingatkan akan perlunya upaya lebih untuk menanggulangi korupsi di Indonesia melalui penegakan hukum yang tegas.

Sumber:

  • Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  • Berbagai laporan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan media massa terkait kasus ini.

2. Kasus Korupsi Bank Century

Salah satu kasus korupsi besar di Indonesia adalah Kasus Korupsi Bank Century, yang melibatkan sejumlah pejabat negara dan pejabat Bank Indonesia. Kasus ini bermula pada tahun 2008 ketika Bank Century mengalami kesulitan finansial akibat masalah likuiditas. 

Pemerintah Indonesia, melalui Bank Indonesia, memutuskan untuk memberikan bailout kepada Bank Century dengan dana sebesar Rp 6,7 triliun. Dana tersebut disalurkan untuk menyelamatkan bank tersebut agar tidak mengalami kebangkrutan, yang dikhawatirkan akan berdampak buruk pada stabilitas ekonomi negara.

Namun, setelah proses bailout dilakukan, terungkap bahwa sebagian dana tersebut disalahgunakan dan dikorupsi oleh sejumlah pejabat Bank Century dan pihak-pihak lain yang terkait. Investigasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan bukti bahwa dana bailout digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk untuk pembayaran utang yang tidak terkait dengan penyelamatan bank tersebut. 

Kasus ini juga melibatkan mantan Wakil Presiden, Boediono, serta sejumlah pejabat lainnya yang diduga terlibat dalam keputusan untuk memberikan bailout tanpa melakukan pengecekan yang memadai terhadap kondisi keuangan Bank Century.

Hukum yang digunakan: Kasus ini melibatkan sejumlah pasal dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Beberapa pasal yang digunakan dalam penuntutan kasus ini meliputi:

  1. Pasal 2 Ayat (1): Mengatur tentang tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, dengan hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal seumur hidup.
  2. Pasal 3: Mengatur tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, yang menyebabkan kerugian keuangan negara.
  3. Pasal 12 B: Mengenai pemberian suap atau gratifikasi oleh pihak yang terlibat dalam kebijakan yang merugikan keuangan negara.

Meskipun demikian, kasus ini menuai kontroversi karena meskipun telah dilakukan penyidikan, beberapa pihak yang diduga terlibat, termasuk Boediono, tidak dijerat hukuman. Banyak yang menilai bahwa upaya pemberantasan korupsi dalam kasus Bank Century belum sepenuhnya memenuhi harapan publik, mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan dan banyaknya pihak yang terlibat.

Kasus Bank Century juga menunjukkan pentingnya sistem pengawasan yang lebih baik dalam penggunaan dana publik, khususnya dalam kebijakan bailout yang melibatkan dana besar untuk institusi keuangan.

Kesimpulan

Teori CDMA yang dikembangkan oleh Robert Klitgaard dan teori GONE oleh Jack Bologna dapat dihubungkan dengan berbagai kasus korupsi besar di Indonesia untuk memahami bagaimana faktor-faktor tertentu berperan dalam memperburuk praktik korupsi di negara tersebut.

  1. Korupsi e-KTP: Kasus ini menunjukkan bagaimana monopoli kekuasaan dan keleluasaan kewenangan yang dimiliki oleh Setya Novanto, yang merupakan Ketua DPR, serta sejumlah pejabat pemerintah yang terlibat dalam proyek e-KTP, membuka peluang besar bagi penyalahgunaan kekuasaan. Seperti yang diungkap dalam teori CDMA, monopoli dan discretion atau kewenangan yang besar memberikan celah bagi pejabat untuk mengatur proyek dan menerima suap. Di sisi lain, lemahnya akuntabilitas dalam pengelolaan proyek ini, yang dimaksud dalam teori Klitgaard, membuat pengawasan terhadap penggunaan dana negara tidak memadai, memicu penyalahgunaan yang merugikan negara hingga Rp 5,9 triliun. Hal ini terkait dengan teori GONE, khususnya pada aspek keserakahan (greed) dan kesempatan (opportunity), di mana pelaku merasa tidak ada pengawasan yang ketat sehingga mereka lebih mudah memanipulasi anggaran untuk keuntungan pribadi.
  2. Kasus Bank Century: Kasus ini juga memperlihatkan bagaimana monopoli dan discretion yang besar atas keputusan bailout Bank Century, yang melibatkan pejabat negara dan Bank Indonesia, berkontribusi pada penyalahgunaan kewenangan. Seperti yang dijelaskan dalam teori CDMA, ketidakhadiran pengawasan yang memadai dan keputusan yang terlalu banyak melibatkan pejabat negara tanpa transparansi membuka jalan bagi praktik korupsi. Dalam hal ini, teori GONE juga relevan, khususnya terkait dengan kesempatan untuk melakukan korupsi di dalam sistem yang tidak terkontrol, serta keserakahan pejabat yang mengambil keputusan untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.

Kedua teori ini menunjukkan bahwa monopoli kekuasaan, keleluasaan kewenangan, dan kurangnya akuntabilitas di Indonesia telah menciptakan ruang yang luas untuk korupsi. Sementara itu, keserakahan dan kesempatan yang terbuka dalam sistem yang lemah turut memperburuk praktik korupsi, sebagaimana terlihat dalam kasus-kasus besar seperti e-KTP dan Bank Century. 

Oleh karena itu, untuk mencegah korupsi, penting bagi Indonesia untuk memperbaiki pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas dalam setiap aspek pemerintahan, serta menerapkan sanksi yang tegas bagi pelaku korupsi.

https://www.cgu.edu/people/robert-klitgaard/

https://searchworks.stanford.edu/view/1787586

Puspito Nanang T. dkk, 2018, Pendidikan Antikorupsi Untuk Perguruan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Perpustakaan Nasional, Jakarta.

Amalia Dora (Pemimpin Redaksi), 2017, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kelima,cetakan ke 7, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, PN Balai Pustaka, Jakarta.

Anantawikrama  &  Nengah.  (2019). Sosiologi  Korupsi: Kajian Multiprespektif, Integralistik, dan Pencegahannya. Jakarta: Kencana.

Munirah, A., & Nurkhin, A. (2018). Pengaruh faktor-faktor fraud diamond dan gone theory terhadap kecurangan akademik. Economic Education Analysis Journal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun