Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

CHSM #1: Ajari Aku tentang Kesetiaan

13 September 2014   21:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:47 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Entah ini adalah jingga yang ke berapa kalinya. Ulhiza berjalan membelah keriuhan bandara Juanda. Tempat beberapa golongan manusia sedang menampakkan kelasnya.

Lihatlah bapak-bapak dengan jas dan sepatunya yang mengkilat sedang menarik koper hitam, seperti penuh dengan barang-barang berharga. Pramugari dengan pakaian mencolok dari beberapa maskapai sedang berbaris rapi masuk tanpa pemeriksaan penjaga. Tangan kiri mereka mengangkat kartu pengenal yang dikalungkan pada lehernya. Seksi dan wangi. Ada juga sepasang suami istri sedang menenteng kardus mie instan yang diikat rapi dengan tali rafia. Sesekali meletakkanya di bawah. Sementara muda mudi dengan pakaian masa kini berbaris tepat di belakangnya. Lelaki berambut sasak mengenakan baju non formal dan celana jeans cukup ketat. Di sebelahnya perempuan-perempuan dengan celana pendek sangat sempurna memamerkan pahanya yang putih dan mulus. Sesekali melihat gadget layar sentuhnya.

Ulhiza terus melangkah menuju pintu kedatangan internasional di ujung timur bandara. Dari jauh sudah terdengar sama berisiknya. Ramai.

Daripada duduk di tengah-tengah mereka, lebih baik duduk di cafe kopitiam yang berada tepat di sebelah tempat menunggu kedatangan. Selain menghindari rasa kesal dari perlakuan kurang menyenangkan remaja usil dan perayu, dirinya bisa sambil duduk santai menyeruput segelas coklat hangat.

Pertanyaan lagi nunggu siapa? Boleh kenalan ga? Nama facebooknya apa? Pin BB? Dan pertanyaan ga penting lainya ga akan berhasil menjangkaunya. Iyalah, mereka ga akan pasrah untuk duduk di cafe bandara yang terkenal memiliki harga gila.

Setelah duduk dan memesan minum, dikeluarkanya iphone 5 dari tas. Melihat notifikasi dari beberapa sosial media seperti instagram, facebook, path, twitter, BBM dan whatsapp. Teman-teman dunia maya selalu lebih rame dari kenyataanya. Ada saja yang ingin mereka sampaikan.

"Aku sudah di Juanda, kamu sudah sampai? Masih ngantri keluar imigrasi" pesan whatsapp dari Gabril.

"Silahkan Mbak" ucap pelayan cafe sangat sopan "mau pesan apa lagi?"

"Oh nanti ya, terima kasih" jawab Ulhiza segera, setelah mengalihkan pandanganya.

Pelayan tersebut tersenyum "baik" ucapnya dan pergi dengan nampannya.

Ulhiza kemudian lanjut menjawab pesan Gabril yang sudah masuk 10 menit yang lalu 'seperti biasa, jingga di kopitiam juanda'

"Ulhiza??" Seru suara perempuan yang sangat familiar. Tapi belum sempat menoleh Zafira sudah duduk di sampingnya. "Nunggu siapa?" Tanyanya.

"Ya siapa lagi. Gabril. Baru pulang dari Vietnam katanya"

Zafira seperti biasa langsung membuat suasana tenang menjadi bergairah. Dengan canda dan godaanya seperti 'kapan nikah?' dan sejenisnya membuat Ulhiza sesekali tertawa geli. Tapi itu lebih baik, setidaknya sekarang mata-mata lelaki mata buaya itu memiliki dua sasaran dan tidak melulu menatap tajam ke arah dirinya.

"Eh eh...tau ga? Kemaren Sandi curhat sama aku" matanya berbinar dengan semangat milenium.

Meski sebenarnya kurang tertarik dengan nama Sandi dan segala ceritanya, namun untuk menghargai temanya ini Ulhiza tetap bertanya seolah antusias "emang kenapa lagi dia?"

Dimulailah cerita bak sinetron yang sangat memuakkan. Sandi sudah sejak lama mengharap diberi kesempatan untuk menjalin hubungan dengan Ulhiza. Namun penampilan yang kurang meyakinkan, tidak jelas masa depanya dan masih bergantung dengan orang tuanya membuat Ulhiza yakin bahwa tidak ada untungnya berbagi rasa dengan lelaki tersebut.

'Mending kalau kaya seperti Firman atau Julio yang bisa nraktir makan dan nonton film terbaru' keluhnya dalam hati.

"Dia itu dari dulu lho naksir kamu, lucu ya" ucap Zafira mengakhiri cerita yang sedari tadi berhasil mental dari pendengaran Ulhiza.

