Sambil memperhatikan Metty yang sedang asyik melihat keindahan alam sekitar, aku menjelaskan perlahan bahwa bukti dari keyakinan ibu akan pohon rambutan bisa dilihat sekarang ini. Pohon-pohon mulai tumbuh lagi, menghijaukan tanah surga yang menjadi rebutan penguasa dan investor . Andai saja ibu tak menanam pohon rambutan, bisa jadi kita dan orang lain bahkan anak cucu manusia tak bisa menikmati sebongkah surga yang masih tersisa di negeri ini.
Namun, keyakinan itu tentu bukan tanpa pamrih. Ibu meninggal dunia setelah 41 hari pohon itu ditanam. Menurut ayah, berapapun usia seseorang ketika mereka melakukan ritual untuk menjaga alam dengan pohon rambutan, maka ia harus berani mengorbankan jiwanya untuk pohon rambutan.
Itu terbukti, setelah 41 hari ditanam dengan mantra-mantra sapu jagat yang dibaca, ibu meninggal dan undang-udang sapu jagat dibatalkan keesokan hari.
"Lalu, ibumu?"
"Ya, disana. Seperti yang kamu kira. Ibu harus di kebumikan di bawah pohon rambutan, sebagai syarat wajib dari ritual sapu jagat. Artinya pohon rambutan itupun jadi nisan ibu."
"Bukannya undang-undang sapu jagat gagal karena demo besar-besaran dan presiden dimakzulkan oleh rakyat." Balas Metty.
"Bisa jadi sih. Bisa juga bukan karena itu. Karena mereka para wakil rakyat yang sekongkol untuk mengesahkan undang-undang, masih bercokol di gedung dewan." Ucapku, membela pengorbanan ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H