"Heh, di sini ada dua nih. Kamu nyapa cantik sama siapa?" Tanya Zafira bernada preman, dengan mata dibuat selebar mungkin.
"Di mataku, cuma dia yang cantik. Yang lain standar" jawab Gabril meyakinkan. Gombalanya sudah bisa ditebak sebenarnya, namun tetap saja Ulhiza merasakan getaran yang membuat senyumnya tak bisa disembunyikan. Dasar.
Mereka duduk melepas lelah dan rindu. Gabril hampir satu bulan mengitari Vietnam dan Thailand, entah apa yang dikerjakanya. Saya ditanya, Ulhiza hanya mendapat jawaban yang sama. Seperti yang sudah-sudah "ketemu teman, mau kerja sama".
'Ga papa lah, yang penting semuanya berjalan baik. Setidaknya sampai saat ini'
"Eh aku duluan ya, ini sudah hampir boarding" ucap Zafira tiba-tiba setelah melihat jam tanganya.
"Emang kamu mau ke mana?" Tanya Gabril
"Jakarta. Biasalah, urusan perusahaan" jawabnya langsung beranjak tanpa persetujuan. Melangkah dan menghilang di tengah keramaian.
Kini dua pasang mata saling tatap. Sejenak gendang telinga ditutup dengan batin. Keduanya sedang berkomunikasi dengan hati. Menyampaikan rindu tanpa perlu terdengar orang. Bukan karena malu, tapi karena ingin rasa ini hanya untuk mereka berdua.
Ada tenang dan nyaman saat melihatmu. Kau tau? Bahwa itu sudah sangat cukup untuk menyelesaikan semua masalah dan ragam pertanyaan.
Setelah cukup lama
"Kita langsung pulang aja ya. Hampir malam. Kamu pasti lelah" Gabril mengulurkan tanganya. Dan mengajak Ulhiza berdiri. Menggandengnya menuju kasir. Membayar lunas segelas coklat hangat dengan kartu kreditnya.
Bandara masih ramai. Namun gelap sudah menguasai langit Tuhan. Bintang mulai bertaburan, dan dinginya malam sudah mulai bergerilya berusaha menerobos pakaian manusia.
Dan Gabril? Ah lagi-lagi dia selalu tau apa yang harus dilakukan. Jas hitam hangat dilepasnya untuk menghangatkan Ulhiza. Namun hal itu tak mengurangi daya tariknya. Kemeja putih polos dan dasi biru gelapnya sudah cukup menggoda banyak pasang mata. Hal yang sebenarnya membuat Ulhiza benci sekaligus bersyukur bahwa mencintainya adalah hal harapan.