Curhatan Sandi bia dibilang komedi gratis yang lebay dan ga menarik. Tapi justru karena lebay yang sangat memprihatinkan itulah kemudian Zafira bisa menikmati kelucuanya. Pertanyaan Ulhiza sehat ga? Lagi di mana dia? Dia tuh ga pernah jawab BBM, cuek. Sibuk ya? Dan pertanyaan lain yang sangat membosankan.

Pernah sekali Zafira memarahinya karena mual juga dengan curhatan Sandi, namun siapa sangka marahnya yang dibuat-buat tersebut kemudian melahirkan kelucuan lainya. Sandk berkali-kali meminta maaf dan bahkan mendatangi rumah Zafira. Ya begitulah Sandi. Kadang Ulhiza mengira sebenarnya dia itu menyukai Zafira, bukan dirinya.

"Hai cantik" sapa Gabril khas dari belakang. Meletakkan tas punggungnya di bawah meja dan ikut duduk di sebelah Ulhiza.

"Heh, di sini ada dua nih. Kamu nyapa cantik sama siapa?" Tanya Zafira bernada preman, dengan mata dibuat selebar mungkin.

"Di mataku, cuma dia yang cantik. Yang lain standar" jawab Gabril meyakinkan. Gombalanya sudah bisa ditebak sebenarnya, namun tetap saja Ulhiza merasakan getaran yang membuat senyumnya tak bisa disembunyikan. Dasar.

Mereka duduk melepas lelah dan rindu. Gabril hampir satu bulan mengitari Vietnam dan Thailand, entah apa yang dikerjakanya. Saya ditanya, Ulhiza hanya mendapat jawaban yang sama. Seperti yang sudah-sudah "ketemu teman, mau kerja sama".

'Ga papa lah, yang penting semuanya berjalan baik. Setidaknya sampai saat ini'

"Eh aku duluan ya, ini sudah hampir boarding" ucap Zafira tiba-tiba setelah melihat jam tanganya.

"Emang kamu mau ke mana?" Tanya Gabril
"Jakarta. Biasalah, urusan perusahaan" jawabnya langsung beranjak tanpa persetujuan. Melangkah dan menghilang di tengah keramaian.

Kini dua pasang mata saling tatap. Sejenak gendang telinga ditutup dengan batin. Keduanya sedang berkomunikasi dengan hati. Menyampaikan rindu tanpa perlu terdengar orang. Bukan karena malu, tapi karena ingin rasa ini hanya untuk mereka berdua.

Ada tenang dan nyaman saat melihatmu. Kau tau? Bahwa itu sudah sangat cukup untuk menyelesaikan semua masalah dan ragam pertanyaan.

Setelah cukup lama
"Kita langsung pulang aja ya. Hampir malam. Kamu pasti lelah" Gabril mengulurkan tanganya. Dan mengajak Ulhiza berdiri. Menggandengnya menuju kasir. Membayar lunas segelas coklat hangat dengan kartu kreditnya.

Bandara masih ramai. Namun gelap sudah menguasai langit Tuhan. Bintang mulai bertaburan, dan dinginya malam sudah mulai bergerilya berusaha menerobos pakaian manusia.

Dan Gabril? Ah lagi-lagi dia selalu tau apa yang harus dilakukan. Jas hitam hangat dilepasnya untuk menghangatkan Ulhiza. Namun hal itu tak mengurangi daya tariknya. Kemeja putih polos dan dasi biru gelapnya sudah cukup menggoda banyak pasang mata. Hal yang sebenarnya membuat Ulhiza benci sekaligus bersyukur bahwa mencintainya adalah hal harapan.

Di parkiran bandara mobil berjejer rapi dengan ragam ukuran, warna dan kelasnya sendiri.

Honda City putih berbunyi saat Gabril menekan gantungan kuncinya. Ulhiza melepas pelukanya dan menuju pintu bersebelahan. Kali ini Gabril yang mengemudi.

Mobil dinyalakan, tangan kirinya mengatur volume AC kemudian mencari posisi yang pas untuk berada di kursi kemudi.

"Kamu kenapa?" Tanya Gabril seketika. Ulhiza bungkam. Hanya menatap kekasihnya lekat-lekat.
"Ga papa"
"Kita ga akan pergi sebelum kamu cerita. Maaf aku memang terlalu lama di luar"

'Ah lelaki. Apa tidak ada pertanyaan lain selain kenapa? Mengapa harus aku yang menjelaskan? Sementara sudah banyak bahasan yang belum selesai. Apa kamu ga sadar?'

Gabril melepas dasi, membuat kerah bajunya lebih longgar dan santai "bilang aja kalau ada masalah atau ada yang mau dibicarakan. Mood-ku sedang baik kok"

Ulhiza menghela nafas cukup panjang. Kepalanya tak lagi bersandar. Ini benar-benar hal yang serius.

"Ibuku bertanya lagi, kapan kita akan menikah? Aku capek" keluhnya.

"Aku masih usaha dek. Banyak hal yang belum aku siapkan. Aku ingin kita menikah saat semuanya sudah pas"

Sejenak tak ada suara lagi. Bathin Ulhiza bergemuruh. 'Sampai kapan? Aku hampir lulus kuliah. Keluargaku sudah sering mendapat tawaran menantu. Lama-lama orang tuaku benar-benar akan menerima. Lagipula kamu tak pernah mau bertemu dengan mereka. Kenapa? Usahamu keluyuran aja. Ga jelas. Aku ga pernah benar-benar tau'

"Dek" Gabril menepuk punggung Ulhiza.
"Eh iya....setidaknya Mas datang lah ke rumah. Ngobrol serius. Ga cuma mengantar dan menjemputku" pinta Ulhiza.

Dirinya sebisa mungkin menahan lontaran rasa, tentang banyaknya lelaki yang sudah bersiaga dan siap kapan saja untuk datang melamar. Tapi sampai saat ini Ulhiza masih belum bisa melepas curahan hatinya tersebut. Gabril sudah sangat baik selama ini. Meski bukanlah dari keluarga kaya raya seperti dirinya, tapi banyak hal yang sudah diajarkanya pada Ulhiza selama 3 tahun bersama.

Tentang kesederhanaan, tidak boros, berbelanja seperlunya sampai pakaian yang menurut Gabril sebaiknya tertutup. Bukan sekedar mentaati ajaran agama, tapi juga agar terlihat lebih nyaman dan aman dari godaan lelaki. Tapi...

Firman dan Julio sama-sama menariknya. Ganteng, kaya dan menjalankan bisnjs keluarganya masing-masing. Firman di sektor tabung gas, dan Julio adalah keluarga pemilik tanah puluhan hektar yang kabarnya siap dibangun perumahan. 'Kadang aku silau dengan pesona mereka' bathin Ulhiza memejamkan mata.

Gabril tak lagi bersuara. Malah menyalakan menggerakkan mobil meninggalkan parkiran. Keluar dari bandara. 'Ah, inilah dia. Selalu dianggap selesai. Padahal....hm. Apa perlu aku minta putus lagi? Untuk yang ke 3 kalinya? Supaya dia bisa berpikir serius. Tapi bagiamana kalau dia benar-benar menerima tantanganku?'

Setelah melewati beberapa halangan polisi tidur dan pintu gerbang, mobil melaju cukup kencang. Menyalip semua kendaraan di depan kanan dan kirinya.

Ulhiza menatap kosong "aku mau putus" akhirnya ucapan tersebut terlotar dengan sendirinya. Cukup pelan, namun Gabril pasti mendengarnya.

Mobil berbelok pelan dan menepi di pinggir jalan.

Gabril menghela nafas. Tanganya masih mencengkram kuat pada setir mobil. "Kamu tau?" Terengah "selama di Vietnam dan Thailand aku bertemu banyak orang, banyak teman. Dan aku berkali kali menolak tawaran banyak perempuan hanya karena aku setia padamu" nadanha parau.

Ulhiza tak kuat menahan pukulan kata yang berhasil membuat perasaanya sakit. Penuh rasa bersalah. 'Aku tau kamu setia. Aku saja yang mungkin tak pantas buatmu' bathinya.

"Bahkan Zafira. Dia pernah menyatakan cinta untukku. Dia sempat ingin menyusulku ke Thailand" pengakuan Gabril sudah melampaui batas rahasia. Semuanya dibeberkan sejelas mungkin.

'Zafira? Sialan! Pantas saja dia sibuk menjodohkanku dengan banyak nama. Tapi apa iya? Teman sejak di bangku SMA sampai sarjana itu sebegitu piciknya?'

"Apa kamu ga bisa menunggu lagi? Aku cuma minta kamu menuggu dan mengerti. Sedikit aja"

Ulhiza tak sanggup berkata lagi. Semua tekanan dari orang tuanya tak sebanding dengan pengakuan Gabril. Baru kali ini dia berhasil membuat Ulhiza merasa bersalah. Tak ada bujukan seperti permintaan putus seperti yang sebelumnya. Mungkin Gabril juga sudah lelah dengan semua ini. 'Aku egois' keluh Ulhiza dalam hati.

NB: saya sangat menghargai dan berterima kasih jika pembaca bersedia memberi kritikan yang membangun. Bantu saya belajar menulis fiksi. :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun